Keluarga Berperan Menjamin Kesejahteraan dan Martabat Lansia
Tanpa perawatan yang tepat, lansia berisiko menghabiskan tahun-tahun pada akhir hidupnya dalam keadaan yang tidak nyaman, terbatas dalam partisipasi kegiatan, dan tidak memiliki martabat.
Umur harapan hidup dan ketahanan hidup warga lanjut usia berkontribusi terhadap meningkatnya penyakit kronis serta gangguan kognitif pada masa usia lanjut. Karena itu, peran keluarga dan masyarakat sangat penting dalam memberikan perawatan yang menjamin kesejahteraan dan martabat para warga lanjut usia.
Kehadiran keluarga dibutuhkan para warga lanjut usia (lansia) yang memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari, terutama lansia yang berada dalam kondisi terbaring di tempat tidur (bedridden), atau lansia yang mengalami demensia.
“Kami menemukan dalam perawatan lansia, peran keluarga tetap kuat, yakni anak perempuan dan menantu, juga anak laki-laki. Bukan hanya anak, (tapi) juga pasangan lansia sering terlibat,” ujar Elisabeth Schroeder-Butterfill, Peneliti dari Centre for Research on Ageing Faculty of Social Sciences, Universitas Southampton, pada Diskusi Terfokus Bersama Jurnalis “Tentang Studi Jaringan Perawatan Lansia di Indonesia”, Selasa (14/11/2022) di kampus Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta, Jakarta.
Studi komparatif tentang jaringan perawatan lansia di lima lokasi di Indonesia, dilakukan Elisabeth dan tim dari Unika Atma Jaya Jakarta serta Universitas Southampton, Inggris yang bekerja sama dengan Universitas Loughborough dan Universitas Oxford, Inggris.
Kelima daerah tersebut adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Khusus untuk Jakarta juga dilakukan studi kuantitatif di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat dengan subyek lebih dari 100 lansia. Studi komparatif berlangsung mulai 2019 hingga 2023 mendatang.
Pemilihan lima wilayah studi tersebut untuk mendapatkan gambaran beragam sesuai dengan budaya, agama, ekonomi, pelayanan kesehatan dalam perawatan lansia yang diteliti.
Kelurahan Kalianyar menjadi tempat studi kuantitatif karena merupakan kelurahan yang terpadat di Asia Tenggara. Kelurahan Kalianyar selama lebih dari 10 tahun merupakan wilayah binaan Unika Atma Jaya Jakarta, khususnya untuk kesehatan para lansia.
Hasil studi kuantitatif yang dilakukan tahun lalu (2021) di Kalianyar menunjukkan 59 persen lansia memiliki penyakit hipertensi, 42,1 persen lansia tidak mandiri, dan 20 persen lansia mengalami demensia.
Dari keseluruhan studi yang dilakukan, ditemukan betapa kuatnya peran keluarga di Indonesia dalam perawatan lansia. Sebagian besar anak-anak yang telah dewasa menganggap pemberian perawatan kepada para orangtuanya sebagai cara untuk membalas budi dan cinta yang mereka terima sejak masa kecil.
“Pasangan lansia, anak, menantu, dan cucu juga ikut mendampingi lansia yang mengalami ketergantungan,” ujar Elisabeth.
Besarnya perhatian keluarga pada lansia, juga tergambar dari penelitian. Ketika terjadi krisis perawatan terhadap lansia di dalam sebuah keluarga, maka anggota keluarga dari lansia yang merantau akan kembali untuk merawat orangtuanya. “Bahkan saudara sepupu dan keponakan ikut berperan dalam perawatan lansia, khususnya jika tidak ada anak yang dekat,” tambah Elisabeth.
Baca juga : Jaga Lansia dalam Keluarga
Perawatan yang melelahkan
Kendati demikian, dalam studi tersebut juga ditemukan sejumlah alasan mengapa perawatan warga lansia bisa menjadi beban. Hal tersebut, antara lain karena kebutuhan warga lansia yang bersifat jangka panjang disertai masalah kompleks seperti pikun, kesedihan, dan keras kepala.
