Lulus PPPK, Nasib Guru Honorer Belum Mulus
Kehidupan guru honorer tidak kunjung membaik. Semuanya rentan mempertaruhkan masa depan manusia Indonesia di masa yang akan datang.

Srihani (41) bersalaman dengan sejumlah siswa di salah satu sekolah dasar negeri di Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Srihani merupakan guru honorer yang lulus seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahun 2021. Namun, hingga kini, ia belum mendapatkan formasi penempatan.
Nasib guru honorer belum sepenuhnya mulus meski telah lulus seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK. Setahun lebih mereka terkatung-katung soal penempatan kerja. Padahal, pendidik generasi penerus itu berharap sejahtera dari status pegawai pemerintah.
Bel tanda kegiatan belajar mengajar berakhir di salah satu sekolah dasar di Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022) siang. Setelah menyalami siswanya satu per satu, Srihani (41) bersiap pulang. Guru honorer ini harus bekerja lagi sebagai sales di apotek.
Orangtua tunggal dengan empat anak ini menawarkan obat dan vitamin sedari siang hingga sekitar pukul 21.00. Kadang kala, perempuan ini masih bekerja di hari Minggu demi mengejar target jualan. Harapannya, ia bisa meraup upah minimum, berkisar Rp 2,39 juta per bulan.
“Anak-anak saya bilang, ngapain sih ibu berangkat hari libur? Itu kan waktu untuk keluarga,” ucap Sri menirukan ungkapan anaknya dengan suara bergetar. Ia juga kerap merasa malu dengan rekan sesama guru karena tidak bisa membantu mereka mengurus seluruh administrasi sekolah.
Mau tidak mau, Sri punya empat peran, yakni ibu sekaligus bapak bagi anaknya, guru, dan sales. Namun, gaji guru honorer yang mengajar dua kelas itu hanya Rp 500.000 sebulan, empat kali lipat lebih kecil dari UMK Indramayu. Jika dibagi 25 hari, upahnya cuma Rp 20.000 sehari.
Baca juga : Guru Honorer Keluhkan Ketidakpastian Status Penempatan
Jumlah itu tidak setara, bahkan kurang, untuk membeli segelas kopi di kafe. Upah itu jelas tidak cukup memenuhi kebutuhan hariannya dan keluarga. Sebulan saja, ia menghabiskan sedikitnya Rp 120.000 untuk bensin sepeda motornya yang harus distarter kaki karena akinya habis.
Belum lagi ongkos transportasi kedua anaknya di sekolah menengah atas yang bisa mencapai Rp 60.000 per hari. Dua anaknya yang kuliah di Jakarta dan Cirebon juga butuh uang indekos.
“Makanya saya kerja lagi. Pernah berpikir untuk berhenti. Tapi, jiwa saya itu pendidik,” katanya.
Bahkan, ketika pertama jadi guru honorer di taman kanak-kanak tahun 2008 atau 14 tahun lalu, gajinya hanya Rp 75.000 per bulan. Itu pun tak selalu cair tiap bulan. Lulusan Pendidikan Guru SD Universitas Muhammadiyah Cirebon ini juga pernah berstatus honorer di Kepulauan Riau.
Harapan terangkat sebagai aparatur sipil negara datang ketika pemerintah membuka seleksi PPPK awal tahun lalu. Selain belajar hingga ujung malam, Sri juga harus berangkat subuh hari untuk tes di Bongas. Sekitar sejam dari rumahnya di Jatibarang. Hujan dan angin menghadang.
“Saya berpikir positif saja. Ini hujan berkah,” kata Sri membatin.
Baca juga: Pengangkatan Satu Juta Guru PPPK Karut-marut

Sejumlah guru yang tergabung dalam Guru Pendidikan Agama Islam Honorer Non Kategori 35+ berfoto di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Mereka memperjuangkan guru honorer yang lulus nilai ambang batas menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK.
Perjuangan rekan-rekannya tidak jauh beda. Bahkan, katanya, ada guru honorer yang harus membayar penginapan demi tes PPPK. Mereka juga menjalani tes usap karena penyebaran pandemi Covid-19 masih terjadi.
Akhir 2021, namanya masuk dalam 1.896 guru honorer di Indramayu yang lulus nilai ambang batas (passing grade/PG). Namun, jumlah formasi yang tersedia hanya 280 guru. Artinya, cuma sekitar 15 persen guru honorer dengan status lulus PG yang mendapatkan kuota penempatan.
Selebihnya, sekitar 1.600 guru honorer yang lulus PG, termasuk Sri, belum jelas nasibnya. Padahal, jika mendapatkan formasi dan surat keputusan, ia resmi berstatus PPPK dengan gaji sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
“Dengan begitu, saya janji semakin loyal di sekolah,” katanya.
Terlebih lagi, sekolah sangat membutuhkan guru. Di tempatnya saja, misalnya, hanya ada dua guru PNS dan empat honorer yang mengajar lebih 100 siswa. Bahkan kepala sekolah yang PNS juga mengurus dua sekolah. “Itu juga mau purna bakti. Semoga kami dapat formasi,” ucapnya.
Pelaksana tugas Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Indramayu Ari Risdianto dalam keterangan tertulisnya, mengakui mengusulkan kuota 280 PPPK. Kendalanya, keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
“Kalau kami, tentu saja akan senang jika semuanya bisa diangkat sebagai ASN PPPK. Tetapi, sekali lagi, anggaran kita terbatas. Masih banyak sektor lain yang harus dibiayai, misalnya infrastruktur,” ungkap Ari. Pihaknya berkomitmen menyejahterakan ASN non PNS.

