Pendanaan pandemi diharapkan dapat mengatasi kesenjangan pembiayaan yang terjadi serta memastikan setiap negara lebih siap menghadapi pandemi di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS– Pembentukan pendanaan pandemi telah disepakati melalui pembahasan antara menteri kesehatan dan menteri keuangan negara anggota G20. Pendanaan ini diharapkan dapat mengatasi kesenjangan pembiayaan yang terjadi serta memastikan setiap negara lebih siap menghadapi pandemi di masa depan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia dan Bank Dunia telah mengestimasi adanya kesenjangan pembiayaan pandemi hingga 10,5 miliar dollar AS dalam lima tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan adanya kontributor untuk menutup kesenjangan tersebut.
“Saat ini sudah kita bentuk adanya gugus tugas termasuk juga kita sudah membentuk adanya dana pandemi. Ini bisa digunakan untuk memperkuat kapasitas negara-negara, terutama negara berpenghasilan menengah ke bawah dalam merespon kondisi darurat kesehatan,” katanya dalam konferensi pers yang diikuti secara daring dari Nusa Dua, Bali, Jumat (11/11/2022).
Komitmen dari pendanaan pandemi yang sebelumnya disebut dana perantara keuangan (FIF) ini setidaknya sudah terkumpul sebesar 1,4 miliar dollar AS dari 20 negara donor dan tiga filantropi. Negara donor yang berkomitmen tersebut, antara lain, Australia, Kanada, Perancis, Jerman, China, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Norwegia, Afrika Selatan, Singapura, Inggris, Spanyol, dan Amerika Serikat. Sementara tiga lembaga filantropi yang juga berkomitmen yakni The Bill and Melinda Gates Foundation, The Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.
Kunta menuturkan, dana pandemi ini nanti tidak hanya bisa digunakan dalam kondisi darurat kesehatan, melainkan untuk pencegahan dan persiapan pandemi. Dengan begitu, dana ini bisa digunakan untuk memperkuat kapasitas layanan kesehatan di masing-masing negara, khususnya dalam pengembangan vaksin, pengobatan, dan alat diagnostik. Namun, mekanisme dalam pemanfaatan dana pandemi tersebut masih dibahas lebih lanjut.
Isu lain yang juga dibahas yaitu mekanisme mobilisasi sumber daya kesehatan esensial. Berdasarkan pengalaman selama pandemi Covid-19, selain kesulitan dalam mendapatkan pendanaan, sejumlah negara mengalami keterbatasan dalam mengakses alat-alat kesehatan.
Evaluasi dari Access to Covid-19 Tool Accelerator (ACT-A) pun dilakukan agar semua negara bisa mendapatkan akses yang sama terhadap alat kesehatan dan tindakan medis dalam kondisi darurat. Diskusi yang dilakukan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan swasta.
“Kita ingin konsep ACT Accelerator bisa lebih permanen. Konsep ini penting agar selain kita memiliki sumber dana, sumber daya dari sisi kesehatan juga bisa didistribusikan secara merata,” tutur Kunta.
Ia menyampaikan, Presidensi G20 Indonesia mendorong penguatan surveilans genomik sehingga pertukaran data patogen yang berpotensi menjadi pandemi bisa dilakukan secara tepat. Hal ini diperlukan agar mitigasi pandemi bisa lebih baik.
Harmonisasi protokol kesehatan
Kunta menuturkan, isu prioritas yang juga diusung yakni harmonisasi protokol kesehatan global. Hasilnya, negara-negara anggota G20 sepakat untuk membentuk sistem sertifikat perjalanan. Lewat sertifikat ini, interoperabilitas antarnegara menjadi lebih mudah.
Pada awal pandemi Covid-19, mobilitas penduduk global terhenti. Akibatnya, distribusi kebutuhan esensial pun terhambat sehingga ekonomi global terdampak. “Dengan adanya sertifikat ini, ketika pandemi kembali terjadi, orang yang sehat tetap bisa bergerak. Diharapkan ekonomi pun bisa tetap berjalan,” tuturnya.
Harmonisasi protokol kesehatan, tambah Kunta, akan dikembangkan dalam bentuk digital melalui sistem Federated Public Trust Directory. Sistem ini memungkinkan jaringan-jaringan terpercaya (trust network) yang digunakan di setiap negara bisa diharmonisasikan, khususnya untuk verifikasi sertifikat vaksin atau dokumen kesehatan lain yang difasilitasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dengan memanfaatkan sistem ini, proses verifikasi dokumen kesehatan menjadi lebih mudah. Pelaku perjalanan internasional tidak perlu mengunduh aplikasi baru ketika masuk ke suatu negara. Verifikasi dapat dilakukan dengan memindai kode QR yang sesuai dengan standar WHO.
“Seperti paspor yang bisa dibaca di negara manapun, dengan menggunakan QR code ini verifikasi bisa dilakukan dengan lebih mudah,” katanya.
Kunta menyampaikan, perluasan manufaktur global dan pusat riset untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanganan pandemi juga telah disepakati. Negara anggota G20 sepakat untuk melakukan analisis kesenjangan dan pemetaan jejaring penelitian serta manufaktur yang berkembang. Analisis ini nantinya dapat dilanjutkan pada Presidensi G2O India.
Ia menuturkan, tujuh negara secara sukarela akan berpartisipasi dan mendukung inisiatif pengembangan manufaktur terkait vaksin, pengobatan, alat diagnostik, dan jejaring penelitian. Negara itu meliputi, Argentina, Brasil, India, Afrika Selatan, Arab Saudi, Turki, dan Indonesia.
“Isu prioritas ini merupakan isu yang diusung pada salah satu agenda utama Presidensi G20 Indonesia, yakni penguatan arsitektur kesehatan global. Pandemi Covid-19 ini telah membuka mata kita bahwa arsitektur kesehatan global harus kita benahi,” ucap Kunta.
Juru bicara G20 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi secara terpisah menyampaikan, isu prioritas yang dibahas terkait penguatan arsitektur kesehatan global akan disampaikan dalam agenda KTT G20. Sebelum itu, sejumlah pertemuan masih dilakukan untuk mendalami pembahasan dari isu tersebut. “Terkait kesehatan masih akan dibahas dalam pertemuan deputi dan JFHMM (Joint Finance and Health Ministers’ Meeting),” katanya.