Ragam Interpretasi Dewi Durga Pengaruhi Pementasan Calon Arang
Sosok Dewi Durga digambarkan secara beragam di berbagai kakawin atau puisi panjang Nusantara. Hal ini memengaruhi persepsi publik terhadap salah satu dewi dalam ajaran Hindu tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pemunculan tokoh leak sebagai perwujudan ilmu hitam saat pementasan sendratari Calon Arang pada penutupan Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta di Solo, Jawa Tengah, pertengahan Juni 2010.
Secara garis besar, ada dua versi penggambaran Dewi Durga pada sejumlah kakawin atau puisi panjang Nusantara. Dewi dalam ajaran Hindu tersebut digambarkan sebagai sosok yang indah dan penolong, tetapi di versi lain digambarkan menyeramkan dan bersifat negatif. Perbedaan ini memengaruhi pemahaman masyarakat hingga kini, bahkan memengaruhi interpretasi seniman saat mementaskan kesenian Calon Arang.
Hal ini dipaparkan saat simposium ”Durga dalam Kakawin, Kidung dan Pertunjukan Tradisi” yang berlangsung secara daring, Sabtu (26/11/2022). Simposium ini bagian dari Borobudur Writers And Cultural Festival (BWCF) 2022 yang diadakan pada 24-27 November 2022.
BWCF merupakan ajang tahunan bagi akademisi, pegiat seni, dan pegiat budaya. BWCF mengkaji ulang pemikiran cendekia soal budaya Nusantara kuno. BWCF tahun ini mengangkat tema ”Membaca Ulang Pemikiran Hariani Santiko (1940-2021): Durga di Jawa, Bali, dan India”. Tema diadaptasi dari disertasi arkeolog Hariani berjudul ”Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi” pada 1987.
FRANSISCA NATALIA UNTUK KOMPAS
Pertunjukkan Teater dengan judul Calon Arang di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Januari 2019.
Sejarawan dari University of Sydney, Wayan Jarrah Sastrawan, mengatakan, salah satu sumber pencitraan Durga ada di kakawin Ghatotkacasraya. Kakawin ini ditulis di lingkungan Kerajaan Kediri pada abad ke-13 yang bercerita tentang petualangan Abhimanyu mencari kekasihnya. Ia mendapat bantuan dari Durga.
Durga di kakawin Ghatotkacasraya digambarkan secara jamak. Ada bagian kakawin yang menggambarkan Durga sebagai sosok yang identik dengan keindahan. Bagian lain menyebut Durga sebagai sosok menyeramkan yang identik dengan kematian.
Penggambaran Durga juga ada di kakawin Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular untuk Hayam Wuruk pada abad ke-14. ”Di Sutasoma, penggambarannya lebih negatif. Sosoknya menyeramkan dengan 12 muka, mata merah menyala, hingga bertaring tajam,” ucap Jarrah.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Komang Indra Wirawan mengatakan, seiring dengan perkembangan waktu, Durga dipahami sebagian orang sebagai dewi pemusnah. Sosoknya jadi identik dengan ilmu pengiwa atau ”ilmu kiri”. Menurut dia, pemahaman ini keliru.
”Dalam perkembangannya, Durga Mahisasuramardini yang adalah sosok kesatria wanita dan pelindung tidak banyak dikenal lagi. Sosok Durga identik dengan raksasa seram, ilmu hitam, bencana, dan hal negatif lainnya. Hal ini terjadi di Bali, seperti di pementasan Calon Arang,” kata Komang.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pentas drama tari Calon Arang oleh Sanggar Gita Lestari di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (21/7). Cerita Calon Arang berlatar zaman Kerajaan Kediri yang bertemakan pertentangan kejahatan melawan kebaikan.
Durga juga diasosiasikan dengan ilmu leak yang dipandang destruktif. Komang mengatakan, leak merupakan ilmu meditasi berbasis Tantra. Ilmu ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit, membuat seseorang takluk, menciptakan penyakit, hingga menghilangkan nyawa.
Dalam kisah Calon Arang, sosok Calon Arang digambarkan sebagai pemuja Durga yang taat. Ia diberi kesaktian oleh Durga. Kesaktian itu membuat Calon Arang menyebarkan wabah penyakit lantaran sakit hati tidak ada warga desa yang mau meminang anak perempuannya.
”Meskipun demikian, ilmu leak bukan ilmu yang selalu bersifat destruktif,” kata Komang.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO (WER) 05-05-2020
Papan penunjuk arah menuju situs Calon Arang yang berada di Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, terpasang di tepi Jalan Raya Pare-Kediri, memudahkan warga dari luar daerah yang ingin melihat situs yang dimaksud.
Walakin, hal ini belum sepenuhnya dipahami publik, bahkan seniman yang melakukan pementasan Calon Arang. Menurut Komang, edukasi terhadap pegiat seni dan audiens diperlukan. Ini agar keduanya tidak salah kaprah.
Pemahaman ini juga penting agar pergeseran nilai dalam seni pertunjukan bisa dihindari. Komang mengatakan, tatanan nilai ataupun filosofi pertunjukan seni kerap dilanggar. Itu sebabnya, pelaku seni, adat, agama, hingga budaya mesti bersinergi untuk meminimalkan pelanggaran dalam pentas seni.
”Ini mesti disampaikan kepada masyarakat agar nilai takwa, susila, dan upacara dalam pementasan, baik yang sifatnya sakral maupun profan, bisa dimengerti dan dinikmati publik. Dengan demikian, pementasan Calon Arang bisa mendorong regenerasi budaya,” katanya.