Meski menantang, menghidupi 8 miliar penduduk Bumi dengan memberikan tekanan lingkungan seminimal mungkin tetap bisa dilakukan. Efisiensi dan pertanian berkelanjutan jadi masalah utama penyediaan pangan, bukan jumlahnya.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pencari kerja antre untuk mencari lowongan pekerjaan pada acara "Jakarta Job Fair" di PGC Cililitan, Jakarta, Juli 2022. Peningkatan jumlah penduduk menuntut ketersediaan lapangan pekerjaan yang besar.
Kemampuan manusia mengatasi berbagai kesulitan dan tantangan hidup membuat populasi manusia akhirnya mencapai 8 miliar jiwa. Namun, jumlah penduduk Bumi yang besar itu menimbulkan kekhawatiran akan besarnya tekanan terhadap lingkungan saat manusia ingin memenuhi kebutuhan pangannya.
Kekhawatiran itu wajar mengingat menghidupi, khususnya memberi makan 8 miliar mulut, bukan perkara gampang. Terlebih, masifnya pertumbuhan manusia yang bertambah delapan kali lipat hanya dalam 200 tahun terakhir terbukti telah menurunkan daya dukung lingkungan dengan hebat hingga memicu kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Sebanyak tiga perempat daratan dan dua pertiga wilayah perairan di Bumi telah diubah dan dieksploitasi manusia. Sejak revolusi industri dimulai pada akhir abad ke-18 hingga sekarang, suhu permukaan Bumi telah naik hampir 1,5 derajat celsius. Ujungnya, pemanasan Bumi itu memicu berbagai bencana yang berbalik mengancam eksistensi manusia.
Pertentangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan sudah berlangsung lama, namun manusia tetap mampu mengatasinya.
Menurunkan populasi bukan jawaban sederhana agar manusia bisa makan tanpa banyak merusak alam. Menurunkan populasi bukan perkara mudah karena pertambahan penduduk dari menjadi 8 miliar yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 15 November 2022 justru menjadi pertambahan penduduk tercepat dibandingkan kenaikan semiliar penduduk sebelumnya, hanya 11 tahun.
Banyak negara maju yang telah mengalami penurunan fertlitas sudah harus menanggung konsekuensinya, terutama akibat kurangnya tenaga kerja dan perlambatan ekonomi. Meski penduduknya lebih sedikit, banyak negara maju justru paling boros dalam menghasilkan emisi gas ruang kaca akibat pola hidupnya yang tidak mendukung keberlanjutan lingkungan.
Sebagai perbandingan, jika pola konsumsi warga dunia sama seperti pola konsumsi masyarakat Singapura saat ini, setidaknya dibutuhkan 3,7 Bumi untuk menopang segala kebutuhan mereka. Sementara jika warga dunia hidup dengan pola konsumsi orang Indonesia dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah, tetapi jumlah penduduknya 47 kali lipat penduduk Singapura, maka ”hanya” diperlukan 1,1 Bumi.
Penghitungan jejak ekologi itu menunjukkan kemanfaatan lingkungan tidak ditentukan oleh sedikitnya penduduk, tetapi bagaimana pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Pola itu sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang bisa memanfaatkan kesejahteraan yang dimilikinya secara bertanggung jawab demi kelangsungan Bumi.
Karena itu, banyak ahli demografi tetap optimistis meski populasi dunia besar, akan senantiasa ada kesempatan untuk menghidupi mereka. Terjadi atau tidaknya krisis sumber daya dalam memenuhi hajat hidup 8 miliar manusia sangat bergantung pada pilihan dan keputusan manusia.
”Pengalaman sejauh ini menunjukkan dunia sukses beradaptasi dan menemukan solusi untuk menjawab masalah yang dihadapi,” kata Patrick Gerland dari Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial PBB seperti dikutip National Geographic, 14 November 2022. Saat ini memang ada 8 miliar manusia yang harus diberi makan, tetapi juga ada miliaran manusia yang bisa diajak berpikir mencari solusi dan menjawab tantangan ini.
Hal senada diungkapkan Direktur Institute for Advance Studies in Economic and Business, Universitas Indonesia, Turro S Wongkaren, Kamis (17/11/2022). Manusia selalu mampu mencari solusi saat menghadapi tekanan. Solusi itu bisa dilakukan dalam berbagai langkah, mulai dari mengubah pandangan hidup dan gaya hidup hingga membuat teknologi baru.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Kawasan padat penduduk di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2022).
”Pertentangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan sudah berlangsung lama, tetapi manusia tetap mampu mengatasinya,” katanya.
Strategi
Seiring persebaran kemakmuran dan gaya hidup Barat, kebutuhan pangan manusia pun makin banyak dan seragam. Pangan lokal pun kian tersingkir. Pola konsumsi itu tak hanya meningkatkan konsumsi gandum atau beras, tetapi juga daging, telur, dan produk susu. Padahal, berkembangnya peternakan juga akan mendorong perluasan lahan pertanian untuk pakan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga mengaduk pakan ternak di peternakan Lentera Bumi Nusantara di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022).