Duradin (51), guru SDN 1 Kaliwulu (kiri) bersama Dede Juhadi (36), guru SDN 1 Astapada, saat ditemui di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (20/11/2020). Duradin merupakan guru honorer yang telah mengabdi 31 tahun sedangkan Dede mengajar delapan tahun terakhir.
Perjuangan di Cirebon
Di Cirebon, guru honorer pendidikan agama Islam (PAI) di SD yang lulus PG akhirnya mendapatkan penempatan setelah berjuang sekitar setahun. Awalnya, pemda hanya menyediakan 40 formasi. Padahal, masih ada 518 guru PAI SD yang lulus PG dalam dua tahap tahun lalu.
“Kami lalu mendatangi BKPSDM, Kantor Kementerian Agama Cirebon, dewan perwakilan daerah, sampai ke bupati. Ini audiensi, bukan demo,” ujar Edi Mukidin, Ketua Guru Pendidikan Agama Islam Honorer Non Kategori 35 tahun ke-atas (GPAIHNK35+) Kabupaten Cirebon.
Berada di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mereka wajib berkoordinasi dengan dua instansi itu. Tidak jarang, mereka harus berjuang hingga malam hari dan mengeluarkan ongkos dari kantong sendiri. Tak ada sponsor.
“Kami sampai enggak ada dana. Istilahnya entok ayam entok bebek. Pernah kami makan satu nasi bungkus berempat,” ucapnya sambil tertawa. Bupati Cirebon Imron Rosyadi pun mengirim surat kepada Kemendikbudristek terkait kejelasan penempatan bagi guru PAI yang lulus PG.
Bahkan, guru-guru di luar PAI, yang lulus PG tapi tanpa formasi, juga terakomodasi melalui perjuangan mereka. Gayun bersambut, awal Oktober lalu, Kemendikbudristek menyatakan sebanyak 971 guru honorer yang lulus PG dapat ditempatkan di instansi Cirebon.
“Infonya, bulan Februari tahun depan kami sudah punya SK PPPK. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu,” ungkap Edi yang lima tahun terakhir jadi guru honorer di salah satu SD di Jamblang dengan gaji Rp 200.000 sebulan. Itu pun tak selalu cair tepat waktu.
Selama ini, bapak tiga anak ini banting tulang demi menghidupi keluarga. Kadang ia jualan materai, baju, hingga membuka usaha mebel kecil-kecilan untuk menutupi kekurangan dari gajinya. Istrinya juga guru honorer di sekolah swasta. “Yang penting kami kerja halal,” ucapnya.
Edi dan guru honorer yang lulus PG di Cirebon telah mendengar kabar baik tentang nasib mereka. Namun, Sri dan rekan-rekannya masih menggantungkan harapannya untuk mendapatkan formasi. Bagaimana pun, guru honorer yang mendidik generasi penerus berhak sejahtera.
Baca juga : Guru Honorer Lelah ”Digantung”
Saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengakui bahwa proses rekrutmen guru tidak sempurna, ada banyak tantangan. Penyelesaiannya rumit karena melibatkan berbagai pihak dan setiap langkah yang dilakukan terkait satu sama lain.
Nadiem mengakui sempat frustrasi saat turun ke daerah. ”Suka bingung, padahal kami sudah menjelaskan berkali-kali bahwa anggaran sudah disediakan pemerintah pusat. Kami akan terus berjuang dan sosialisasi ke daerah untuk memastikan dan meyakinkan guru PPPK ini harusnya prioritas nomor satu,” ujar Nadiem.
Direktur Dana Transfer Umum Kementerian Keuangan Adriyanto mengatakan, pemerintah pusat menjamin alokasi anggaran gaji guru ASN PPPK dalam pos DAU. Penggunaannya telah ditentukan secara khusus atau earmark. Pemerintah daerah diharapkan tidak ragu untuk mengajukan kuota formasi dan mengangkat guru PPPK sesuai kebutuhan.
Kini, komitmen riil dari pemerintah masih ditunggu ratusan ribu guru honorer. Apabila pemerintah pusat benar-benar telah menyiapkan anggaran, semestinya pemerintah daerah tidak lagi ragu-ragu.