Masyarakat Tak Kunjung Sejahtera dari Kehadiran Perusahaan Sawit
Tanah masyarakat telah diubah jadi kawasan perkebunan sawit yang membuat mereka kehilangan mata pencarian sebagai petani. Mereka diserap menjadi tenaga kerja perusahaan tanpa ada jaminan masa depan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran perkebunan sawit dianggap mampu memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar. Meski demikian, perkebunan sawit selama ini menyimpan kesedihan dan sikap pesimistis dari masyarakat yang tinggal di area konsesi perkebunan.
”Industri sawit ini melakukan penguasaan wilayah yang luas dan melakukan penelantaran penduduk sekitar wilayah. Perusahaan itu diibaratkan sebagai raksasa yang rakus menggerogoti hutan dan mungkin akan mempercepat krisis iklim,” ujar Pujo Semedi, penulis buku Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit dalam diskusi mengupas buku tersebut, Kamis (17/11/2022) di Ruang Seminar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta.
Menurut Pujo, riset untuk buku ini dilakukan di Kalimantan Barat pada tahun 2010-2015 bersama dengan Tania Murray Li, Guru Besar Departemen Antropologi Universitas Toronto. Diketahui, sebagian besar wilayah di sekitar permukiman masyarakat sudah dibagi-bagi untuk perusahaan sawit.
”Harapan bahwa perkebunan sawit mampu memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar sebatas janji manis dari para pemilik perusahaan,” ungkap Pujo.
Pujo Semedi yang merupakan Guru Besar Ilmu Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu juga menyebut industri perkebunan sawit ini seperti suatu mesin penggalang lahan, tenaga kerja, dan modal di bawah manajemen yang terpusat. Hal ini tentu memengaruhi hubungan sosial, ekonomi, dan politik antarmasyarakat akibat perusahaan sawit tersebut.
Lebih lanjut ia menyampaikan, tanah-tanah masyarakat yang telah diubah menjadi kawasan perkebunan sawit turut membuat mereka kehilangan mata pencarian sebagai petani. Sementara itu, mereka diserap menjadi tenaga kerja perusahaan tanpa ada jaminan masa depan.
Harapan bahwa perkebunan sawit mampu memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar sebatas janji manis dari para pemilik perusahaan.
”Tanah (masyarakat) yang diubah menjadi perkebunan sawit telah membuat mereka tinggal di tepi sungai, yang mana dahulu ada perkebunan buah ataupun padi milik pribadi, (tapi) kini digantikan oleh kebun sawit,” katanya.
Sementara itu, Angela Iban, peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, menjelaskan, kehidupan pertanian yang kaya hasil bumi telah hilang di wilayah yang telah diubah menjadi perkebunan sawit tersebut. Kehidupan yang terjadi di Kalimantan Barat itu membuat masyarakat yang semula menjadi petani padi, buah, dan karet terpaksa bergantung pada perusahaan sawit.
Menurut Angela, permasalahan ini terjadi akibat perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola lahan atau wilayah terpencil yang dinilai tidak produktif oleh negara. Hal tersebut telah membuat perusahaan-perusahaan sawit mengambil peran agar memberikan kemakmuran yang hingga kini tidak dirasakan oleh masyarakat setempat.
Tak hanya itu, permasalahan lain dari tata kelola sawit adalah sengketa lahan. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, permasalahan lainnya dari tata kelola sawit salah satunya tumpang tindih dan sengketa lahan.
Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam lima tahun terakhir ada peningkatan 30 persen aduan berupa konflik agraria. Perbaikan tata kelola sawit tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga politis (Kompas, 12/1/2022).
Menurut Pujo, tata kelola perkebunan sawit perlu melibatkan petani setempat agar bisa memberi dampak kesejahteraan bagi mereka. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan sawit bisa berfokus pada produksi dan hasil olahannya.
”Jadi, ada pembagian tugas yang dilakukan agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Jangan semuanya dikelola oleh perusahaan sawit, mulai dari perkebunan hingga produksi. Biarkan untuk masalah pertanian dikelola oleh petani lokal,” katanya.