Cakupan Imunisasi Rendah, Puncak Gunung Es Masalah Kesehatan
Kemunculan kembali penyakit polio di Aceh berhubungan dengan cakupan imunisasi yang rendah. Hal ini mesti diwaspadai karena penyakit lain pun berpotensi merebak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya kembali penyakit polio di Indonesia merupakan ”puncak gunung es” masalah kesehatan masyarakat. Semua daerah diminta bersiap menghadapi kemungkinan munculnya penyakit lain, khususnya daerah dengan cakupan imunisasi rendah.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, kejadian luar biasa (KLB) polio di Aceh berhubungan dengan cakupan imunisasi yang rendah. Akibatnya, kekebalan kelompok (herd immunity) tidak tercapai. Hal ini disayangkan karena vaksin polio tersedia secara gratis.
Sebelumnya dilaporkan ada satu kasus polio di Kabupaten Pidie, Aceh. Pasien yang berusia sekitar tujuh tahun ini mengalami kelumpuhan total pada kaki kiri. Ia diketahui tidak memiliki riwayat imunisasi apa pun. Kasus ini merupakan yang pertama setelah Indonesia dinyatakan bebas polio pada 2014.
”Aceh memiliki sejarah panjang cakupan vaksinasi yang sangat rendah. Ini (KLB polio) sudah kami prediksi. Satu kasus polio itu seperti puncak gunung es, kita mesti siap-siap,” ujar Piprim seusai Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak (PIT IKA) ke-11 di Jakarta, Minggu (20/11/2022).
Mengutip laman Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, cakupan imunisasi dasar lengkap di Aceh turun selama lima tahun terakhir. Cakupan imunisasi dasar lengkap di Aceh sebesar 59,7 persen pada 2017, lalu turun menjadi 58 persen (2018), 48,9 persen (2019), 42,7 persen (2020), dan 38,4 persen (2021). Imunisasi dasar lengkap meliputi pula vaksinasi polio.
Rendahnya cakupan imunisasi di Aceh disebabkan oleh layanan vaksinasi yang sempat turun saat pandemi Covid-19. Di sisi lain, sebagian orangtua khawatir anaknya demam setelah divaksinasi dan sebagian lainnya mempertanyakan kehalalan vaksin.
”Sepanjang pengetahuan kami, tidak semua daerah rendah (cakupan imunisasinya). Namun, seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau itu pokoknya harus ada sertifikat halal dulu baru mau divaksinasi,” ujar Piprim.
Adapun Aceh bukan satu-satunya daerah yang mesti waspada polio. Per November 2022, Kementerian Kesehatan mencatat 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota di Indonesia ada di kriteria berisiko tinggi polio.
Membangun kesadaran publik tentang pentingnya imunisasi pun menjadi penting. Cakupan vaksinasi polio tetes (OPV) pada 2020 adalah 86,8 persen, lalu turun jadi 80,2 persen pada 2021. Sementara itu, cakupan vaksinasi polio suntik (IPV) pada 2020 adalah 37,7 persen, lalu naik jadi 66,2 persen pada 2021. Kekebalan baru bisa tercapai bila cakupannya mencapai 90 persen (Kompas, 20/11/2022).
Sebagian orangtua tidak mengenal penyakit dan dampaknya bagi anak. Itu sebabnya imunisasi tidak selalu dianggap penting.
Piprim mengatakan, sebagian orangtua tidak mengenal penyakit dan dampaknya bagi anak. Itu sebabnya imunisasi tidak selalu dianggap penting. Sebagian orang juga lebih khawatir pada efek samping imunisasi daripada dampak bila anak tidak diimunisasi.
”Tidak boleh gagal fokus dan tidak boleh keliru memprioritaskan pilihan hidup. efek samping vaksin mungkin hanya demam, tetapi ini tidak dialami semua orang. Mungkin juga bengkak atau (kulitnya) merah-merah sedikit. Kalau kena polio, dampaknya lumpuh seumur hidup,” tutur Piprim.
Ia menambahkan, kejadian di Aceh mesti jadi peringatan bagi daerah lain terhadap potensi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti campak dan difteri. Sebelumnya, kasus difteri sempat merebak di Aceh akibat cakupan imunisasi rendah. Sementara pada 2018, Papua menyatakan KLB campak dan gizi buruk yang menyebabkan sejumlah anak meninggal.
Menurut Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama, saat ini Aceh perlu menggalakkan vaksinasi dalam bentuk outbreak response immunization (ORI) dan vaksinasi massal penduduk. Surveilans penyakit juga mesti diperkuat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, angka kematian bayi yang masih relatif tinggi mesti pula diperhatikan. Hingga kini, angka kematian bayi di Indonesia sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup. Indonesia menargetkan angka kematian bayi turun jadi 14 per 1.000 kelahiran hidup pada 2024.
”Seharusnya kita punya ambisi menurunkan angka ini ke bawah 10 per 1.000 (kelahiran hidup). Malu rasanya sudah lama merdeka, tetapi angka kematian bayi masih begini,” ujar Budi.
Setidaknya ada tiga penyebab kematian bayi, yaitu berat badan bayi saat lahir rendah (34,5 persen), asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh kurang (27,8 persen), serta kelainan kongenital (12,8 persen). Menurut Budi, berat badan lahir rendah bisa dicegah dengan memerhatikan kesehatan ibu saat hamil.
Itu sebabnya penguatan layanan kesehatan dibutuhkan. Fasilitas kesehatan pun akan dilengkapi. Ia menargetkan seluruh puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas USG pada 2023.