Tanggal 16 November diperingati sebagai Hari Angklung Sedunia. Hari itu jadi momentum untuk menggiatkan pelestarian angklung yang telah diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regenerasi menjadi kunci penting dalam pelestarian angklung yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya asli Indonesia 12 tahun lalu. Regenerasi dapat dicapai, antara lain, dengan mendekatkan angklung pada generasi muda.
Menurut Direktur Utama Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo, belum semua anak muda mengenal angklung. Padahal, pengenalan adalah modal dasar memupuk minat anak terhadap alat musik khas Jawa Barat tersebut.
Masih adanya anak muda yang belum mengenal angklung dipengaruhi oleh perubahan zaman. Perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi membuat generasi muda mudah berinteraksi dan mengeksplorasi budaya negara-negara lain. Beragam konten di platform digital pun menyajikan hiburan-hiburan alternatif bagi anak muda.
”Jika kita lebih aware (terhadap angklung), saya yakin animo generasi muda akan tinggi. Dari pertunjukan yang kami gelar, dalam sehari bisa ada lebih dari 1.000 anak muda atau anak sekolah yang hadir. Itu berarti ada ketertarikan anak muda, namun mereka baru tahu itu saat datang ke sini,” kata Taufik saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Saung Angklung Udjo merupakan destinasi wisata pertunjukan angklung di Kota Bandung. Tempat yang telah dikunjungi orang dari sejumlah negara ini didirikan sejak 1966.
Menurut Taufik, anak muda dapat diajak mengenal angklung dengan memainkan musik bersama, bahkan membuat musik baru. Sebab, angklung telah berkembang menjadi alat musik bernada diatonis sehingga cocok dimainkan dengan beragam alat musik. Angklung juga dapat dikolaborasikan dengan beragam genre musik, seperti jazz, pop, dan rock.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kebudayaan Restu Gunawan mengatakan, upaya regenerasi telah dilakukan melalui Gerakan Seniman Masuk Sekolah. Program Kemendikbudristek itu membuka ruang bagi seniman maupun maestro untuk menyalurkan ilmunya ke sekolah.
Ia juga mendorong penggiat angklung terus berinovasi dan berkreasi. Tujuannya agar angklung dapat beradaptasi dengan perubahan zaman.
”Peluang untuk melakukan inovasi dan kreativitas baru harus tetap terbuka agar (angklung) kontekstual dengan zamannya dan sesuai generasi sekarang. Sementara itu, yang ingin mempertahankan keaslian angklung juga tetap harus diberi kesempatan dan peluang,” ucap Restu.
Pemerintah, tambah Restu, mendukung pemajuan angklung, antara lain, dengan memberi bantuan dana dan fasilitas ke komunitas. Pemerintah juga mengirimkan angklung ke sejumlah komunitas di luar negeri, mengadakan lokakarya ke sekolah-sekolah, hingga menyelenggarakan kegiatan terkait angklung di luar negeri. Dalam hal ini, angklung berperan sebagai alat diplomasi budaya.
Sebelumnya, pada Agustus 2021, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mempromosikan pelajaran angklung ke siswa disabilitas di Jepang. Hal ini menghasilkan nota kesepahaman antara UPI dengan Chubu Gakuin University dan Chubu Gakuin College.
”Pengembangan dan pengenalan metode bermain angklung pada siswa disabilitas di sekolah Jepang oleh warga Indonesia merupakan kontribusi positif dalam penguatan hubungan Indonesia-Jepang,” kata Duta Besar RI di Tokyo Heri Akhmadi melalui keterangan tertulis.
Peluang untuk melakukan inovasi dan kreativitas baru harus tetap terbuka agar (angklung) kontekstual dengan zamannya dan sesuai generasi sekarang. Sementara itu, yang ingin mempertahankan keaslian angklung juga tetap harus diberi kesempatan dan peluang.
Sejarah dan warisan
Angklung penting dilestarikan karena mengandung sejarah panjang dan nilai warisan nenek moyang. Mengutip laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, angklung telah ada di Nusantara selama berabad-abad. Di Kerajaan Sunda, yakni abad ke-12 hingga abad ke-16, angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci, yaitu lambang dewi padi atau Dewi Sri.
Angklung juga dimainkan pada sejumlah peristiwa penting di masyarakat, seperti penanaman dan panen padi, serta khitanan. Konon, angklung juga dimainkan untuk memacu semangat saat perang.
Angklung ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 16 November 2010. Tanggal 16 November lantas diperingati sebagai Hari Angklung Sedunia.
”Ketika disahkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO, kita wajib melindungi, memelihara, mempromosikan, dan meregenerasi angklung. Jika tidak, UNESCO bisa mencabut (status) angklung sebagai warisan dunia,” ucap Taufik.
Restu menambahkan, inkripsi UNESCO merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia untuk melestarikan, mengembangkan, dan memanfaatkan angklung. Pembinaan bagi pegiat angklung dan dukungan terhadap ekosistem angklung pun dibutuhkan.