Trauma Masa Kanak-kanak Tingkatkan Risiko Gangguan Mental Saat Dewasa
Mengalami trauma psikologis di masa kanak-kanak dapat meningkatkan risiko gangguan mental secara signifikan saat memasuki masa dewasa. Bahkan, risiko terjadinya gangguan mental ini tiga kali lipat lebih besar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Mengalami trauma psikologis selama masa kanak-kanak secara signifikan dapat meningkatkan risiko gangguan mental saat memasuki masa dewasa. Bahkan, risiko gangguan mental ini tiga kali lipat lebih besar dibandingkan mereka yang tidak mengalami trauma selama masa kanak-kanak.
Peningkatan risiko gangguan mental bagi anak-anak yang mengalami trauma psikologis ini terangkum dalam hasil studi terbaru para peneliti di Hospital del Mar Medical Research Institute (IMIM), Spanyol, yang telah diterbitkan di jurnal European Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience, Oktober 2022.
Studi tersebut menganalisis 14 ulasan dan meta-analisis dalam jurnal khusus tentang gangguan mental yang diterbitkan hingga saat ini. Secara total, studi yang dianalisis menggabungkan lebih dari 93.000 kasus dan mengungkapkan hubungan langsung antara menderita trauma psikologis pada usia anak dan risiko patologi mental di kemudian hari.
”Sampai sekarang, ini adalah bukti terkuat bahwa trauma psikologis benar-benar merupakan faktor risiko menderita gangguan mental di kemudian hari,” kata Benedikt Amann, penulis utama studi tersebut yang juga peneliti di IMIM-Hospital, dikutip dari situs resmi IMIM-Hospital, Selasa (8/11/2022).
Para peneliti merangkum bahwa trauma yang paling umum dialami pada masa kanak-kanak adalah pelecehan emosional, fisik, seksual, serta pengabaian dan intimidasi lainnya. Mengalami salah satu dari kejadian tersebut dapat merusak otak hingga menyebabkan konsekuensi fisik ataupun psikologis dalam bentuk berbagai gangguan.
Dalam kasus pelecehan emosional, trauma tersebut paling sering menyebabkan gangguan kecemasan pada populasi umum. Akan tetapi, terdapat juga hubungan antara trauma masa kanak-kanak dan patologi lain, seperti psikosisyang terkait dengan semua trauma, gangguan obsesif-kompulsif, atau gangguan bipolar.
Risiko menderita gangguan kepribadian meningkat hingga 15 kali lipat jika pernah mengalami trauma pada masa kanak-kanak.Sementara trauma pada masa dewasa juga dikaitkan dengan peningkatan empat kali lipat risiko gangguan mental di kemudian hari.Namun, penyebab kondisi mental ini masih memerlukan banyak bukti klinis.
Berkaca dari hasil studi ini, psikolog yang juga peneliti IMIM-Hospital, Bridget Hogg, percaya bahwa pasien memerlukan pendekatan yang holistik. Pendekatan ini tidak hanya memperhitungkan faktor fisik, tetapi juga riwayat hidup mereka.
”Penting untuk membimbing pasien melalui riwayatnya agar benar-benar meninjau apa yang telah terjadi pada mereka. Namun, hal ini membutuhkan keterbukaan dan kerap kali berpotensi menyakitkanserta sering dihindari,” tuturnya.
Trauma lain
Studi ini juga menyoroti fakta bahwa trauma lain, seperti kecelakaan, kematian akibat kekerasan, atau pelecehan di lingkup keluarga, dapat memengaruhi sifat orang. Kondisi ini menghasilkan perubahan struktural dan fungsional di otak yang membuka pintu untuk gangguan mental di masa depan.
Ini adalah bukti terkuat bahwa trauma psikologis benar-benar merupakan faktor risiko menderita gangguan mental di kemudian hari.
Para peneliti pun mendorong agar ada tindakan yang signifikan terhadap pasien dengan kondisi tersebut. Di satu sisi, psikolog harus mengobati trauma psikologis pada pasien, sedangkan di sisi lain psikolog dan pihak-pihak terkait lainnya juga harus mengambil tindakan di bidang politik ataupun sosial dan dalam upaya pencegahan.
”Tindakan ini bisa dilakukan dengan mendidik keluarga dan menyiapkan program untuk mencegah perundungan. Ini merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam gangguan jiwa, baik bagi yang menerima maupun yang melakukannya,” tutur Amann.