Isu Air dan Jender Fokus Perundingan COP-27 Pekan Kedua
Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 atau COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, memasuki pekan kedua. Agenda yang dibahas di antaranya terkait kelangkaan atau pengelolaan air serta isu jender.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
SHARM EL-SHEIKH, SENIN — Pekan kedua Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 atau COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, akan fokus membahas dampak krisis iklim terhadap kelangkaan air dan isu jender. Sementara pada pekan lalu, perundingan dengan fokus agenda perdagangan karbon masih berjalan lambat dan belum menemui kesepakatan.
Para perwakilan negara akan kembali mengikuti berbagai agenda dalam COP27 pekan kedua. Merujuk agenda dari situs resmi COP27, pekan kedua COP27 akan dibuka dengan pembahasan terkait pengelolaan dan kelangkaan air di sejumlah negara, termasuk Mesir.
Isu air menjadiperhatian khusus bagi Mesir yang memilikiSungai Nil sebagai salah satu sungai terbesar dan terpanjang di dunia. Pengelolaan air di Sungai Nil penting karena sungai tersebut masih menjadi tulang punggung ekonomi, pertanian, dan budaya Mesir.
Selain pengelolaan air, perundingan juga akan membahas isu jender. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka juga kerap tersisih saat wilayahnya mengalami konflik agraria dan tidak mendapat hak yang layak.
Aksi nyata harus benar-benar dilakukan karena kita tengah berpacu dengan waktu.
Surat kabar Inggris The Guardian pada Senin (14/11/2022) melaporkan, Mantan Presiden Irlandia yang pernah menjadi utusan iklim PBB Mary Robinson juga menekankan pentingnya memastikan keterlibatan perempuan dan anak-anak. Bahkan, ia juga memandang bahwa perempuan dan anak-anak merupakan solusi dalam mengatasi krisis iklim.
Sementara itu, para negosiator juga akan kembali melakukan perundingan secara tertutup untuk membahas isu terkait komitmen penurunan emisi gas rumah kaca setiap negara. Komitmen penurunan emisi ini khususnya terkait dengan pendanaan untuk membantu negara-negara lain beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Sejauh ini, sejumlah negara telah berkomitmen untuk memberikan pendanaan hingga ratusan juta dollar AS untuk negara-negara miskin guna mengatasi krisis iklim. Namun, komitmen tersebut dianggap belum maksimal mengingat upaya mengatasi krisis iklim membutuhkan pendanaan hingga ratusan miliar dollar AS.
Salah satu agenda besar yang dinilai akan menjadi pertimbangan para negosiator dalam COP27 ialah pertemuan para pemimpin negara saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Indonesia, pada 15-16 November. Para ahli memandang,hasil dari pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping sebagaipemimpin dari negara penghasil polusi terbesar di dunia itu akan berdampak besar pada pembicaraan COP27.
Terlepas dari pertemuan G20 tersebut, Presiden COP27 Mesir Sameh Shoukrymengingatkan para delegasi bahwa dunia saat ini tengah mengamati perundingan dalam COP27. Oleh karena itu, Sameh mendorong pada akhir perundingan COP27 dapat menghasilkan kesepakatan yang komprehensif untuk benar-benar mengatasi krisis iklim
”Tujuan perundingan ini adalah untuk mengadopsi keputusan dan kesimpulan konsensus sebagai hasil yang komprehensif, ambisius, dan seimbang. Aksi nyata harus benar-benar dilakukan karena kita tengah berpacu dengan waktu,” katanya kepada para delegasi, Senin.
Perundingan pekan lalu
Sebelumnya, sejumlah perundingan telah dilakukan pekan lalu dengan agenda seperti komitmen pendanaan atau kompensasi untuk kerugian dan kerusakan (loss and damage) dari krisis iklim. Akan tetapi, isu yang pertama kali dibahas dalam konferensi perubahan iklim ini juga belum menemui kesepakatan maupun hasil yang substansial.
Negara-negara pulau kecil dan berkembang terus menuntut agar COP27 menyepakati adanya pendanaan guna mengatasi kerugian dan kerusakan. Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya kurang menyepakati tuntuan ini. Mereka pun mengusulkan pendanaan iklim disalurkan melalui program-program yang sudah berjalan.
Bagi beberapa negara miskin di Afrika seperti Rwanda, komitmen pendanaan dari negara maju akan menentukan keberhasilan COP27. ”Banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa komitmen pendanaan ini merupakan sebuah hasil COP terbarudan dapat diakses,” kata negosiator Rwanda, Ineza Umuhoza Grace.
Selain pendanaan untuk kerugian dan kerusakan, isu lain yang belum menghasilkan kesepakatan yang substansial dalam perundingan pekan lalu adalah terkait dengan upaya penyeimbangan karbon (carbon offset), termasuk mekanisme pasar karbon.
”COP27 perlu memberikan kepastian bagi perusahaan dan negara tentang proses yang jelas dalam menerapkan pasar karbon. Ini perlu diterapkan dengan memprioritaskan transparansi serta integritas sosial dan lingkungan,” ungkap pakar pasar karbon Pedro Martins Barata yang juga menjadi perwakilan dari Environmental Defense Fund (EDF).