Almarhum Prof Edi Sedyawati sangat ahli dalam bidang arkeologi klasik, khususnya dalam menciptakan teori-teori baru tentang bagaimana data arkeologi digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan seni.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·2 menit baca
Sejak tahun 1970, pemikiran arkeolog senior, maestro tari, seniman, sekaligus budayawan, Prof Edi Sedyawati, selalu muncul di halaman harian Kompas lewat tulisan-tulisan arkeologi, seni tari, dan isu-isu kebudayaan. Sosok yang penuh totalitas dalam menggeluti hobi ataupun studi itu wafat pada usia 84 tahun, Jumat (11/11/2022) di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Sabtu (12/11) siang.
Edi menyukai tari sejak masih remaja. Pada tahun 1956, ia bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Sejak saat itu, ia aktif menari, bahkan beberapa kali ikut misi kesenian ke luar negeri.
Sambil menari, Edi juga rajin mengulas pertunjukan tari yang baru saja dipentaskan. Kebiasaan itu mengantarkan Edi menjadi seorang kritikus tari (Kompas, 5 September 2012).
Tulisan Edi tentang tari pertama kali terbit di harian Kompas pada Selasa, 1 September 1970, berjudul ”Bagong Masih Harus Ditantang?” yang mengupas tentang pementasan Pusat Tari Bagong Kussudiardjo di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki, 13 Agustus dan 14 Agustus 1970. ” Tarian Bagong adalah paduan dari unsur-unsur tradisionil dan modern, tetapi yang kemudian menghasilkan suatu corak yang bukan kedua-duanya,” tulis Edi.
Selain melakoni tari, Edi juga pembelajar sejati. Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Edi menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Pengukuran Pendidikan UI, Program Doktor Fakultas Sastra UI, dan mengambil kelas Ethnomusicology, East West Center, Amerika Serikat.
Dalam diskusi itu, Prof Edi meminta agar kebinekaan dan pluralisme tidak hanya menjadi jargon perjuangan, tetapi juga diterapkan dalam setiap riset. (I Made Geria)
Selain sebagai arkeolog dan akademisi, Edi juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) selama dua periode, 1985-1989 dan 2002. Pada saat yang sama, Edi menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 1993-1999 dan Gubernur Asia-Europe Foundation untuk Indonesia pada 1999-2001.
”Prof Edi sangat ahli dalam bidang arkeologi klasik, khususnya dalam menciptakan teori-teori baru tentang bagaimana data arkeologi digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan seni,” ujar Ketua IAAI Marsis Sutopo, Sabtu.
Menurut tenaga ahli Badan Riset Nasional Indonesia sekaligus mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), I Made Geria, sosok Edi merupakan harapan sewaktu arkeologi Indonesia kehilangan arah.
”Pada waktu saya masih di Puslit Arkenas, Prof Edi meminta saya membuat teh, kemudian kami berdiskusi panjang lebar. Dalam diskusi itu, Prof Edi meminta agar kebinekaan dan pluralisme tidak hanya menjadi jargon perjuangan, tetapi juga diterapkan dalam setiap riset,” ujarnya. (Z11/ABK)