Alat Uji Tempel untuk Deteksi Alergi
Peneliti dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada mengembangkan alat uji tempel untuk deteksi alergi dari dalam negeri.
Dermatitis kontak alergi merupakan kondisi peradangan yang timbul setelah adanya kontak antara kulit dengan bahan alergen. Situasi ini biasanya terjadi pada seseorang dengan hipersensitivitas atau orang dengan sensitivitas kulit yang tinggi.
Dermatitis kontak alergi bisa terjadi pada semua usia, tetapi lebih jarang ditemukan pada usia anak. Pada buku berjudul Dermatitis Kontak Alergi dari Patrick B Murpy dkk pada 2021 disebutkan, dermatitis kontak alergi menyumbang setidaknya 20 persen dari kasus penyakit kulit.
Ada beberapa penyebab terjadinya dermatitis kontak alergi, seperti paparan pada obat-obatan nikel atau logam, produk karet, kosmetik, produk rumah tangga, ataupun pewarna rambut. Dermatitis kontak alergi tidak selalu muncul setelah paparan terjadi. Pada journal of allergy and clinical immunology yang dipublikasi pada 2015, reaksi alergi kulit bisa muncul setelah beberapa waktu, antara 12-72 jam setelah paparan alergen terjadi.
Gejalanya antara lain gatal yang berlangsung terus-menerus, ruam pada kulit, kulit yang melepuh, dan kulit kemerahan. Gejala ini bisa muncul hanya di area yang terpapar alergen. Namun, pada kondisi tertentu, dermatitis bisa menyebar ke seluruh tubuh.
Dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun, deteksi penyebab pasti perlu dilakukan dengan pengujian. Uji tempel salah satu yang bisa dilakukan.
Namun, persoalan yang dihadapi saat ini, alat uji tempel yang tersedia di Indonesia merupakan produk impor. Selain harganya mahal, alat uji tersebut tidak memiliki standar yang dikembangkan dari hasil penelitian masyarakat di Indonesia.
Padahal, kondisi biologi masyarakat di Indonesia berbeda dengan kondisi biologis di luar negeri. Alergennya pun bisa berbeda.
Hal itu yang kemudian mendorong peneliti dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, untuk mengembangkan alat diagnostik uji tempel dalam negeri. Hilirisasi pun sudah dilakukan oleh PT Swayasa Prakarsa dengan nama dagang Patch-Gen untuk alergen dan Pot Alergen untuk chamber.
Patch-Gen merupakan bagian dari alat kesehatan berbahan kimia untuk penatalaksanaan gejala alergi. Alat ini ditempelkan pada permukaan kulit untuk mendeteksi alergi.
Alat uji yang diprakarsai dokter Suyoto pada 1990 ini dikembangkan lebih lanjut oleh Fajar Waskito, Niken Indrastuti, dan Sri Awalia Febrina. Ketiganya merupakan dokter spesialis kulit dan kelamin dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Yogyakarta.
Uji tempel
Fajar Waskito, Jumat (18/11/2022), mengatakan, alat uji tempel yang dikembangkan ini diharapkan bisa memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dari alat uji impor. Keberlanjutan untuk pengadaan alat ini pun lebih mudah dibandingkan alat uji impor.
Terkait dengan harga dari alat uji produksi dalam negeri, harga yang didapatkan hanya 20 persen dari harga produk impor. Ia pun berharap agar alat ini bisa digunakan secara luas dan dimanfaatkan pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Keunggulan lainnya, stabilitas dari alergen bisa mencapai 24 bulan, sementara produk impor hanya 6-12 bulan.
Keunggulan lainnya, stabilitas dari alergen bisa mencapai 24 bulan, sementara produk impor hanya 6-12 bulan. Uji tempel dengan menggunakan alergen yang dikembangkan ini memiliki sensitivitas sebesar 73,53 persen dengan spesifitas sebesar 96,2 persen. Saat ini setidaknya sudah ada 16 alergen yang dapat diuji.
”Alat uji ini sudah digunakan di RSUP Dr Sardjito. Kita harap bisa digunakan lebih luas lagi karena harganya pun lebih rendah dari produk impor yang beredar saat ini. Inovasi ini diharapkan pula dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia,” kata Fajar.
Ia menambahkan, lewat alat uji produksi dalam negeri, biaya yang dikeluarkan pemerintah melalui program JKN untuk membeli alat kesehatan bisa lebih rendah. Selain itu, dengan harga yang terjangkau, kasus dermatitis kontak alergi bisa lebih banyak terdeteksi.
Secara teknis, uji tempel yang dilakukan dengan menggunakan Patch-Gen tidak berbeda dengan uji tempel sebelumnya. Alat uji digunakan atau ditempel di area punggung. Area ini dipilih karena memiliki penampang kulit yang paling lapang pada tubuh serta bagian yang tertutup sehingga minim paparan dari luar.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membersihkan daerah yang akan ditempel dengan Patch-Gen. Setelah itu, alergen dimasukkan ke dalam chamber yang nantinya akan ditempel pada punggung.
Setelah chamber yang berisi alergen ditempel, perekat akan ditempelkan pada tepi chamber juga untuk memperkuat penempelan. Biarkan Patch-Gen menempel selama 48 jam. Setelah 48 jam, chamber dapat dibuka dan dinilai hasil yang muncul.
Jika ada sensitivitas pada jenis alergen tertentu, bagian kulit akan menunjukkan reaksi berupa dermatitis. Dengan begitu, jenis alergen dari pasien pun bisa dideteksi. Uji tempel ini bisa dilakukan pada semua usia. Namun, perlu dipastikan punggung dari orang yang akan melakukan uji tersebut tidak mengalami permasalahan kulit.
Itu karena jika ada permasalahan pada kulit, dapat menyebabkan hasil uji positif palsu. Intervensi pun menjadi tidak tepat. Setiap pasien yang diuji pun tidak mengonsumsi obat imunosupresan atau kortikosteroid dan tanpa dermatosis.
Dalam pengembangannya, penelitian dari alat uji tempel produksi dalam negeri ini akan diperluas. ”Melalui Perdoski (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia), penelitian multicenter akan dilakukan untuk membandingkan antara produk dalam negeri dan produk luar negeri,” tutur Fajar.
Pendekatan dengan industri kosmetik pun akan dilakukan untuk pengujian alergi pada produk kosmetik. Ini diperlukan untuk mengetahui potensi efek alergi dari produk kosmetik tersebut. Jika ada produk yang menyebabkan alergi, akan lebih baik untuk ditulis dalam kemasan sebagai bentuk edukasi dan informasi kepada masyarakat.
Produk dalam negeri
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Hari Kesehatan Nasional ke-58, Kamis (3/11/2022), mengatakan, penelitian dan pengembangan produk farmasi dan alat kesehatan buatan dalam negeri akan terus digenjot. Setidaknya, 50 persen kebutuhan di Indonesia diperoleh dari produk dalam negeri. Sementara saat ini, penggunaan produk impor masih sekitar 90 persen.
Ia mengatakan, pemerintah telah memberikan insentif untuk mendorong industri farmasi dan alat kesehatan agar menghasilkan produk dalam negeri. Dari sekitar Rp 38 triliun total belanja Kementerian Kesehatan setiap tahun, akan didorong porsi lebih besar untuk pembelian alat kesehatan, vaksin, dan obat-obatan dari dalam negeri.
”Dibutuhkan komitmen yang kuat tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari pelaku sektor industri,” kata Budi.