Mencegah Rayuan Maut "Si Manis" di Daerah Terpencil
Diabetes melitus masih asing bagi sebagian orang di desa terpencil di Jabar. Penderitanya baru dirawat saat kondisinya memburuk.
Kerentanan warga penderita diabetes melitus sangat tinggi jika tidak mendapatkan pemeriksaan rutin hingga edukasi yang tepat. Taruhannya adalah nyawa. Warga acap kali terkendala biaya dan akses karena tinggal di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan.
Ribuan warga Jawa Barat yang berpartisipasi dalam pemeriksaan diabetes massal di November 2022 menjadi gambaran belum idealnya penanganan diabetes. Sebagian baru pertama kali diperiksa potensi diabetesnya.
Kegiatan bertajuk ”Affordability Project”tersebut menyasar 46 puskesmas terpencil dan sangat terpencil di empat kabupaten di Jabar. Daerah itu adalah Cianjur, Garut, Bandung Barat, dan Tasikmalaya.
Sedikitnya 11.000 warga mendapatkan pemeriksaan, penanganan, hingga edukasi. Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) mencatatkan acara itu sebagai ajang pemeriksaan gula darah dan faktor risiko penyakit tidak menular terbanyak dalam tiga hari, yakni 5, 8, dan 9 November 2022.
Pengecekan dan edukasi menjadi elemen penting dalam penanganan diabetes.
Dalam penyerahan piagam rekor di Gedung Sate, Bandung, Jabar, Sabtu (19/11/2022), Customer Relation Director MURI Andre Purwandono menyebutkan, rekor ini lebih banyak daripada kegiatan sebelumnya, yaitu 7.725 pemeriksaan. Dia berharap, penghargaan tersebut bisa memotivasi semua pihak dalam menyehatkan Indonesia.
Penyerahan piagam rekor ini juga dihadiri pihak-pihak yang terlibat. Beberapa di antaranya seperti Kementerian Kesehatan, Pemprov Jabar, Persatuan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), dan Novo Nordisk Indonesia.
Perwakilan Duta Besar Denmark, Jacob Kahl Jackson juga hadir. Novo Nordisk merupakan perusahaan farmasi asal negeri di Semenanjung Skandinavia, Eropa, tersebut.
Jackson mengapresiasi kolaborasi seluruh pihak sehingga ribuan orang di pelosok daerah bisa mendapatkan layanan kesehatan. Apalagi, Affordability Project menjadi implementasi dari nota kesepahaman antara Indonesia dan Denmark di bidang kesehatan ini.
Baca Juga: Cegah Diabetes dengan Mengonsumsi Gula Sesuai Batasan
”Ini merupakan angka yang besar dan itu menjadi tantangan. Pengecekan dan edukasi menjadi elemen penting dalam penanganan diabetes,” paparnya.
Lokasi terpencil
Bagi sebagian warga di kawasan terpencil, termasuk Jabar, diabetes masih kerap dianggap mitos. Merasakan dampaknya, tetapi warga tidak memiliki akses kesehatan ideal untuk memastikannya.
Kondisi itu membuat penderitanya sangat dekat dengan maut. Waktu pemeriksaan gratis adalah saat yang ditunggu untuk tetap berumur panjang.
Ajid (72), warga Desa Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, misalnya, susah payah menata langkah rentanya, Sabtu (5/11/2022). Ditemani terik matahari, dia hendak ikut pemeriksaan diabetes dalam Affordability Project.
”Saya ingin memeriksa kondisi badan karena akhir-akhir ini suka pegal, apalagi bagian punggung dan sendi,” ujarnya.
Kesempatan itu tidak dia sia-siakan. Bila sebelumnya harus menempuh waktu berjam-jam untuk tiba di Puskesmas Tegalgede, kini dia hanya butuh 10 menit berjalan kaki dari rumah menuju Kantor Desa Karangsari.
”Kalau naik ojek, butuh Rp 100.000 pergi-pulang,” ujarnya Ajid yang bekerja sebagai buruh tani ini.
