Potensi Gempa Bumi dan Tsunami Besar hingga 30-40 Tahun Mendatang
Gempa bumi ”megathrust” dengan skala M 8,7-9,0 dapat menyebabkan tsunami yang bisa menyapu pesisir selatan Jawa dan Sumatera.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil analisis siklus gempa bumi megathrust menunjukkan bahwa dalam kurun sekarang hingga 30-40 tahun ke depan terdapat potensi gempa dan tsunami di selatan Jawa Barat, Banten, dan segmen lainnya. Akumulasi energi yang cukup besar pada megathrust dapat menghasilkan gempa bumi dengan skala M 8,7-9,0.
Hal itu diungkapkan Kepala Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung Heri Andreas dalam Webinar bertajuk ”Ancaman Tsunami Selatan Jawa, Sudah Siapkah Kita?”, Rabu (16/11/2022). Pemaparannya bersumber dari hasil penelitian beberapa peneliti yang saling mengonfirmasi ada akumulasi energi yang cukup besar di megathrust selatan Jawa Barat, Banten, dan segmen lainnya.
”Siklus gempa bumi megathrust memiliki ciri yang cukup unik dengan periode 200-an tahun, yang terakhir sekitar tahun 1800. Dalam kurun ini hingga 30-40 tahun (ke depan) berpotensi terjadi gempa bumi dan tsunami besar karena berada dalam pengujung siklus,” ucapnya.
Siklus ini terlihat dari rentetan peristiwa gempa bumi di megathrust selatan Jawa dan Sumatera, seperti Banyuwangi pada 1994, Aceh pada 2004, Mentawai pada 2005, Pangandaran pada 2006, dan Bengkulu pada 2007. Tersisa daerah selatan Sumatera Barat, selatan Selat Sunda, selatan DI Yogyakarta, dan selatan Bali.
”Energi yang terdapat di sepanjang megathrust perlu dilepaskan semuanya. Tidak tahu daerah mana yang akan terjadi (gempa bumi) duluan. Bisa saja besok, minggu depan, atau tahun depan,” ujarnya menambahkan.
Gempa bumi megathrust dengan skala M 8,7-9,0, ucap Heri, dapat menyebabkan tsunami yang bisa menyapu pesisir selatan Jawa dan Sumatera. Saat ini, lokasi gempa bumi, tsunami, dan besaran energinya dapat diprediksi. Hanya waktu terjadinya dapat diperkirakan secara kasar melalui konsep siklus gempa bumi.
Sementara itu, penelitian terbaru yang diterbitkan Pepen Supendi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta tim di jurnal Natural Hazards menemukan, zona kegempaan di selatan Jawa bagian barat dan tenggara Sumatera menyimpan sumber potensial gempa megathrust di masa depan dengan kekuatan hingga M 8,9. Dengan gempa sebesar ini, potensi ketinggian tsunami maksimum mencapai 34 meter (Kompas.id, 5/11/2022).
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, potensi tsunami dengan magnitudo skenario terburuk itu diperlukan untuk mitigasi bencana. Mitigasi itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.
”Skenario terburuk itu potensi bukan prediksi sehingga tidak ada yang tahu pasti kapan akan terjadi. Meskipun begitu, pemerintah daerah perlu melakukan langkah mitigasi agar lebih siap menghadapi gempa bumi dan tsunami,” ujarnya.
Skenario terburuk itu potensi bukan prediksi, sehingga tidak ada yang tahu pasti kapan akan terjadi.(Daryono)
Saat ini, BMKG memiliki 403 unit sensor seismograf dan alat deteksi gempa bumi yang menurut rencana akan ditingkatkan hingga 600 unit. Untuk sensor pendeteksian tsunami, Indonesia memiliki 288 unit.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari Badan Geospasial Indonesia, BMKG, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Semua sensor tersebut diletakkan di lokasi rawan gempa bumi dan tsunami.
Mitigasi
Daryono memaparkan, masih banyak lokasi rawan gempa bumi dan tsunami yang minim peralatan dan sumber daya manusia untuk merespons informasi bencana. Sarana evakuasi tsunami, seperti rambu, jalur, dan sirene juga belum tersedia.
Selain itu, kemampuan peringatan dini tsunami rentang waktunya masih 4-5 menit setelah peristiwa. Dalam waktu dekat, menurut Daryono, rentang waktu itu akan dipercepat hingga 3 menit sesuai dengan rencana strategis BMKG.
Peneliti senior bencana geologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Semeidi Husrin, menyebutkan, hasil risetnya di Kompleks Pelabuhan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pangandaran, Jawa Barat, mengenai integrasi peringatan dini tsunami dengan gempa bumi berjalan dengan baik. Namun, untuk sistem otomatis masih menemui banyak tantangan.
”Integrasi peringatan dini tsunami dan gempa bumi juga telah dapat mendeteksi bencana 15 menit sebelum terjadi. Waktu tersebut cukup untuk evakuasi ketika hal-hal yang berkaitan dengan infrastruktur evakuasi, seperti rambu, papan informasi dan jembatan, telah dibangun,” ujarnya.
Menurut wartawan senior Kompas yang menggeluti bidang kebencanaan, Ahmad Arif, bahaya tsunami di selatan Jawa perlu memerhatikan komunikasi risiko antara pemahaman gempa bumi dan tsunami serta pengurangan risiko. Pengurangan risiko dapat dilakukan dengan penataan ruang, infrastruktur peringatan dini, latihan evakuasi, dan persepsi terkait risiko.
Pemahaman tentang risiko gempa bumi dan tsunami juga perlu berlandaskan catatan sejarah, catatan geologi, kajian seismik, dan pemodelan tsunami. ”Semua hal ini diperlukan untuk menyelamatkan banyak jiwa,” tuturnya.