DAU Senilai Rp 157 Miliar Telah Ditransfer ke NTT, Ribuan Guru Honorer Belum Diakomodasi
Pemerintah pusat telah mentransfer dana alokasi umum senilai Rp 157 miliar untuk pengangkatan guru honorer yang lulus ”passing grade”, tetapi pemprov belum membuka formasi untuk mereka.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Dana alokasi umum senilai Rp 157 miliar untuk pengangkatan sekitar 3.000 guru honorer yang lolos seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahun 2021 telah ditransfer Kementerian Keuangan ke kas daerah Nusa Tenggara Timur. Namun, pemerintah provinsi belum membuka formasi guru bagi para lulusan itu. Jika sampai 2023 dana tersebut tidak dimanfaatkan sesuai tujuan, Komisi Pemberantasan Korupsi didorong untuk melakukan pemeriksaan.
Pengangkatan guru PPPK jangan dipolitisasi menuju kepentingan Pilkada 2024. Demikian, antara lain, hasil pertemuan perwakilan ribuan guru honorer yang sudah dinyatakan lulus passing grade dengan anggota Komisi X DPR, Yacoba Anita Gah, di Kupang, Sabtu (19/11/2022). Sekitar 100 perwakilan guru honorer yang bertugas di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang, Malaka, dan Belu hadir dalam pertemuan itu. Mereka mewakili guru honorer dari 22 kabupaten/kota di NTT.
Anita Gah lebih dulu memberikan kesempatan kepada enam perwakilan guru honorer menyampaikan aspirasi. Para guru honorer ini kebanyakan mengabdi di SMA/SMK atau sederajat. Selain itu, ada juga beberapa guru SD dan SMP.
Usia mereka pun berkisar 35-54 tahun. Sebagian dari mereka telah mengikuti seleksi calon guru PPPK untuk jabatan fungsional (guru) tahun 2021 dan telah menenuhi nilai ambang batas atau dinyatakan lulus prioritas satu.
Sherli Boling (38), guru agama Kristen dari salah satu SMA swasta di Kota Kupang, misalnya, mengatakan, dirinya masuk kategori lulusan prioritas satu (P1). Artinya, lulus passing grade melewati ambang batas. Namun, tiba-tiba dirinya dialihkan dari provinsi ke pemkot. Sementara di kota namanya tidak terdaftar.
Sementara itu, guru agama Kristen dari SMAN Ayotupas di Timor Tengah Selatan (TTS) yang berbatasan dengan Kabupaten Malaka, Adab Swan (45), mengatakan, dirinya sudah 10 tahun mengajar di sekolah itu. Akan tetapi, pada setiap pembukaan pendaftaran, tidak ada formasi untuk guru agama Kristen sama sekali, sementara siswa di sekolah itu hampir 100 persen Kristen. Formasi yang tersedia hanya untuk guru agama Islam.
Selama ini, selain mengajar, di juga menjadi operator sekolah dan masuk anggota analisis kebutuhan guru. ”Berarti, saya paham kebutuhan guru di sana, meski hidup dengan honor Rp 300.000 per bulan,” katanya.
Honor tersebut untuk hidup satu bulan dalam situasi sekarang sangat sulit. Padahal, masa kerjanya sudah 14 tahun.
Ia menyebutkan, jika di sekolah negeri saja formasi guru agama Kristen tidak dialokasikan, apalagi di sekolah swasta. Nasib mereka lebih buruk lagi.
”NTT ini mayoritas Kristen, terdiri dari Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kalau guru agama tidak diakomodasi Kemendikbud, sebaiknya kami dialihkan saja ke Kementerian Agama,” kata Swan.
Perempuan lima anak ini mengatakan, kebanyakan guru honor sudah berusia di atas 40 tahun. Apakah pemerintahtega mengabaikan pengabdian mereka yang sudah puluhan tahun itu.
