Gerhana Bulan Total pada 8 November 2022, Gerhana Bulan Terakhir Sebelum 2025
Pada Selasa (8/11/2022) akan terjadi gerhana Bulan total. Di seluruh Indonesia, Bulan sudah dalam kondisi tergerhanai. Masyarakat yang ingin mengamati perlu bersiap sejak sore dengan melihat ke arah timur yang lapang.
Bulan yang terbit di seluruh wilayah Indonesia pada Selasa (8/11/2022) petang akan terlihat tidak biasa. Bulan, khususnya di Indonesia barat, akan terbit dengan warna merah bata atau dalam istilah dramatisnya merah darah. Bulan saat itu terbit dalam kondisi sudah tergerhanai oleh Bumi sehingga sebagian besar cahaya Matahari tidak bisa sampai ke permukaan Bulan.
Gerhana Bulan pada Selasa petang adalah gerhana Bulan total (GBT) terakhir tahun 2022. Selanjutnya, GBT baru akan kembali terjadi pada tahun 2025. Selama tahun 2023 dan 2024, seperti dikutip dari data Fred Espenak dalam Lunar Eclipse 2021-2030, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), tidak akan terjadi GBT di seluruh permukaan Bumi.
GBT berikutnya terjadi pada 14 Maret 2025. Namun, gerhana ini tidak bisa disaksikan dari wilayah Indonesia, kecuali wilayah Indonesia timur, itu pun hanya berupa fase gerhana Bulan penumbra yang terjadi saat Bulan terbit. Seluruh wilayah Indonesia baru bisa menyaksikan seluruh tahapan GBT kembali pada GBT 7 September 2025.
Karena itu, GBT pada Selasa petang hingga malam menjadi kesempatan terbaik untuk mengenalkan pemandangan langit malam kepada anak-anak. Terlebih, waktu gerhana yang terjadi di awal malam tidak akan mengganggu waktu istirahat anak-anak.
Baca juga : Gerhana Bulan Terakhir Tahun 2021
GBT kali ini bisa disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, tetapi tidak semua fase gerhana bisa diamati. Hal itu terjadi karena saat fase awal GBT dimulai, Bulan belum terbit dan waktu di Indonesia masih sore. Akibatnya, saat Bulan terbit di seluruh wilayah Indonesia pada Selasa petang, Bulan sudah tergerhanai. Waktu Bulan terbit di setiap daerah bervariasi, antara pukul 17.18 WIT di Jayapura, Papua, hingga 18.16 WIB di Banda Aceh, Aceh.
Wilayah terbaik di Indonesia untuk mengamati gerhana ini adalah di Indonesia timur. Di sana, masyarakat hanya tidak bisa menyaksikan fase awal gerhana Bulan penumbra (GBP), yaitu saat Bulan memasuki daerah bayang-bayang luar atau penumbra Bumi. Namun, kehilangan fase GBP tidak terlalu menjadi masalah karena perubahan warna Bulan pada GBP sulit diamati dengan mata.
Masyarakat di Indonesia timur akan melihat Bulan terbit sudah mengalami gerhana Bulan sebagian (GBS). Saat ini, sebagian piringan bulan sudah berwarna lebih gelap, merah oranye, dan sebagian yang lain masih berwarna kuning cerah.
Bulan yang terbit di seluruh wilayah Indonesia pada Selasa (8/11/2022) petang akan terlihat tidak biasa. Bulan, khususnya di Indonesia barat, akan terbit dengan warna merah bata atau dalam istilah dramatisnya merah darah.
Di Indonesia tengah, Bulan terbit sudah dalam kondisi GBT. Ketika itu, seluruh piringan Bulan saat terbit sudah berwarna kemerahan. Makin gelap warna merah yang terlihat, bahkan menghitam, menunjukkan banyaknya debu maupun polutan di atmosfer Bumi.
Sementara masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia barat melihat bulan terbit di sekitar puncak GBT. Namun, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), puncak gerhana yang terjadi pukul 18.00 WIB itu juga tidak bisa diamati masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan sebagian Bengkulu karena Bulan belum terbit. Namun, mereka masih bisa menyaksikan fase akhir GBT yang akan selesai pada pukul 18.41 WIB.
Selanjutnya, fase akhir GBT 8 November 2022, yaitu akhir GBT, akhir GBS, dan akhir GBP, bisa disaksikan dari seluruh wilayah Indonesia.
Masyarakat yang ingin mengamati GBT perlu bersiap sejak sore. Carilah daerah yang memiliki medan lapang ke arah timur sesuai posisi terbit Bulan. Tak perlu peralatan apa-apa, hanya berharap semoga cuaca Selasa petang mendukung.
Proses
Gerhana Bulan akan selalu terjadi saat Bulan purnama. Pada masa ini, Matahari, Bumi, dan Bulan akan berada dalam satu garis lurus dengan Bumi terletak di tengahnya. Namun, tidak setiap Bulan purnama akan terjadi gerhana Bulan karena bidang edar Bulan mengelilingi Bumi tidak sejajar atau miring 5,1 derajat terhadap bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari.
