Penyakit kusta akan sulit ditanggulangi ketika stigma terhadap penderitanya tidak dihapuskan terlebih dahulu. Pengetahuan terkait kusta bagi seluruh kalangan menjadi krusial untuk mengeliminasi stigma tersebut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma negatif yang melekat pada penyakit kusta atau lepra menjadi hambatan utama dalam menanggulangi penyakit ini. Stigma itu melekat seumur hidup pada penderitanya, baik yang sudah sembuh maupun belum. Akibatnya, penderita kusta pun seringkali didiskriminasi.
Direktur Eksekutif until No Leprosy Remains (NLR) Indonesia Asken Sinaga dalam diskusi publik "Letter from the Hills: An Invisible Burden of Leprosy in Sumba", Kamis (10/11/2022), mengatakan, stigma negatif dipicu oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kusta.
”Stigma itu melekat pada masyarakat, tenaga kesehatan, dan diri penderita kusta. Stigma ini kemudian berkembang menjadi diskriminasi terhadap penderita kusta," ujarnya, di Jakarta.
Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap penyakit kusta merupakan sesuatu yang memalukan. Beberapa di antaranya bahkan tidak ingin menikah dengan penderita kusta karena mengira penyakit itu merupakan turunan.
Stigma negatif melekat seumur hidup pada penderita kusta. Bahkan setelah sembuh sekalipun (Uswatun Khasanah).
Pada Juni 2022, terdapat laporan kepada NLR, ada keluarga yang mengalami diskriminasi di salah satu puskesmas di Palembang, Sumatera Selatan. Ini disebabkan pemahaman yang kurang baik dari tenaga kesehatan tentang kusta.
”Oleh karena itu, program penanggulangan kusta berupa tiga zero perlu diimbangi dengan stigma reduction. Pengurangan stigma dan peningkatan kesehatan mental harus terintegrasi ke dalam setiap zero,” tambahnya.
Sementara itu, salah seorang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) Uswatun Khasanah menyebutkan, stigma atas penyakitnya membuat interaksi sosialnya terganggu. contohnya dijauhi teman-teman. Ini membuat penderita kusta lebih memilih untuk berbicara dengan sesama penderita kusta. "Stigma negatif melekat seumur hidup pada penderita kusta. Bahkan setelah sembuh sekalipun," ujarnya.
Pakar dermatologi dari Universitas Indonesia, Hardyanto Soebono menyebutkan, stigma ini lahir atas persepsi buruk masyarakat terhadap luka fisik pada penderita kusta. Selain itu, penyakit kusta juga erat kaitannya dengan kemiskinan, isolasi, serta mitos dan misteri yang berkembang.
"Ini membuat mereka (penderita kusta) dijauhi, tidak diterima bekerja, usaha tidak laku, sulit menemukan pasangan untuk menikah. Oleh karena itu mereka tidak melaporkan penyakit tersebut," ucapnya.
Data Kementerian Kesehatan per 24 Januari 2022 mencatat, jumlah kasus kusta terdaftar sebanyak 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus. Menurut Hardyanto, terjadi penurunan kasus kusta pada 2014-2022.
Kendati demikian, deteksi kasus pada tingkat cacat dua meningkat. Hal ini menunjukkan keterlambatan deteksi kasus dan pengobatan kusta. "Kalau dilihat secara provinsi, masih didominasi daerah Indonesia bagian timur seperti Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua," ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Sri Linuwih, dokter spesialis kulit dan kelamin sekaligus konsultan dermatologi tropis. Ia menyebutkan, pandangan masyarakat bahwa kusta merupakan penyakit keturunan itu tidak bisa hilang.
Penanggulangan kusta akan sulit ketika stigma yang berkembang tidak dihapuskan terlebih dahulu. Pengetahuan terkait kusta bagi seluruh kalangan menjadi krusial untuk mengeliminasi penyakit tersebut.
"Stigma negatif membuat masyarakat menjadi malu untuk melaporkan penyakit kusta. Padahal deteksi dini dapat menekan angka disabilitas akibat penyakit kusta," ujarnya.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kronis akibat infeksi bakteri Mycobacterium leprae pada kulit dan saraf tepi. Gejala awalnya adalah timbul bercak putih atau merah yang tidak terasa sakit ketika disentuh. "Kalau sudah ada gejala itu, lebih baik langsung ke puskesmas atau rumah sakit," tambahnya.
Dalam diskusi tersebut, Asken, Hardyanto, dan Sri menyimpulkan, tantangan pengentasan kusta adalah stigma negatif. Hal ini perlu diitervensi untuk mengentaskan kusta dari Indonesia bahkan dunia.