Koalisi Masyarakat Minta Pemegang Izin HTI Dievaluasi
Sebanyak 1.073 desa berpotensi konflik dengan perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri. Peninjauan izin-izin tersebut diperlukan untuk menghindari konflik.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian konflik perusahaan hutan tanaman industri atau HTI dengan masyarakat dinilai masih lamban. Koalisi masyarakat menuntut agar izin HTI dievaluasi serta menghentikan pemberian izin baru. Deretan konflik yang selama ini terjadi menjadi sinyal pendorong bagi pemerintah untuk membenahi dan memperbaiki sistem serta praktik tata kelola hutan oleh perusahaan HTI.
Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM) Riau Woro Supartinah menjelaskan, pemerintah dapat melakukan audit perizinan dan memberikan kejelasan tata batas atas lahan yang diberikan kepada perusahaan.
”Isu konflik yang terjadi seperti sengketa lahan, kekerasan, tata batas konsesi dan desa, serta dampak pada kondisi mata pencaharian masyarakat setempat,” ujarnya dalam diskusi dan peluncuran buku Kontestasi Ruang Hidup Bunga Rampai Konflik HTI di Indonesia, di Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Upaya menekan potensi konflik agraria dengan cara mengatur kembali izin yang diberikan kepada perusahaan HTI. Salah satunya memperhatikan agar hak-hak masyarakat dapat lebih dulu terpenuhi seperti menentukan batas area kerja.
Buku ini disusun oleh 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi LSM untuk Masyarakat. Buku ini berisi laporan konflik sosial perusahaan HTI, Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), dengan masyarakat di Sumatera, dan Kalimantan.
Woro menyebutkan, hasil identifikasi wilayah yang berbatasan dengan operasi dari kedua perusahaan itu menunjukkan 1.073 desa memiliki potensi konflik. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan review atau peninjauan kembali atas izin-izin HTI.
Berdasarkan data per Agustus 2022, sebanyak 1.504 kasus konflik agraria telah diadukan ke Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Kasus kehutanan yang paling banyak dilaporkan, yakni 500 kasus, diikuti 426 kasus perkebunan swasta dan 271 kasus perkebunan yang dikelola negara.
Pada kegiatan tersebut, Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), mengatakan, saat ini tengah dibangun penyelesaian kasus-kasus konflik agraria dengan cara kolaborasi. Apalagi, kendala utama penyelesaian konflik agraria itu karena mayoritas tipologinya menyangkut kewenangan dari berbagai pihak dari kementerian dan lembaga.
”Kami sedang membangun kerja kolaborasi dalam mekanisme penyelesaian konflik agraria. Karena itu, membangun kepercayaan antara lembaga serta menghilangkan ego sektoral penting dilakukan, dan yang utama membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria tersebut,” tuturnya.
Menurut Usep, KSP mempunyai tim percepatan penyelesaian konflik agraria yang berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Hal ini untuk mempercepat capaian penyelesaian konflik agraria yang dirasa belum optimal.
”Perlu dilakukan kerja sama antarpihak dalam menyelesaikan konflik agraria ini. Bahkan, sebelum memberikan izin perusahaan HTI, sebaiknya masyarakat dilibatkan dan diajak bicara lebih dahulu dengan meminta persetujuan mereka,” tuturnya.
Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Said menjelaskan, seluas 2,6 juta hektar (ha) telah dinyatakan keluar dari kawasan hutan sebagai upaya percepatan redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA). Ini bagian dari target 4,1 juta ha TORA dari kawasan hutan. Meski demikian, mekanisme pembagiannya masih dalam pembahasan agar hal ini bisa tepat sasaran.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), capaian penataan kawasan hutan melalui penyelesaian penguasaan tanah baru mencapai 1,36 juta hektar dari target 5,03 juta hektar.
Secara terinci, capaian penyediaan lahan garapan rakyat berupa sawah, tambak, dan pertanian lahan kering mencapai 1,09 juta hektar dari target 2,83 juta hektar. Lalu, capaian penyediaan lahan untuk transmigrasi 267.351 hektar dari target 490.659 hektar serta capaian konversi hutan produksi 6.687 hektar dari target 1.1 juta hektar. (Kompas.id,1/11/2022)
Menurut Said, upaya menekan potensi konflik agraria yang terjadi dengan cara mengatur kembali izin yang diberikan kepada perusahaan HTI. Salah satunya memperhatikan agar hak-hak masyarakat dapat lebih dulu terpenuhi seperti menentukan batas area kerja.