Kehadiran kucing liar ditanggapi beragam, ada yang tidak peduli, ada yang peduli dengan memberikan makan, tetapi tak kurang yang benci karena jumlahnya makin banyak.
Oleh
ALBERTUS SUBUR TJAHJONO
·4 menit baca
Kucing liar dewasa ini menjadi pemandangan umum di sudut-sudut kota dan perumahan. Kehadirannya ditanggapi beragam, ada yang tidak peduli, ada yang peduli dengan memberikan makan, tetapi tak kurang yang benci karena jumlahnya makin banyak.
Pengertian kucing liar di sini bukan kucing liar yang hidup di hutan, tetapi kucing domestik (Felis catus) yang tidak berpemilik dan hidup liar di luar rumah. Istilah kucing liar dipakai untuk membedakannya dengan kucing peliharaan.
Kucing liar tidak hanya menjadi masalah spesifik Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah global. Sejak 1990-an, peneliti mulai menaruh perhatian pada meningkatnya populasi kucing liar ini. Penelitian mulai banyak dilakukan sejak itu hingga sekarang.
Jika tidak ada upaya kontrol populasi terhadap kucing, baik betina maupun jantan, dalam satu tahun jumlah populasi kucing dapat bertambah hingga 18 kali lipat.
Sterilisasi atau mengebiri adalah solusi yang ditawarkan para peneliti untuk mengendalikan populasi kucing liar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengebiri adalah menjadikan mandul, dengan cara menghilangkan kelenjar testis agar tidak memproduksi mani pada hewan jantan atau memotong ovariumnya pada hewan betina.
Penelitian, antara lain, dilakukan Amanda L Jones dan Colleen T Downs dari Sekolah Ilmu Biologi dan Konservasi Universitas KwaZulu-Natal, Scottsville, Afrika Selatan. Penelitiannya berjudul ”Mengelola Kucing Liar di Kampus Universitas: Berapa Banyak yang Ada dan Apakah Sterilisasi Memiliki Efek?” dimuat di Journal of Applied Animal Welfare Science, 20 September 2011.
Dari April hingga Juni 2009, mereka meneliti 186 kucing yang berkeliaran di kampus. Pengebirian dilakukan terhadap separuh lebih kucing dan mengukur dampaknya. Mereka menemukan, untuk total populasi 186 kucing, dengan laju sterilisasi konstan 55 persen, populasi diprediksi tetap stabil hanya bertambah enam kucing dalam lima tahun berikutnya.
Pada nol sterilisasi, populasi akan berlipat ganda dalam lima tahun. Pada sterilisasi 100 persen, populasi akan berkurang setengahnya dalam lima tahun. Amanda L Jones dan Colleen T Downs merekomendasikan, pengebirian akan berdampak pada kestabilan populasi jika kucing yang dikebiri 57 persen ke atas dari seluruh kucing di satu koloni.
Penelitian di Indonesia tentang pengendalian populasi kucing liar dengan pengebirian juga mulai berkembang. Penelitian yang serupa Amanda L Jones dan Colleen T Downs dilakukan, antara lain, oleh Dwi Utari Rahmiati, Okta Wismandanu, dan Trianingtyas Kusuma Anggaeni dari Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat.
Penelitian berjudul ”Kontrol Populasi dengan Kegiatan Sterilisasi Kucing Liar di Lingkungan Unpad” dimuat di jurnal Dharmakarya, edisi Juni 2020. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan metode yang dikenal di sebagai TNR, singkatan dari trap neuter release atau penangkapan, steril dan pelepasan kembali. Mereka menemukan 26 kucing betina dan 18 ekor jantan yang berkeliaran di lingkungan Kampus Unpad Jatinangor.
Tujuh ekor kucing jantan dikebiri atau dikastrasi. Setelah dilakukan kastrasi, kucing dirawat selama satu hari untuk perawatan luka dan pemantauan pascapembiusan. Setelah itu dilepaskan kembali ke lokasi penangkapan.
Mengutip Liberg dan kawan-kawan (2000), Dwi Utari dan kawan-kawan menyebutkan, percampuran kucing betina dan kucing jantan pada masa birahi akan menghasilkan kemungkinanan kebuntingan yang cukup tinggi. Kucing merupakan tipe hewan dengan kemampuan bunting dan melahirkan beberapa bayi kucing sehingga dalam satu kali periode kebutingan, satu hingga enam ekor anak kucing akan lahir.
Masa menyusui kucing sekitar dua bulan, setelah itu kucing dapat birahi kembali. ”Jika tidak ada upaya kontrol populasi terhadap kucing, baik betina maupun jantan, dalam satu tahun, jumlah populasi kucing dapat bertambah hingga 18 kali lipat,” tulis Dwi Utari dan kawan-kawan.
Hasil penelitian di luar negeri dan dalam negeri itu menunjukkan bahwa pengebirian adalah solusi untuk mengatasi meledaknya populasi kucing liar. Pengebirian telah sesuai dengan prinsip kesejahteraan hewan.
Masalahnya di lapangan adalah biaya operasi dari pengebirian ini. Biaya sterilisasi pada kucing betina lebih mahal dari pada kastrasi kucing jantan. Hal itu karena prosedur operasi kucing betina lebih rumit dan memerlukan waktu semingguan sebelum kucing betina dapat dilepaskan kembali.
Oleh karena itu, program ini memerlukan upaya gotong royong pihak terkait. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), yang mempunyai program rutin bakti sosial sterilisasi kucing, menyediakan tenaga dokter hewan.
Pemerintah dan donatur menyediakan dana pembelian perlengkapan operasi. Pengurus rukun tetangga (RT) bersama warganya, yang mengetahui persis populasi kucing liar di wilayahnya, membantu mengumpulkan kucing yang akan disterilisasi.
Apabila upaya ini berhasil, niscaya populasi kucing liar dapat terkendali.