Dunia arkeologi Indonesia benar-benar kehilangan dengan meninggalnya Edi Sedyawati. Saat ini, sulit menemukan arkeolog dengan totalitas sepertinya dalam mengabdikan diri di dunia arkeologi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arkeolog senior, maestro tari, seniman, dan budayawan, Prof Edi Sedyawati, meninggal pada Jumat (11/11/2022) menjelang tengah malam, di kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Jenazah dimakamkan hari ini, Sabtu (12/11/2022) siang, di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak.
Sebelumnya, Prof Edi sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat dr Cipto Mangunkusumo. Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, pada usia 84 tahun, Prof Edi meninggal dengan tenang.
Prof Edi Sedyawati atau yang akrab disapa Ibu Edi lahir di Malang, Jawa Timur, 28 Oktober 1938, tepat satu dekade setelah sumpah pemuda. Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Edi menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Pengukuran Pendidikan UI, Program Doktor Fakultas Sastra UI, dan mengambil kelas Ethnomusicology, East West Center, Amerika Serikat.
Selain sebagai arkeolog dan akademisi, Edi juga sempat menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) selama dua periode, 1985-1989 dan 2002. Pada saat yang sama, Edi menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 1993-1999 dan Gubernur Asia-Europe Foundation untuk Indonesia pada 1999-2001.
Dunia arkeologi Indonesia benar-benar merasakan kehilangan atas wafatnya Edi Sedyawati. Saat ini, sulit menemukan arkeolog dengan totalitas sepertinya dalam mengabdikan diri di dunia arkeologi.
Ketua IAAI Marsis Sutopo mengenal Edi saat menjabat Dirjen Kebudayaan Kemendikbud. Menurut dia, Edi merupakan sosok keibuan, penuh perhatian kepada staf dan arkeolog yunior.
”Prof Edi sangat ahli dalam bidang arkeologi klasik, khususnya dalam menciptakan teori-teori baru tentang bagaimana data arkeologi digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan seni,” ujar Marsis, saat dihubungi Kompas.
Edi memiliki ketertarikan pada seni arca yang disebut sebagai aliran ikonografi. Teorinya tentang seni arca pada masa Kerajaan Singasari yang juga merupakan karya disertasinya menjadi acuan arkeolog Indonesia.
”Dunia arkeologi Indonesia benar-benar merasakan kehilangan atas wafatnya Edi Sedyawati. Saat ini, sulit menemukan arkeolog dengan totalitas sepertinya dalam mengabdikan diri di dunia arkeologi,” kata Marsis.
Menurut tenaga ahli Badan Riset Nasional Indonesia yang dahulu sempat menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, I Made Geria, sosok Edi merupakan harapan sewaktu arkeologi Indonesia kehilangan arah.
”Pada waktu saya masih di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Edi meminta saya membuat teh, kemudian kami berdiskusi panjang lebar. Dalam diskusi itu, Edi meminta agar kebinekaan dan pluralisme tidak hanya menjadi jargon perjuangan, tetapi juga diterapkan dalam setiap riset,” ujarnya.
Pemikirannya tentang membumikan arkeologi Indonesia masih melekat di kalangan arkeolog hingga saat ini. Koleksi di dalam museum tidak boleh hanya menjadi sekadar tontonan. ”Itu fondasi bangsa, jangan biarkan hanya sebatas tontonan,” ucap Made saat meniru kata-kata Edi.
Totalitas Edi dalam dunia arkeologi tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada waktu karya adiluhung (seni bermutu tinggi) tidak mendapat tempat di masyarakat, Edi hadir dan mengembalikan nilai-nilai tersebut.
”Istilahnya solidaritas kosmis, yakni tidak hanya menghormati sesama manusia, tetapi juga lingkungan, hutan, dan lainnya. Pemikiran Edi sangat luar biasa, mampu membuka mata saya,” ucap Made.
Kenangan
Dalam catatan Kompas, pemikiran Edi Sedyawati telah dituangkan dalam sebuah tulisan sejak 1 September 1970. Pada saat itu, tulisannya terbit pada halaman ketiga koran dengan judul ”Bagong Masih Harus Ditantang?”.
Pemberitaan Kompas pada 28 September 1980 menyebutkan, Edi tidak hanya peneliti ataupun ilmuwan. Di kalangan seni, Edi dihormati sebagai pemikir, yang juga peneliti, tari sekaligus penari.
Pada masa itu, Edi merupakan satu-satunya ahli ikonografi sekaligus mengilhami gaya seni arca. Mengenai pembangunan Candi Ceta, ia menilai bahwa mendandani bangunan bersejarah sama halnya dengan merusak.
”Itu berarti pemalsuan. Apalagi, pembangunannya menyangkut fondasi, mengaduk tanah dengan kemungkinan merusak benda-benda kuno dan mempersulit penelitian,” ucap Edi kala itu.