Pendekatan Sains Perkuat Pemahaman Perubahan Iklim di Masyarakat
Ilmu pengetahuan berperan penting dalam mengatasi perubahan iklim. Perlu pendekatan yang tepat dalam menyebarluaskan sains kepada masyarakat agar upaya adaptasi ataupun mitigasi perubahan iklim bisa lebih optimal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Bekas rumah warga yang ditinggalkan beberapa tahun lalu di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (9/3/2020). Abrasi terus mengancam sejumlah wilayah Jawa Tengah, antara lain Brebes, Pekalongan, Kendal, dan Demak.
JAKARTA, KOMPAS — Aspek sains, masyarakat, dan lingkungan memiliki keterkaitan yang sangat erat, khususnya dalam menunjukkan fakta tentang terjadinya perubahan iklim. Namun, perlu pendekatan yang tepat dalam menyebarluaskan sains kepada masyarakat agar upaya adaptasi ataupun mitigasi perubahan iklim bisa lebih optimal.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Bruno Latour: Sains, Masyarakat, dan Perubahan Iklim” di Jakarta, Sabtu (19/11/2022). Webinar ini mendiskusikan gagasan dari filsuf sekaligus sosiolog asal Perancis, Bruno Latour, tentang sains, masyarakat, dan lingkungan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Herry Purnomo menyampaikan, banyak hal menarik dari perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan sejak zaman perguruan miletus hingga pascamodernisasi. Hal ini kemudian yang mendasari Bruno Latour untuk memiliki pemikiran tentang sains yang muncul dari perdebatan atau argumentasi.
“Sains adalah sebuah subyektivitas dan hal ini benar adanya. Jadi, memang tidak ada yang obyektif di dunia ini,” ujar Herry yang juga sebagai Peneliti Senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (Cifor-ICRAF).
Menurut Herry, aspek sains, masyarakat, dan lingkungan yang digagas Bruno memiliki keterkaitan sangat erat, khususnya dalam menunjukkan fakta tentang terjadinya perubahan iklim. Fakta ini sebenarnya juga dapat dilihat dan dirasakan sejak puluhan tahun lalu yang ditandai dengan meningkatnya suhu Bumi secara signifikan.
ANTARA FOTO/ARNAS PADDA
Sejumlah relawan menanam bibit mangrove di area hutan mangrove Lantebung di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (28/10/2021). Aksi tanam mangrove dengan tema Aksi Muda Jaga Iklim yang diikuti sedikitnya 28 komunitas penggiat lingkungan tersebut untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda sekaligus mengampanyekan upaya mengatasi perubahan iklim.
Peningkatan suhu
Sementara dari aspek sains, fakta tentang peningkatan suhu telah dibuktikan dengan berbagai hasil riset. Menurut laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), peningkatan suhu ini hanya 10 persen disebabkan faktor astronomi. Sementara 90 persen penyebab utamanya adalah antropogenik atau tindakan manusia.
”Apabila ada pihak yang memiliki gagasan lain tentang penyebab peningkatan suhu ini juga bisa dikontestasikan. Jadi, sains bergerak secara revolusioner,” tuturnya.
Aspek masyarakat juga sangat penting dilibatkan untuk penyebarluasan hasil riset, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan ataupun perubahan iklim. Pelibatan masyarakat ini telah dilakukan Herry dengan cara mengajak mereka dalam proses pengelolaan ekosistem mangrove sehingga mereka memahami dari pandangan peneliti.
Apabila ada pihak yang memiliki gagasan lain tentang penyebab peningkatan suhu ini juga bisa dikontestasikan. Jadi, sains bergerak secara revolusioner.
Herry juga menekankan bahwa upaya pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan mangrove tidak akan relevan bila menggunakan pemahaman dari laporan atau riset tentang perubahan iklim. Oleh karena itu, proses ini harus melalui pendekatan yang mudah dipahami dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
”Masyarakat akan bergerak apabila diberikan pemahaman tentang dampak penanaman mangrove untuk meningkatkan produksi ikan. Hal terpenting lainnya adalah jangan menyalahkan masyarakat karena mereka tidak memahami perubahan iklim,” katanya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Aliansi Peduli Krisis Iklim Indonesia melakukan Pawai Peduli Krisis Iklim di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). Mereka mengingatkan pemerintah akan pentingnya mengatasi krisis iklim.
Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Syarif Maulana, mengemukakan, sesuai gagasan Bruno Latour, saintis harus membuat realitas menjadi tampak. Artinya, terdapat campur tangan terhadap realitas, termasuk saat memberikan fakta tentang perubahan iklim dan dampaknya.
Selain perubahan iklim, lanjut Syarif, pandemi Covid-19 juga telah menunjukkan pelibatan sains sangat krusial dalam mengatasi kondisi tersebut. Namun, dalam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk Indonesia, terdapat faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan, seperti politik dan agama.
”Pada akhirnya, mengatasi Covid-19 dan perubahan iklim menyinggung sesuatu tentang hal yang bukan faktor manusia. Faktor-faktor ini begitu kuat pengaruhnya terhadap kolektif,” ungkapnya.