Pengaruh budaya makan Barat itu juga mudah ditemukan di Indonesia. Kebutuhan gandum terus meningkat untuk mi, pasta atau kue meski bahan pangan ini sepenuhnya diimpor. Sementara keju, yang sejatinya tidak dikenal pada makanan asli Indonesia, kini mudah ditemukan pada berbagai kue dan masakan, termasuk ayam goreng yang di Barat pun tidak dikombinasikan dengan keju.
Karena itu, ”Indonesia dituntut untuk memiliki visi dan peta jalan yang jelas dalam pengelolaan kebutuhan pangan masyarakat di masa depan,” tegas Turro. Impor aneka bahan pangan bukan solusi karena tidak menjamin keberlanjutan. Namun, ketersediaan pekerja sektor pertanian, yang kini umur rata-ratanya telah mencapai 45 tahun, bahkan 52 tahun di Jawa Tengah, harus dipikirkan.
Dunia dituntut untuk memenuhi aneka kebutuhan pangan itu bukan dengan cara konvensional. Selama ini, peningkatan kebutuhan pangan selalu diasumsikan bisa dipenuhi dengan perluasan lahan pertanian. Namun, cara itu selama beberapa dekade terakhir terbukti tidak mampu mengatasi kelaparan dan malnutrisi.
Pola pangan nabati yang lebih banyak mengonsumsi sayuran dan buah dibanding produk hewani juga baik bagi lingkungan. Budaya ini tidak hanya menghasilkan emisi karbon lebih sedikit, tetapi juga membutuhkan air lebih sedikit.
Meski masih ada 10 persen warga dunia yang kelaparan, 25 persen penduduk Bumi kelebihan berat badan dan obesitas, dan 25 persen lainnya kekurangan zat gizi mikro. Badan Lingkungan PBB (UNEP) di situsnya menyebut masalah yang dihadapi dunia saat ini bukanlah soal kelaparan, tetapi efisiensi.
Meningkatnya kebutuhan pangan hewani membuat 60 persen lahan pertanian dunia digunakan untuk peternakan. Selanjutnya, bahan pangan yang diproduksi di lahan pertanian hingga tersaji di meja makan hilang sepertiganya selama proses. Kemampuan masyarakat membeli makanan jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan mengonsumsinya sehingga meningkatkan sampah makanan yang per tahunnya ditaksir 1,3 miliar ton.
”Tidak ada gunanya menyelesaikan masalah sambil menciptakan masalah baru, memproduksi lebih banyak makanan hanya untuk dibuang,” kata Clementine O’Connor, staf program sistem pangan berkelanjutan UNEP. Produksi pangan yang sehat dan berkelanjutan itu menuntut kerja sama lebih erat dengan lingkungan, bukan melawannya.
Ekstensifikasi lahan beberapa dekade terakhir telah memicu masalah lingkungan akibat alih fungsi lahan hingga mematikan banyak satwa liar, memicu perubahan iklim, hingga memaparkan manusia pada berbagai penyakit zoonosis yang disebabkan hewan. Perluasan lahan untuk pertanian juga meningkatkan pencemaran tanah dan air akibat penggunakan pupuk dan pestisida berlebih serta meningkat risiko penyakit degeneratif, terutama kanker.
Selain itu, pola pangan nabati yang lebih banyak mengonsumsi sayuran dan buah dibanding produk hewani juga baik bagi lingkungan. Budaya ini tidak hanya menghasilkan emisi karbon lebih sedikit, tetapi juga membutuhkan air lebih sedikit. Pola makan nabati juga dikaitkan dengan risiko penyakit degeneratif yang lebih rendah, baik jantung, stroke, diabetes, hingga kanker serta mengurangi beban biaya kesehatan tinggi akibat penyakit tersebut.
Sementara itu bagi Indonesia, Turro menilai meningkatnya kesejahteraan tidak hanya meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga kesadaran akan bahan pangan berkualitas. Namun, keinginan ini harus dijaga agar bisa berjalan konsisten dan bukan mengikuti tren semata mengingat produksi pangan berkualitas tidak mudah dan tidak murah.
Selain ekonomi hijau, Indonesia juga punya potensi ekonomi biru yang luar biasa, tetapi belum digarap optimal. Sebagai negara dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan, potensi pangan maritim Indonssia sangat besar. Padahal, sumber pangan bahari bisa memenuhi atau menjadi substitusi sumber pangan darat.
Potensi pangan yang ada di darat dan laut itu tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan pangan berkualitas bagi 350 juta penduduk Indonesia tahun 2045, tetapi juga penggerak ekonomi. Namun, pemanfaatan potensi pangan yang besar itu membutuhkan konsistensi dan kesinambungan kebijakan pemerintah, tidak bergantung pada visi politik pemimpin pusat dan daerah yang berganti tiap lima tahunan.