Bantuan dengan kegiatan sehari-hari seperti mandi, menyuapi, dan inkontinensia (tidak mampu menahan buang air kecil), bisa melelahkan perawat lansia. Pada keluarga lansia tertentu, beban perawatan kadang dipikul oleh satu atau dua orang saja.
Seringkali lansia memiliki masalah kesehatan yang kompleks, yang memerlukan perhatian medis. Lansia yang mengalami kesedihan, lansia yang memiliki sifat keras kepala, atau lansia yang melakukan tindakan berulang yang membahayakan dirinya sendiri, dapat membuat pengasuh menjadi frustrasi.
Usaha pengasuh untuk menghindari terjadinya luka baring (dekubitus), memindahkan lansia dari tempat tidur ke kursi, dan mendorong lansia untuk makan, dapat menjadi beban pengasuh.
Persoalan juga muncul dalam keluarga ketika lansia membutuhkan perawatan jangka panjang, khususnya pada keluarga yang menghadapi kesulitan keuangan, atau pengasuh yang sudah tua dan kurang sehat. Persoalan ini dapat mengakibatkan pengasuh merasa terbebani dan kewalahan.
Tanpa perawatan yang tepat, lansia berisiko menghabiskan tahun-tahun pada akhir hidupnya dalam keadaan yang tidak nyaman, terbatas dalam partisipasi kegiatan, dan tidak memiliki martabat.
Sementara, selain mengalami ketergantungan atau tidak dapat keluar dari rumah (housebound), akses warga lanjut usia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga menurun.
Layanan transportasi yang terbatas, ditambah kekhawatiran tentang biaya, serta anggapan bahwa masalah kesehatan warga lanjut usia (lansia) hanyalah “sakit tua” yang tidak ada obatnya, sangat memengaruhi layanan kesehatan bagi lansia.
Padahal, menurunnya layanan kesehatan dan berkurangnya perhatian medis dapat mengurangi kualitas hidup warga lansia dan mempercepat kematian mereka. Maka, dukungan kader pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia sangat dibutuhkan keluarga.
Penelitian di wilayah Alor menemukan, masalah dalam perawatan lansia berbasis keluarga terlihat pada keluarga kecil, sehingga beban hanya dipikul oleh satu atau dua orang saja. Jika terjadi konflik antar keluarga, misalnya terpicu oleh masalah warisan, akan mengakibatkan anggota keluarga tidak mau bekerja sama.
Baca juga : Memastikan Warga Lansia Berdaya
Kemiskinan
Dari studi kuantitatif di Kelurahan Kalianyar, situasi kondisi lansia sangat memprihatinkan. Prof Yvonne Suzy Handajani, dari Pusat Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta memaparkan, sebagian besar lansia di Kalianyar berada dalam ambang batas garis kemiskinan, bahkan ada yang rumah tangganya berada di bawah batas garis kemiskinan.
“Kondisi ini memengaruhi kualitas hidupnya, pemenuhan kebutuhan dasar, menyebabkan stres dan gangguan psikologis lainnya, serta kemampuan untuk berobat,” kata Yvonne.
Kondisi ekonomi yang di bawah garis kemiskinan memengaruhi ketahanan pangan keluarga lansia. Bahkan di Kalianyar, sejumlah lansia mengurangi jumlah makan per hari.
Belum lagi, dalam setahun terakhir, keluarga lansia meminjam uang dari keluarga lain, atau dari perbankan dan lain-lain. Bahkan ada yang berhutang untuk membeli makanan.
Ketika sakit, sebagian besar lansia melakukan pengobatan sendiri dengan obat bebas yang dibeli (36,5 persen) dan pergi ke tenaga kesehatan (32,5 persen), istirahat di rumah (15,1 persen), atau menggunakan obat tradisional (8,7 persen).
Bahkan, lansia banyak memilih pengobatan sendiri (48,4 persen) dengan menggunakan obat bebas untuk mengatasi gangguan sakit kepala, pusing, atau vertigo, dan penyakit demam maupun nyeri punggung.
“Sebagian besar lansia memilih parasetamol dan obat flu yang mengandung antihistamin, ekspektoran/antitusif, dekongestan, maupun kombinasi dari obat-obat tersebut,” kata Yvonne.