Pegal di punggung ternyata lebih parah daripada yang diduga. Berdasarkan pemeriksaan, kadar gula darahnya di atas 200 miligram per desiliter (mg/dl). Angka ini melampaui ambang batas gula darah orang dewasa yang mencapai 140 mg/dl.
Baca Juga: Diabetes Tidak Dapat Disembuhkan, tetapi Bisa Dikendalikan
Ayu Aprita (30), dokter Puskesmas Tegalgede lantas meminta Ajid menjaga kesehatan. Pria paruh baya ini diminta mengurangi makanan berkadar gula tinggi, seperti makanan manis hingga nasi.
Gula darah Ajid yang tinggi ini tidak akan terdeteksi tanpa pemeriksaan dari petugas kesehatan. Pria ini awalnya bahkan tidak memahami pasti tentang diabetes melitus.
”Sebagian gejala awal yang masuk itu seperti pegal-pegal hingga mudah lelah. Kadang-kadang mata rabun juga pengaruh dari diabetes. Sayangnya, kebanyakan yang melapor itu kondisinya sudah perlu mendapatkan penanganan intensif karena sudah berdampak pada tubuh,” ujar Ayu di sela-sela pemeriksaan.
Sulit dijangkau
Salah seorang yang tidak segera mendapat pertolongan kesehatan adalah Dadi (56), warga Desa Tanjungjaya, Pakenjeng. Jemari di tangannya tidak lengkap. Diabetes membuat beberapa jari diamputasi.
Sebelumnya, Dadi mengatakan, butuh waktu lebih dari 1 jam perjalanan untuk menggapai Puskesmas Tegalgede dengan menggunakan mobil atau sepeda motor, dari rumahnya. Padahal, jika ditarik garis lurus, desa dan puskesmas hanya berjarak sekitar 3 kilometer.
Akan tetapi, kedua desa terpisahkan aliran Sungai Cikandang, tanpa jembatan penghubung. Untuk beraktivitas, warga terpaksa memutar dan melalui jalan-jalan sempit dan berbatu berjarak 20 kilometer dari puskesmas.
”Kalau naik ojek, bisa-bisa saya bayar Rp 100.000. Uang itu bisa beli beras 5 kilogram lebih. Belum lagi badan pegal-pegal karena jalannya rusak,” ujarnya lesu saat ditemui di Puskesmas Tegalgede, Jumat (4/11/2022).
Sulitnya akses ini membuat Dadi kerap mengurungkan niatnya ikut pemeriksaan rutin. Padahal, sebagai pengidap diabetes melitus sejak lima tahun lalu, dia harus mengetahui kondisi gula darah dalam tubuh dan mendapatkan pengobatan berkala.
Kealpaan ini pun berujung petaka. Sekitar 1,5 tahun lalu, Dadi merasakan gatal dan perih yang luar biasa hebat di tangan kanannya.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Ditargetkan Berlaku 2023
Kondisi ini pun semakin memburuk sehingga jari manis, tengah, dan telunjuknya harus diamputasi. Dua jari lainnya pun hanya bergerak terbatas.
Kondisi ini pun menghambat aktivitas Dadi. Sebagai buruh tani, kehilangan dua jari membuatnya sulit bekerja di ladang. Sekarang, Dadi yang tinggal bersama istrinya hanya bisa mengandalkan bantuan dari anak-anak mereka.
”Sekarang saya sudah di rumah saja karena ke mana-mana susah. Sekarang kaki saya yang gatal-gatal karena habis luka. Kalau seperti ini semua jadi susah,” ujarnya sambil menunjukkan telapak kaki kirinya.
Potensi cacat tubuh akibat diabetes melitus ini mengancam jutaan warga di Indonesia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Kemenkes Eva Susanti menyebutkan, hingga tahun 2021, jumlah penderita diabetes mencapai 19,5 juta pada 2021.