Ia menyebutkan, semua guru honorer yang mengabdi di NTT tidak muda lagi. ”Rambut kami sudah ubah satu per satu. Kami mau ke mana, sementara kami sudah memberikan yang terbaik bagi anak didik. Bahkan, kami lebih disiplin dibandingkan guru negeri. Mereka beranggapan masuk atau tidak tetap dapat gaji, sementara kami membangun disiplin tinggi dengan harapan bisa dinilai dan diangkat,” kata Swan.
Berarti, saya paham kebutuhan guru di sana, meski hidup dengan honor Rp 300.000 per bulan.
Afelin Malia, guru SMAN 3 Kupang, mengatakan, dirinya guru PPPK dari pusat. Namun, ketika membuka akun sistem seleksi calon ASN nasional (SSCASN) untuk memilih formasi, pemerintah pusat langsung menjawab bahwa dana sudah ditransfer ke setiap daerah. Sementara provinsi bilang tidak ada formasi karena tidak ada dana. ”Dananya ke mana,” tanya Afelin.
Lempar tanggung jawab
Kondisi ini yang membuat NTT tidak maju-maju. Apakah setiap tahun harus selalu ada dana dari pusat untuk bayar gaji pegawai. Saling lempar tanggung jawab seperti ini harus ditelusuri lebih jelas.
Ia meminta KPK harus turun menyelidiki ini. Sejak 13 November 2022, SSCASN ditutup. Apakah bagi mereka itu masih bisa mendaftar ulang tahun ini untuk formasi 2023 atau tidak sama sekali.
Ia berharap jangan ada pihak yang memanfaatkan momentum Pilkada 2024 dengan menyeret peserta seleksi PPPK masuk dalam pusaran politik praktis 2023/2024. Kasus sejumlah tenaga honorer di Timor Tengah Utara (TTU) yang diarahkan mendukung calon bupati tertentu dalam Pilkada 2020 dan memilih calon anggota DPR 2019 saat itu jangan terulang dalam Pemilu 2024 ini.
Setelah mendengar aspirasi itu, Anita Gah menegaskan, apa yang disampaikan para guru honorer itu sudah tepat. Tidak ada yang salah. Hanya satu hal yang belum dipahami. Dana alokasi umum pusat untuk pengangkatan sekitar 3.000 guru honorer senilai Rp 157 miliar sudah ditransfer ke kas daerah Pemprov NTT oleh Kemenkeu. ”Ibu dan bapak guru yang cerdas-cerdas ini jangan dibodohi. Harus berjuang untuk mendapatkan hak itu,” katanya.
”Pusat tidak salah, tidak diskriminatif terhadap NTT. Yang menjadi masalah adalah pemda NTT. Mereka mau bangun sumber daya manusia NTT atau membiarkan SDM di daerah ini tetap terpuruk. Mereka punya kemauan membangun daerah ini atau tidak,” kata Anita.
Terkait guru honorer yang sudah dinyatakan lulus seleksi dan nilainya melebih ambang batas, ia mengatakan, nama mereka tidak akan hilang dari Dapodik Kemendikbud. ”Saya jamin itu. Seharusnya bapak ibu guru sudah terakomodasi tahun ini, tetapi tidak terealisasi. Tahun 2023 kita sama-sama berjuang agar harus terealisasi formasi itu,” kata anggota DPR selama 14 tahun ini.
Anita menyetujui usulan peserta pertemuan bahwa KPK perlu turun menangani kasus ini jika sampai 2023 pun formasi itu tidak dibuka untuk guru honorer yang sudah lulus. Dana Rp 157 miliar itu tidak sedikit.
Perempuan Sabu Raijua dari Partai Demokrat ini pun meminta lima perwakilan guru honorer untuk ikut bertemu Gubernur Viktor Laiskodat pekan depan. Ia berharap pertemuan itu berlangsung di kantor gubernur dan saat jam kerja.
”Ini urusan dinas. Jadi, nanti kita sama-sama bertemu Pak Gubernur. Saya juga meminta agar saat pertemuan itu, Gubernur didampingi Karo Keuangan, Kepala BKD, serta Kadis Pendidikan dan Kebudayaan. Biar bapak ibu guru dengar langsung, apa masalahnya,” katanya.