BPOM mengumumkan PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries sebagai tersangka kasus obat tercemar. Hal ini berhubungan dengan gangguan ginjal akut yang menimpa ratusan anak di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Konferensi pers Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dilaksanakan di Jakarta, Kamis (17/11/2022). Konferensi pers ini membahas perkembangan terbaru kasus obat tercemar yang berhubungan dengan gangguan ginjal akut pada ratusan anak di Indonesia. Dalam konferensi ini, BPOM mengumumkan dua perusahaan farmasi sebagai tersangka kasus obat tercemar etilen glikol dan dietilen glikol.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan mengumumkan dua perusahaan farmasi sebagai tersangka kasus obat tercemar bahan berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol. Mereka dinilai lalai mengawasi dan menjamin mutu obat.
”PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries telah dilakukan proses penyidikan dan ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito di Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Sebelumnya, kedua perusahaan ini diberi sanksi administratif oleh BPOM berupa pencabutan izin edar obat sirop. Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) keduanya juga dicabut.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Konferensi pers Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dilaksanakan di Jakarta, Kamis (17/11/2022). Konferensi pers ini membahas perkembangan terbaru kasus pencemaran obat yang berhubungan dengan gangguan ginjal akut pada ratusan anak di Indonesia. Dalam konferensi ini, BPOM mengumumkan dua perusahaan farmasi sebagai tersangka kasus obat tercemar etilen glikol dan dietilen glikol.
Ada tiga perusahaan lain yang CPOB-nya dicabut BPOM, yaitu PT Afi Farma, PT Ciubros Farma, dan PT Samco Farma. Ketiganya masih dalam proses penyidikan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Distributor kimia CV Samudera Chemical juga masih diproses polisi. CV Samudera Chemical adalah distributor penyalur propilen glikol yang digunakan sebagai bahan baku obat. Propilen glikol yang didistribusikan CV Samudera Chemical mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman.
Batas cemaran EG dan DEG pada bahan baku seharusnya hanya 0,1 persen. Namun, dari uji sampel BPOM terhadap bahan baku CV Samudera Chemical, ditemukan cemaran EG sebesar 52-90 persen. Penny mengatakan, ini berarti bahan baku obat bukan lagi propilen glikol, melainkan EG.
Cemaran EG dan DEG dikaitkan dengan kasus gangguan ginjal akut yang menimpa anak-anak. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, hingga kini ada 324 kasus gangguan ginjal akut. Sebanyak 199 anak di antaranya meninggal, 111 sembuh, dan 14 lainnya masih dirawat.
Kasus ini diharapkan bisa diusut hingga tuntas. Sebab, menurut Penny, kejahatan obat ini bukan yang pertama kali terjadi. Untuk mencegah kejadian serupa, BPOM telah berkomunikasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta badan pengawasan obat dan makanan AS, Thailand, Arab Saudi, dan Malaysia.
DEONISIA ARLINTA
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan adanya bahan baku propilen glikol yang mengandung etilen glikol (EG) melebihi ambang batas di gudang bahan kimia CV Samudera Chemical di Depok, Jawa Barat (9/11/2022). Kandungan cemaran EG yang ditemukan ada yang mencapai 99 persen, sementara ambang batas aman hanya 0,1 persen.
Lalai
Penny menilai bahwa industri farmasi lalai dari tanggung jawabnya untuk memastikan keamanan, mutu, dan khasiat obat. Sebagai pemegang izin edar, industri farmasi wajib memantau khasiat, keamanan, dan mutu obat, lantas melaporkan hasilnya ke BPOM.
”Sesuai CPOB, industri farmasi harus melakukan pengawasan mutu, QC (quality control/pengendalian mutu), terhadap bahan awal agar sesuai dengan pesanan, serta bertanggung jawab terhadap pengujian bahan awal. Perlu juga melakukan kualifikasi pemasok untuk memastikan mutu dan integritas rantai pasok,” tutur Penny.
Menurut perwakilan industri farmasi, Technical Operation Director Sanbe Hafizh D Esas, ia yakin industri farmasi telah melakukan langkah komprehensif dalam proses produksi obat. Hal ini termasuk menguji bahan baku obat dan produk jadi untuk memastikan tidak ada cemaran EG dan DEG.
Ia menambahkan, industri farmasi juga sudah memperhatikan rantai pasok obat. Ini meliputi mengecek asal pasokan, kualifikasi distributor dan pemasok, cara manufaktur bahan baku, hingga distribusi produk.
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA
Aparat kepolisian menanyakan pemilik Apotek Murah Farma terkait penjualan obat yang menggunakan bahan baku yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas. Pihak apotek mengaku menghentikan penjualan dan mengembalikan 16 botol produk Unibebi batuk sirop ke pihak distributor.
Pada kesempatan yang sama, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan 15 industri farmasi menandatangani komitmen untuk memproduksi obat sesuai peraturan yang berlaku. Ada beberapa poin komitmen, di antaranyakomitmen untuk memproduksi obat sesuai data yang disetujui BPOM saat pemberian izin edar. Ada pula komitmen untuk menjamin mutu dan keamanan obat dengan penerapan CPOB, terutama dalam menjamin kualifikasi pemasok dan rantai pasok, serta pengawasan bahan baku, bahan aktif, hingga bahan tambahan obat.
Per 17 November, BPOM merilis 168 obat sirop yang aman jika dikonsumsi sesuai aturan pakai. Obat itu dinyatakan aman karena tidak mengandung bahan pelarut berupa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Sementara itu, dari pengujian mandiri industri farmasi, ada 128 obat sirop yang dinyatakan aman.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pegawai toko minimarket di kawasan Kramat, Jakarta menarik produk obat sirup yang mengandung paracetamol, Kamis (20/10/2022). Saat itu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan edaran bagi sejumlah pihak termasuk tenaga kesehatan dan apotek untuk menghentikan sementara pemberian obat dalam bentuk cair atau sirop karena diduga menjadi faktor risiko kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Peningkatan kapasitas
Penny berharap, kapasitas BPOM ditingkatkan agar ke depan dapat melakukan pengawasan obat dan makanan secara mandiri. Payung hukum untuk itu pun diperlukan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan sebenarnya dibahas DPR sejak sekitar empat tahun lalu. Namun, pembahasannya terhenti di 2019.