Sebanyak lebih dari 5.000 orang dengan HIV di NTT rutin mengonsumsi antiretroviral. Sebagian dari mereka sudah 30 tahun dan sebagian baru mulai mengonsumsi. Kasus HIV di NTT terus meningkat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Jumlah orang dengan HIV/AIDS yang sedang mengonsumsi antiretro viral sebanyak 5.367 orang dan ODHA yang berhenti mengonsumsi ARV sebanyak 636 ODHA. Kasus HIV di NTT terus meningkat, lebih banyak menginfeksi kelompok usia produktif. Anggaran penanggulangan HIV/AIDS terbatas, sejumlah LSM peduli HIV/AIDSpun berhenti beroperasi.
Pengelola Program Komisi Penanggungalan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Adrianus Lamuri, di Kupang, Jumat (18/11/2022), mengatakan, sesuai data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Pemprov NTT, jumlah kasus terus meningkat setiap tahun. Temuan kasus ini karena semakin gencarnya pemeriksaan HIV di masyarakat.
Sebanyak 5.367 orang hidup dengan HIV/AIDS atau ODHA menjalani terapi rutin dengan mengonsumsi antiretro viral atau ARV. Ini bukan obat untuk menyembuhkan, tetapi memperpanjang usia harapan hidup ODHA. Sangat disayangkan, ada 636 ODHA menarik diri mengonsumsi ARV dengan alasan bosan atau jenuh,dan beralih ke pengobatan tradisional,” kata Lamuri.
Jumlah ODHA yang mengonsumsi ARV merupakan akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya. Ada yang mengonsumsi ARV sudah lebih dari 30 tahun, dan ada yang baru mulai mengonsumsi. KPA terus melakukan pendampingan agar mereka yang sedang mengonsumsi ARV tidak boleh berhenti. Setiap hari 1-2 tablet ARV dikonsumsi, sesuai resep dokter.
Jumlah temuan kasus baru ODHA dalam dua tahun terakhir, 2021-Oktober 2022,sebanyak 926 kasus, pada 2021 sebanyak 705 kasus, dan Januari-Oktober 2022 sebanyak 221 kasus. Berdasarkan data tahun 2022, sebagian kabupaten/kota belum melaporkan secara keseluruhan. Total kasus selama tahun 2022 akan diketahui pada akhir Desember 2022.
Kasus HIV/AIDS tahun 2021 sebanyak 705 orang. Kota Kupang menempati urutan tertinggi dengan jumlah132 kasus pada tahun 2021, terdiri dari 118 HIV dan 14 kasus AIDS. Menyusul Kabupaten Alor 77 kasus, yakni 55 HIV dan 22 AIDS. Padahal, Alor sebelumnya berada pada level terendah, yakni 20 kasus. Tahun-tahun sebelumnya jumlah kasus tertinggi ada di Atambua, perbatasan dengan Timor Leste.
Kenaikan kasus di Kota Kupang, antara lain, karena penutupan lokalisasi di Karang Dempel (KD), Tenau, Kupang. Penghuni KD sebagian besar pindah ke pemukiman warga dengan menyewa kamar kos dan rumah kontrakan untuk menjalani praktek prostitusi liar. Aktivitas mereka ini sulit dikontrol dan diawasi petugas kesehatan. Apalagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini mendampingi mereka itu, termasuk ODHA pun tidak beraktivitas lagi karena kesulitan pendonor.
”Secara keseluruhan temuan kasus baru HIV/AIDS di NTT karena maraknya layanan pemeriksaan di masyarakat dengan dukungan petugas kesehatan. Semakin banyak kasus diungkap, semakin cepat ditangani, dan ODHA bersangkutan tetap terpantau, tidak berpeluang menyebarkan virus HIV,” kata pria Larantuka ini.
Kelompok usia produktif (15-49 tahun) terbanyak terinveksi HIV/AIDS, yakni sebanyak 641 kasus. Anak-anak usia di bawah 1 tahun sebanyak 8 orang yang terpapar dari orangtua. Sementara kelompok usia lebih dari 50 tahun 58 orang.
Jika dalam pemeriksaan yang bersangkutan dinyatakan positif HIV, orang dengan status baru ini perlu pendampingan agar mereka bisa menerima kenyataan itu dan bersedia mendapatkan layanan medis. Mereka yang menolak melakukan pengobatan dan terapi medis, serta lebih memilih pengobatan tradisional, usia harapan hidup lebih pendek ketimbang terapi medis dengan mengonsumsi ARV.
Dari sisi risiko, hubungan heteroseksual menempati urutan tertinggi kasus, yakni 743 orang, dan homoseksual sebanyak122 kasus. Sesuai jenis pekerjaan, kelompok ibu rumah tangga menempati urutan tertinggi, yakni 214 kasus, petani 177 kasus, karyawan swasta 148, pelajar dan mahasiswa sebanyak 44 kasus, pekerja seks komersial 16 kasus, dan mantan pekerja migran sebanyak 4 kasus.
Ia mengatakan, kasus HIV/AIDSini ibarat gunung es. Kelihatan sebagian saja di permukaan tetapi sebenarnya kasusnya masih jauh lebih banyak, dari hasil penularan dari mereka yang sudah terpapar. Apalagi hubungan seksual mendominasi proses penularan itu.
Kasus HIV ini sudah merata di semua lapisan masyarakat, golongan, jabatan, usia, jenis pekerjaan, dan kategori lainnya. ”Karena itu, perlu sosialisasi mengenai dampak dari pergaulan bebas, apalagi di tengah maraknya media sosial saat ini,”katanya.
Jumlah anggota KPA di tingkatprovinsi dan kabupaten/kota terbatas. Setiap kantor beranggotakan 3-4 orang. KPA bekerja sama dengan masyarakat di setiap desa, membentuk kelompok warga peduli AIDS (WPA) di desa-desa. Kini, sudah terbentuk 189 kelompok WPA desa dari total 3.026 desa di NTT. Setiap kelompok WPA beranggotakan 10 orang. Mereka bekerja secara sukarela melakukan sosialisasi dan mengajak masyarakat melakukan tes HIV di Puskesmas.
Selain itu, ada kelompok pelajar peduli AIDS, mahasiswa peduli AIDS, dan guru peduli AIDS. Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli AIDS ini, antara lain, mendorong anggota komunitas untuk melakukan tes HIV secara sukarela tanpa paksaan, sekaligus pendampingan awal apabila pasien tersebut positif terpapar HIV.
”Kami sudah ajak para guru agar terus melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi kepada para pelajar di sekolah melalui mata pelajaran terkait, seperti biologi, agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang tepat, dengan sendirinya mengarahkan generasi muda menghindari pergaulan bebas,” katanya.
Ketua Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, sebelum krisis keuangan di Eropa terjadi, hampir semua LSM di Kota Kupang dan NTT umumnya aktif beroperasi. Namun, saat pendonor menarik diri, kegiatan LSM pun macet, tinggal papan nama. ”Kita turun ke lapangan harus ada dukungan modal, apalagi mendampingi ODHA yang tengah dalam kesulitan,”katanya.
Alokasi anggaran daerahuntuk KPA NTT tahun 2021 senilai Rp 750 juta. Tetapi tahun 2022 turun menjadi Rp 200 juta. “Dengan anggaran Rp 200 juta itu sangat sulit KPA membangun kerja sama dengan LSM, apalagi turun ke 22 kabupaten/kotadi NTT melakukan sosialisasi dan pembinaan,” katanya.