Masyarakat Diharapkan Lebih Terlibat Mendorong Cukai Minuman Berpemanis
Publik diharapkan turut mendorong pemangku kepentingan menerapkan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK untuk menekan risiko penyakit tidak menular.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat diharapkan lebih terlibat dalam mendorong pemangku kepentingan untuk menerapkan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK untuk menekan risiko penyakit tidak menular. Keterlibatan masyarakat dalam advokasi ini penting mengingat tingkat konsumsi minuman berpemanis terus meningkat.
Terlebih, saat ini pengenaan cukai pada barang kena cukai (BKC) dinilai perlu diperbarui. Sejak 1995 hingga saat ini, hanya ada tiga barang yang dikenai cukai, yakni hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol.
Hal itu disampaikan Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan dalam diskusi virtual bertajuk ”Tantangan Kebijakan Cukai atas Minuman Berpemanis dalam Kemasan”, Jumat (25/11/2022). Menurut Abdillah, hasil studi ”Tantangan dan Peluang Pengenaan Cukai MBDK” yang dilakukan Lembaga Demografi UI menunjukkan, perlu lebih banyak argumentasi kesehatan yang mendukung baik di media massa maupun media sosial untuk mempercepat pengenaan cukai MBDK.
”Penting sekali untuk meramaikan isu ini di media agar ada tekanan, dukungan, dan dorongan kepada pemerintah terkait pengenaan cukai. Karena, jika tekanan dari publik semakin kuat dan semakin jadi perhatian, maka dapat mendorong pembahasannya, terutama di kalangan stakeholders,” ujarnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018, tingginya angka penderita diabetes melitus di Indonesia dipengaruhi pola konsumsi seperti minuman manis. Sebanyak 61,3 persen responden mengonsumsinya lebih dari sekali per hari.
Pada tahun 2021, International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan, sedikitnya ada 537 juta orang berusia 20-79 tahun mengalami diabetes. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045.
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu, kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker terus meningkat di Indonesia dengan beban biaya kesehatan yang semakin besar. Oleh karena itu, tujuan utama penerapan cukai minuman berpemanis adalah untuk menekan risiko penyakit tidak menular, terutama diabetes dan untuk pendapatan negara.
Penting sekali untuk meramaikan isu ini di media agar ada tekanan, dukungan, dan dorongan kepada pemerintah terkait pengenaan cukai.
Kementerian Kesehatan telah mengusulkan pemberlakuan cukai MBDK kepada Kementerian Keuangan. Usulan ini pun sekarang sedang dibahas.
Maxi mengatakan, inisiasi penetapan cukai itu ditujukan pada produk yang mengandung kadar gula lebih dari 10 persen. Adapun tarif cukai yang diusulkan masih dibahas. Minuman dengan kadar gula yang lebih tinggi dikenai tarif yang lebih tinggi juga.
Sementara itu, Team Leader Noncommunicable Diseases and Healthier Population WHO Indonesia Lubna Bhatti menjelaskan, WHO telah merekomendasikan kepada negara anggotanya, seperti Afrika selatan, Meksiko, dan Inggris, agar menerapkan kebijakan fiskal guna mengurangi konsumsi minuman berpemanis penduduknya.
”Penerapan cukai atas minuman berpemanis yang diterapkan oleh Meksiko telah mengubah perilaku penduduknya. Konsumsi MBDK turun. Dasar pertimbangan cukai minuman berpemanis ialah masalah obesitas yang berisiko meningkatkan risiko penyakit seperti penyakit jantung, stroke, dan diabetes,” ucapnya.