Ahli Kasus Lingkungan Masih Rentan Mengalami Teror
Baik ancaman maupun gugatan hukum kerap menerpa ahli dan pejuang lingkungan. Padahal, UU Nomor 32 Tahun 2009 telah melarang gugatan perdata dan tuntutan pidana dilayangkan kepada mereka.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli atau pakar memegang peran penting dalam pembuktian ilmiah kasus perusakan lingkungan hidup dan hutan. Adanya teror dalam bentuk apa pun pada proses verifikasi lapangan dinilai sangat mengganggu dan membahayakan proses pembuktian.
Pakar lingkungan hidup dan kehutanan IPB University, Basuki Wasis, mengatakan, pembuktian ilmiah kasus perusakan hutan dan lingkungan hidup memerlukan keterangan ahli serta hasil analisis laboratorium. Kedua hal tersebut dibutuhkan untuk mengungkap motif dan tujuan perusakan lingkungan.
”Saat pembuktian lapangan, sering kali ahli menerima ancaman baik fisik maupun nonfisik ke pribadi ataupun keluarganya. Ancaman ini berupa penghadangan massa, fitnah pemerasan terhadap perusahaan, pelemparan batu ke rumah, panggilan berulang-ulang dari orang tak dikenal, dan lainnya,” ungkapnya dalam orasi ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Kamis (24/11/2022).
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan, kedudukan dan peran ahli atau pakar sangat diperlukan untuk penilaian atau valuasi kerusakan secara multidisipliner.
Berbagai teror ini, menurut Basuki yang berpengalaman menjadi saksi ahli berbagai kasus perusakan lingkungan, merupakan upaya dari pihak tidak bertanggung jawab agar para ahli berhenti menjadi saksi yang menyelidiki kasus itu. Bagi Basuki, teror yang paling berat adalah teror hukum atau gugatan hukum kepadanya. Ini karena gugatan hukum dapat merusak reputasi dan integritas ahli, menimbulkan rasa cemas dan takut, sanksi sosial, hingga terancam dipecat dari pekerjaan.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Satrio Manggala menuturkan, bentuk teror tidak hanya terjadi pada ahli atau pakar, tetapi juga masyarakat pejuang lingkungan. Sepanjang 2022, terdapat sedikitnya 107 kriminalisasi pada masyarakat yang berjuang untuk lingkungannya. Dari jumlah itu, 67 orang merupakan warga Wadas, Jawa Tengah, dan 40 orang merupakan petani Mukomuko, Bengkulu.
Menurut Kepala Subbagian Advokasi Hukum Perdata Biro Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yudi Ariyanto, ahli memiliki prinsip untuk bebas menyampaikan pendapat sesuai kapasitas dan kompetensinya sehingga seharusnya tidak bisa digugat. ”Untuk membantah pendapat ahli dapat menggunakan bukti ilmiah lainnya yang relevan,” ucapnya.
Peraturan
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengutarakan, sebenarnya Indonesia telah memiliki mekanisme anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation) dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 66 menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata. Menurut Julius, larangan tersebut tidak disertai mandat kepada instansi apa kriminalisasi tersebut dilarang.
”Dalam Pasal (66) juga tidak diikuti penjabaran secara teknis bagi instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Jadi, masih belum jelas seperti apa penerapannya sehingga kriminalisasi pada ahli atau pakar serta pejuang lingkungan masih terjadi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Basuki dan Satrio, perlu disiapkan peraturan pemerintah untuk anti-SLAPP sebagai peraturan turunan yang mengatur secara teknis pelaksanaan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009. Ini dinilai penting agar para pejuang lingkungan dan pegiat lingkungan hidup mendapat perlindungan dari negara serta berhak untuk membela lingkungan tempat tinggalnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Dwi Januanto Nugroho menambahkan, saat ini KLHK sedang menyiapkan peraturan menteri terkait perlindungan hukum terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan, kedudukan dan peran ahli atau pakar sangat diperlukan untuk penilaian atau valuasi kerusakan secara multidisipliner.
”Pembahasannya melibatkan berbagai pihak dan masukan dari pemerhati serta organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan. Hasilnya nanti akan didorong berupa finalisasi rancangan peraturan menteri,” ujarnya.