Menurut data Federasi Diabetes Internasional (International Diabetes Federation/IDF), jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada 2019 di angka kurang lebih 10,7 juta jiwa. Namun, dari sekitar 19,5 juta pengidap diabetes, separuh di antaranya belum terdiagnosis, bahkan lebih sedikit yang dapat ditangani dengan baik.
Kondisi itu tergambar jelas di Garut. Sekretaris Dinkes Garut Leli Yuliani menyebutkan, penderita diabetes melitus di Garut sedikitnya 15.000-an jiwa. Dari jumlah itu, 14.000 pasien di antaranya telah dipantau layanan kesehatan. Namun, 20 persen pengidap diabetes di Garut masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.
Minim petugas
Rintangan dalam penanganan diabetes di daerah terpencil tidak hanya dari masalah jarak. Ketersediaan petugas kesehatan ikut berpengaruh.
Kepala Puskesmas Tegalgede Herman menyebutkan, hanya memiliki satu dokter umum, satu apoteker, 13 perawat, 16 bidan, serta petugas lainnya dengan total 45 orang.
Dokter dan apoteker ditempatkan di puskesmas, sementara sebagian perawat dan bidan disebar di lima desa yang menjadi lokus kerja Puskesmas Tegalgede. Wilayah ini, antara lain Desa Tegalgede, Neglasari, Tanjungjaya, Tanjungmulya, dan Desa Karangsari.
”Warga yang ditangani puskesmas kami mencapai 28.000 jiwa, sedangkan pasien diabetes yang butuh pemantauan rutin itu sekitar 52 orang. Itu menjadi tantangan bagi kami dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” ujarnya.
Puskesmas Tegalgede tidak sendirian. Bupati Garut Rudy Gunawan menyebutkan, dari 67 puskesmas di Garut, sekitar 20 persen atau lebih kurang 13 di antaranya berada di lokasi yang sulit untuk diakses. Hal ini menjadi catatan bagi dirinya. Rudy berjanji akan meningkatkan aksesibilitas tersebut.
”Kami berupaya meningkatkan infrastruktur dan kebutuhan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Dalam tiga tahun terakhir, kami menambah 68 dokter, termasuk dokter gigi, untuk mengisi fasilitas-fasilitas kesehatan seperti ini,” ujar Rudy.
Baca Juga: Membatasi Kalori, Memperpanjang Usia
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan sukarelawan yang ada di tengah masyarakat diharapkan menambal kekurangan ini. Seperti Ayu Aprita, satu-satunya dokter di Puskesmas Tegalgede yang menyambut baik pelatihan yang diberikan Novo Nordisk. Pelatihan itu dianggap bisa menyegarkan kembali ilmu-ilmu terkait diabetes.
Tidak hanya itu, bekal ilmu dan pelatihan yang didapatkan selama empat hari pada Agustus 2022 di Bandung itu pun dibagikan kepada para sukarelawan. Menurut Ayu, komunikasi dan edukasi yang terjalin bisa meningkatkan pemahaman masyarakat terkait diabetes.
Clinical, Medical, Regulatory, and Quality (CMRQ) Director Novo Nordisk Indonesia Riyanny Meisha Tarliman menyatakan, akses dan keterjangkauan adalah hal utama yang dibutuhkan dalam penanganan diabetes. Oleh karena itu, deteksi dini diharapkan bisa mencegah komplikasi karena penanganan yang terhambat.
”Kami mendukung pemeriksaan kesehatan dasar yang dicanangkan oleh Kemenkes. Ini untuk mengecek faktor risiko penyakit tidak menular, termasuk diabetes. Kami berharap kegiatan ini bisa mendorong penanganan diabetes di Indonesia,” ujarnya.
Pemahaman terkait diabetes yang melekat di masyarakat dianggap mampu menahan potensi diabetes. Aksesibilitas fasilitas kesehatan hingga kemampuan petugas pun perlu diperhatikan untuk penanganan yang lebih responsif. Jika tidak, akan ada banyak warga mengalami cacat tubuh, hingga dihantui kematian akibat penyakit ini.