Indonesia punya banyak sumber daya kesenian, mulai dari pengetahuan lokal hingga jaringan sosial. Namun, hal ini belum sepenuhnya dipandang sebagai potensi untuk mengelola kelompok seni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Seniman Ade Darmawan membawakan pidato berjudul ”Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni” pada Jumat (10/11/2022) malam di Jakarta. Pemikirannya mengenai lumbung seni disampaikan dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Sumber daya kesenian Indonesia tidak terbatas hanya pada dana, tetapi juga modal sosial, jaringan sosial, kearifan lokal, hingga pengetahuan tradisional. Namun, sumber daya ini belum sepenuhnya disadari sebagai potensi untuk mengelola kelompok seni secara berkelanjutan.
Demikian disampaikan seniman Ade Darmawan dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jumat (10/11/2022) malam di Jakarta. Pidato Kebudayaan DKJ adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan setiap 10 November untuk membahas isu-isu kesenian.
Ade merupakan direktur organisasi seni ruangrupa, anggota DKJ periode 2006-2009, dan Direktur Artistik Jakarta Biennale 2009. Ia juga menjadi Direktur Artistik Documenta Fifteen 2022 di Jerman. Ini pertama kalinya Documenta melibatkan kurator dari negara selatan.
Dalam pidato ”Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni”, lumbung dijelaskan sebagai sistem mengelola kelompok masyarakat secara egaliter. Sumber daya yang dimiliki masing-masing anggota kelompok dikumpulkan dan dikelola bersama secara adil. Hal ini ibarat lumbung, yaitu tempat menyimpan hasil pertanian. Adapun istilah lumbung pernah dipaparkan Melani Budianta pada Pidato Kebudayaan DKJ 2020.
Menurut Ade, sistem lumbung dekat dengan tradisi orang Indonesia dan sesuai dengan konteks lokal. Sistem ini pun sebetulnya sudah dipraktikkan masyarakat seni sejak dulu.
Contoh penerapan sistem lumbung adalah ketika kelompok seni patungan menyewa rumah. Rumah lantas dikelola bersama agar bisa mewadahi macam-macam pekerjaan, bahkan untuk menampung anggota yang tinggal di sana.
Cocok diterapkan
Sistem lumbung dinilai cocok untuk mengelola kelompok seni karena demokratis dan egaliter. Semua anggota punya daya tawar yang sama sehingga produk seni yang dihasilkan cenderung merdeka (walau Ade mengatakan tidak ada kemerdekaan absolut). Sistem ini juga memungkinkan kelompok seni memanfaatkan sumber daya komunal secara optimal, baik itu pengetahuan, modal sosial, tenaga, waktu, atau jaringan sosial.
”Ini yang tidak dilihat sebagai potensi yang sangat besar di Indonesia. Sebetulnya, ini bisa menjadi cara bertahan hidup, model ekonomi, model belajar, dan model pelembagaan seni,” kata Ade.
Di sisi lain, pengelolaan seni melalui lembaga formal dikhawatirkan dapat mengubah perilaku seniman. Ini rentan terjadi ketika ada entitas yang berperan sebagai pemberi dana, sementara seniman menjadi penerima dana.
Pemberian dana dari pemerintah, kata Ade, juga dikhawatirkan membuat seniman bergantung pada bantuan pemerintah. Padahal, kebijakan dan dukungan ke seni bisa berubah ketika pemerintah berganti. Di sisi lain, pengajuan proposal untuk mendapat bantuan pemerintah dikhawatirkan membuat kompetisi antarseniman.
Sistem lumbung dinilai cocok untuk mengelola kelompok seni karena demokratis dan egaliter.
Ia menambahkan, seniman dapat mengeksplorasi dan memadukan sistem lumbung dengan pengelolaan seni formal. Tujuannya agar seniman dapat memperoleh formula pengelolaan seni ideal.
”Jika kita tidak segera ngoprek model yang ada sekarang dengan model yang lebih connect dengan kosmologi kita, justru (pengelolaan seni) tidak akan sustain,” ujar Ade.
Sistem lumbung berkembang secara organik di berbagai daerah untuk menjembatani infrastruktur seni yang kurang memadai. Ini juga berkembang dari tidak meratanya pengetahuan, dukungan, ataupun informasi seni karena lembaga seni formal kerap terpusat di Jawa.
”Ruang alternatif seni tumbuh di luar Jawa, dua dekade terakhir. Ini membuktikan ada semangat dan kebutuhan sangat kuat untuk belajar bersama,” katanya. ”Ini tidak hanya upaya menampung kebutuhan imajinasi dan ekspresi warga, tetapi juga salah satu upaya melengkapi siklus pengetahuan yang terputus atau tidak lengkap di konteks ekosistem seni lokalnya,” tuturnya menambahkan.
Adapun lumbung diterapkan sebagai prinsip kerja Documenta Fifteen di Jerman yang melibatkan sekitar 1.5000 seniman dari puluhan negara. Ade mengatakan, prinsip kerja ini sempat menimbulkan benturan di antara para seniman, terlebih karena Documenta telah mapan. Namun, prinsip lumbung dinilai dapat membawa perspektif baru pengelolaan seni.
Wakil Ketua I DKJ Hikmat Darmawan mengatakan, prinsip lumbung dapat menjadi proses belajar para seniman setelah Documenta Fifteen 2022 selesai. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana prinsip itu dipraktikkan dan didiskusikan bersama. Ia berharap agar lumbung dapat menjadi pengetahuan baru dalam kesenian.