Baca juga : Mengejar Angka, Melupakan Lansia
Hasil kajian menemukan peran kader posyandu lansia sangat penting. Di sejumlah desa seperti di Kalianyar, kader posyandu lansia, pada saat pandemi Covid-19, selain memberikan nasihat kepada lansia, membantu pembagian masker, mendorong lansia untuk vaksinasi, dan lain-lain.
Jika pengasuh keluarga lansia tidak ada, kadang-kadang kader akan mengunjungi lansia di rumah untuk memantau kondisi kesehatan mereka. Kader Posyandu Lansia merupakan penghubung utama lansia dengan layanan kesehatan, dan memperkuat upaya keluarga dalam merawat lansia.
Namun, layanan kesehatan oleh kader juga masih terbatas, karena sumber daya manusia kader posyandu lansia yang tidak merata. Di sisi lain, layanan kesehatan masyarakat umum yang lebih mendapat perhatian petugas kesehatan masyarakat, seperti di Sumatera Barat dan Alor, kader masih fokus pada pelayanan kesehatan untuk anak balita.
Temuan studi tersebut menggambarkan warga lansia adalah bagian dari masyarakat yang perlu perhatian khusus, tidak hanya dari keluarga, tetapi juga lingkungan masyarakat hingga negara.
Rekomendasi
Dari hasil studi tersebut, para peneliti merekomendasikan sejumlah langkah yang perlu ditindaklanjuti para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan, antara lain memperkuat dan meningkatkan kapasitas kader posyandu lansia agar bisa mendukung keluarga dalam memberikan perawatan pada lansia.
Selain pelatihan tentang perawatan yang baik bagi lansia, kader posyandu lansia juga perlu diberikan apresiasi dalam bentuk insentif dan perhargaan.
Situasi lansia yang kesulitan mengakses layanan kesehatan karena kelemahan, kecacatan, atau kemiskinan juga perlu diatasi dengan, layanan kunjungan ke rumah. “Kami merekomendasikan agar kunjungan rumah ke sejumlah kecil lansia yang sudah tidak dapat keluar dari rumah menjadi bagian dari tanggung jawab kader dan tenaga kesehatan yang ada di setiap puskesmas,” kata Elisabeth.
Pendekatan tersebut sudah diterapkan di Yogyakarta dan Bali melalui Proyek Percontohan Perawatan Jangka Panjang yang dilakukan Bappenas dan SurveyMeter.
Rekomendasi lain dari studi tersebut adalah pentingnya kehadiran negara dalam bentuk dukungan finansial bagi lansia, terutama bagi mereka yang miskin atau berpenghasilan kecil, sehingga mereka bisa mendapatkan perawatan kesehatan dan nutrisi yang berkualitas baik.
Isu lansia sesungguhnya sudah menjadi perhatian masyarakat global. Pada tahun 2021 United Nations Decade of Healthy Ageing (2021-2030) diluncurkan. Di Indonesia, tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan, pada 14 September 2021.
Perpres tersebut menjadi payung hukum bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan lanjut usia yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat. Perpres Stranas Kelanjutusiaan merupakan acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka menyusun kebijakan, program, dan kegiatan terkait kelanjutusiaan.
Rekomendasi tersebut penting ditindaklanjuti, mengingat permasalahan yang dihadapi lansia Indonesia semakin kompleks. Di NTT misalnya, sebanyak 57.236 warga lanjut usia di Nusa Tenggara Timur hidup telantar, dan 122.582 jiwa lansia rawan terancam telantar. Para lansia ini hidup dengan anggota keluarga, sebatang kara, atau mengikuti orang lain. (Kompas.id/14/11/2022).
Sensus Penduduk Indonesia 2020 menyebut jumlah penduduk lanjut usia atau lansia di Indonesia mencapai 9,78 persen dari total penduduk, atau naik signifikan dibandingkan satu dekade sebelumnya yang hanya mencapai 7,59 persen. Pada 2020 jumlah lansia mencapai 26,84 juta.
Karena itulah, tidak ada alasan lagi untuk tidak menjadikan isu lansia sebagai prioritas. Sebab, tanpa perawatan yang tepat, lansia berisiko menghabiskan tahun-tahun pada akhir hidupnya dalam keadaan yang tidak nyaman, terbatas dalam partisipasi kegiatan, dan tidak memiliki martabat.