Pencegahan bunuh diri pada remaja dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu mendengarkan. Namun, stigma negatif yang melekat membuat remaja menanggung beban berat dan depresi.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehidupan remaja yang diisi dengan pencarian jati diri belakangan memicu stres yang berujung pada keinginan mengakhiri hidup. Langkah pencegahan perlu dilakukan sejak dini dan memadai.
”Dari banyaknya remaja yang berkonsultasi dengan saya, perempuan memiliki ide bunuh diri. Sedangkan percobaan bunuh diri lebih banyak dilakukan laki-laki,” ujar psikiater Nova Riyanti Yusuf, Jumat (11/11/2022), di aula Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Saat itu, ia memaparkan hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Cegah Bunuh Diri Remaja: Yuk, Deteksi! yang dicetak oleh Penerbit Buku Kompas. Penelitian mengenai kesehatan mental pada remaja itu dilakukan saat dirinya berkuliah doktoral di Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Penelitian yang dibiayai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menghasilkan sebuah instrumen berupa kuesioner untuk deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri pada remaja sebagai upaya pencegahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan empat faktor signifikan untuk deteksi dini faktor risiko bunuh diri. Keempatnya adalah perasaan kesepian, perasaan hilang harapan, perasaan ingin menjadi sesuatu yang bermakna, dan perasaan menjadi beban.
Stigma negatif
Beberapa hal yang menghambat pencegahan bunuh diri pada remaja ialah stigma negatif di masyarakat. Masih banyak yang beranggapan bahwa orang yang ingin bercerita mengenai masalah hidup dianggap lemah.
“Stigma itu sering kita jumpai juga di sekolah. Saat keluar dari ruang BK (Bimbingan Konseling) banyak dari kita berpikir bahwa anak itu nakal. Padahal bimbingan konseling merupakan langkah awal pencegahan bunuh diri pada remaja,” tambah Nova.
Risiko bunuh diri dapat meningkat jika remaja tidak mendapat kesempatan untuk didengarkan. Sikap mau mendengarkan, menurut Nova, menjadi tugas orang-orang yang berada di sekitar remaja yang memiliki tanda-tanda untuk bunuh diri. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Saat keluar dari ruang BK (Bimbingan Konseling) banyak dari kita berpikir bahwa anak itu nakal. Padahal bimbingan konseling merupakan langkah awal pencegahan bunuh diri pada remaja.
“Dalam Pasal 12 menyebutkan tindakan preventif (pencegahan) dapat dilakukan pada lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus dengan komunikasi mendengarkan dan edukasi. Dirumah juga dengan pola asuh yang baik,” kata Novia, menambahkan.
Novia juga bercerita, Kementerian Kesehatan pernah memiliki layanan telepon untuk pengaduan gangguan jiwa. Namun, seiring perkembangannya sudah tidak digunakan karena tidak ada penelpon yang mengadukan bunuh diri.
Remaja berprestasi peraih 100 medali Olimpiade Matematika & Sains Internasional serta Kader Bela Negara Republik Indonesia, Mischka Aoki dan Devon Kei Enzo, juga setuju bahwa bunuh diri dan stres pada remaja ini nyata, tetapi masih tabu.
”Selain itu, banyak cerita dari teman-temanku yang takut mengakui bahwa mereka terkena depresi. Hal itu dapat memicu juga,” ujar Mischka.
Ia mencontohkan bahwa di sekolahnya terdapat kuesioner yang diisi untuk mendeteksi dini gangguan jiwa pada remaja. Dari hasil kuesioner ini, siswa-siswi yang terjaring tanpa melapor akan langsung ditangani oleh guru di sekolah.
“Semoga sistem sederhana seperti ini terdapat di semua sekolah di Indonesia. Selain itu kami berharap semakin banyak event talkshow dan edukasi untuk mencegah bunuh diri anak muda di Indonesia,” ujar Enzo.