Kebebasan Berekspresi Masyarakat Jelang KTT G20 Dibatasi
Indonesia dapat memanfaatkan momentum KTT G20 untuk memberikan ruang bagi publik berpendapat sebesar-besarnya di hadapan dunia. Ruang temu itu bisa dimanfaatkan untuk menampilkan citra baik demokrasi Indonesia.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Greenpeace Indonesia menduga ada upaya menghalangi masyarakat berekspresi jelang perhelatan KTT G20. Penghadangan dalam bentuk intimidasi dan ancaman itu dinilai mencederai prinsip demokrasi yang dianut bangsa Indonesia.
Hal itu disampaikan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam konferensi pers secara daring bertajuk ”Pembatasan Kebebasan Berpendapat Jelang Perhelatan G20” yang diselenggarakan pada Rabu (9/11/2022).
Leonard mengatakan, kampanye melawan krisis iklim oleh Greenpeace yang dilakukan dengan bersepeda Jakarta-Bali terhalang gangguan dan intimidasi. ”Gangguan tersebut bersifat sistematis dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Tujuan kampanye ini jadi terganggu. Pada Senin (7/11/2022), di Probolinggo, Jawa Timur, menjadi puncak terjadinya ancaman,” katanya.
Kampanye sosial yang dilakukan Greenpeace Indonesia tersebut akhirnya tidak dilanjutkan dengan pertimbangan keselamatan para peserta yang diintimidasi aparat dan diancam organisasi masyarakat. Mereka diminta membuat pernyataan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Bali.
Selain itu, secara eksplisit mereka juga mengimbau Greenpeace Indonesia pergi meninggalkan Probolinggo. Hal ini, menurut Leonard, merupakan upaya menghalangi kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh undang-undang dan konstitusi.
Famy Decta Maulida dari Humas Pemerintah Kota Probolinggo menyebutkan, Pemkot Probolinggo tidak ada kaitannya dengan kejadian tersebut dan tidak paham duduk persoalan penolakan yang dialami tim pesepeda dari Greenpeace. ”Informasi ini akan kami lanjutkan ke pimpinan karena berada di luar kewenangan Pemkot Probolinggo,” ucapnya melalui pesan singkat.
Gangguan tersebut bersifat sistematis dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Tujuan kampanye ini jadi terganggu.
Senada dengan Greenpeace Indonesia, I Wayan Gendo Suardana, aktivis lingkungan dari Bali, juga mengungkapkan hal yang sama. Masyarakat Bali diminta bekerja dari rumah, sekolah secara daring, serta membatasi kegiatan adat dan agama. Menurut Gendo, pemberlakuan pembatasan masyarakat saat pertemuan puncak G20 ini tidak ada dasar hukumnya.
”Hanya karena menganggap presidensi G20 sangat penting, maka perlu dilakukan pembatasan, bahkan pelarangan kegiatan masyarakat. Pada praktiknya, banyak tempat yang tidak lagi menyediakan tempat untuk aktivitas masyarakat, seperti kampanye isu sosial dan pemasangan baliho yang mengkritik,” ujarnya.
Gendo menambahkan, ketua masyarakat adat Bali bahkan meminta menunda segala kritik sampai perhelatan KTT G20 usai. Padahal, Bali selama ini dianggap merupakan simbol daerah yang dapat merepresentasikan prinsip demokrasi di Indonesia.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, hal ini merupakan catatan buruk untuk demokrasi di Indonesia. Konstitusi telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Gangguan seperti intimidasi dan ancaman merupakan pencederaan hukum dan konstitusi Indonesia.
”Menyempitnya ruang publik untuk bebas menyampaikan pendapat dan ekspresi merupakan bentuk kembalinya otoritarianisme,” kata Isnur.
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia berarti kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin. Isnur menambahkan, tidak boleh ada agenda pemblokiran terhadap publik dan orang yang menyuarakan pendapatnya tidak boleh dianggap sebagai ancaman.
Indonesia sebenarnya dapat memanfaatkan momentum KTT G20 untuk memberikan ruang bagi publik berpendapat sebesar-besarnya di hadapan dunia. Sebab, pertemuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk menampilkan citra baik pertumbuhan demokrasi indonesia.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Bali Dewa Nyoman Rai Dharmadi menyampaikan, pembatasan yang diberlakukan mengacu pada Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 35425/SEKRET/2022 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dalam Rangka Presidensi G20. Pembatasan ini diberlakukan pada wilayah Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dan Denpasar Selatan pada 12-17 November 2022.
”Sebagai tuan rumah yang baik, Indonesia perlu menjaga citranya di depan negara peserta G20. Tidak perlu ada konflik yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Sebab, sudah seharusnya kita sebagai tuan rumah menghormati adanya event G20,” katanya.
Banyak negara yang ingin menjadi tuan rumah, tetapi Bali yang dipilih, menurut Dharmadi, ini merupakan suatu kehormatan. Oleh karena itu, pengurangan aktivitas masyarakat, khususnya yang menimbulkan kerumunan diperlukan untuk menghindari gangguan ketertiban dan keamanan.
”Hal yang mengakibatkan gangguan dan kerumunan di masyarakat itu kami larang. Namun, hanya untuk sementara sampai perhelatan G20 selesai dilaksanakan,” ucapnya. Menurut Dharmadi, hal ini wajar karena tamu delegasi yang datang tidak hanya mengikuti acara, tetapi juga istirahat dan berlibur di daerah sekitar lokasi kegiatan.