Gerhana Bulan baru terjadi saat bidang edar Bulan sejajar dengan bidang orbit Bumi. Saat itu, dalam perjalanan Bulan mengelilingi Bumi, Bulan akan memasuki daerah bayang-bayang Bumi. Akibatnya, cahaya Matahari yang menuju Bulan akan terhalang oleh Bumi sehingga terjadi gerhana Bulan.
Ketika Bulan bergerak mulai memasuki daerah bayang-bayang Bumi bagian luar atau daerah penumbra, terjadi GBP (P1, lihat keterangan di tabel). Inilah fase paling awal dari terjadinya gerhana Bulan. Namun, karena penumbra adalah daerah luar bayang-bayang Bumi, cahaya Matahari yang terhalang Bumi tidak banyak sehingga perubahan warna GBP sulit diamati mata.
Bulan terus bergerak melintasi penumbra hingga akhirnya bersinggungan daerah bayang-bayang inti Bumi atau umbra dan dimulai fase GBS (U1). Pada tahap GBS ini, perubahan warna permukaan Bulan secara bertahap sudah bisa diamati dengan mata telanjang. Warna kuning cerah Bulan secara perlahan akan berubah menjadi merah oranye atau merah kecoklatan.
Akhirnya, seluruh permukaan Bulan akan berubah warnanya menjadi lebih gelap. Pada fase ini sudah terjadi GBT (U2). Pada fase ini, seluruh piringan Bulan akan berada di daerah umbra hingga cahaya Matahari yang menuju Bulan terhalang sepenuhnya oleh Bumi. Bila Bulan berada di tengah-tengah bidang umbra yang dilalui, saat itulah puncak GBT terjadi (Greatest).
Berikutnya, Bulan akan terus bergerak hingga piringan Bulan akan berada di pinggiran umbra Bumi yang menandakan fase akhir GBT (U3). Setelah ini, fase GBS kedua terjadi dan akan berakhir saat piringan Bulan menyentuh daerah umbra (U4) untuk terakhir kali. Seluruh tahapan GBT akan berakhir ketika Bulan bersinggungan dengan penumbra kembali (P4).
Pada GBT 8 November 2022 kali ini, seluruh tahapan gerhana akan berlangsung selama 5 jam 53 menit 51 detik. Namun, jika dihitung hanya mulai dari fase GBS sampai selesai GBS, karena perubahan cahaya saat GBP sulit diamati mata, lama gerhana menjadi 3 jam 39 menit 50 detik. Sementara fase GBT-nya saja hanya berlangsung 1 jam 24 menit 58 detik.
Baca juga : Gerhana Bulan Penumbra Awali Musim Gerhana 2020
Jika saat gerhana Bulan terjadi cahaya Matahari menuju Bulan terhalang Bumi, lantas mengapa saat GBT Bulan masih bercahaya meski lemah dan memerah?
Cahaya Bulan yang redup saat GBT itu sejatinya juga berasal dari Matahari. Bulan tidak memiliki sumber cahaya sendiri, tetapi hanya memantulkan cahaya Matahari. Namun, saat terjadi gerhana, seperti dikutip Kompas, 7 Oktober 2014, masih ada cahaya Matahari yang berhasil menembus astmosfer Bumi hingga cahaya tersebut sampai di permukaan Bulan dan dipantulkan ke Bumi.
Saat melewati atmosfer Bumi tersebut, atmosfer bertindak seperti prisma kaca yang memecah cahaya putih sinar Matahari menjadi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Selama pembiasan itu, cahaya ungu-biru akan disebarkan ke angkasa karena mengalami penyimpangan paling besar.
Sementara cahaya merah dengan penyimpangan pembiasannya terkecil akan dibelokkan ke bagian dalam sehingga jatuh di permukaan Bulan. Namun, apakah warna merah atau kuning yang jatuh di permukaan Bulan saat GBT itu akan ditentukan oleh jarak Bumi-Bulan pada saat itu. Jarak Bumi-Bulan bervariasi karena lintasan Buan mengelilingi Bumi berbentuk elips. Semakin dekat jarak Bumi-Bulan, kian merah warna Bulan saat GBT.
Simak juga : Nusantara Merayakan Gerhana Bulan Istimewa
Data Pusat Penerbangan Antariksa Goddard (GSFC) NASA menunjukkan jarak Bumi-Bulan pada 8 Novermber 2022 mencapai 390.653 kilometer (km). Dalam enam hari ke depan, atau 14 November 2022, Bulan-Bumi akan mencapai titik terjauhnya sebesar 404.921 km. Karena itu, warna Bulan dalam GBT kali ini diperkirakan tidak akan terlalu merah.
Akan tetapi, warna Bulan saat gerhana tidak hanya ditentukan oleh jarak Bumi-Bulan, warna merah Bulan saat gerhana Bulan juga ditentukan oleh kondisi atmosfer Bumi. Semakin kotor atmosfer akibat banyaknya debu atau polusi udara, semakin merah gelap warna Bulan yang terlihat. Karena itu, warna Bulan saat GBT bisa berbeda antarkota atau daerah, bergantung tingkat polusi di wilayah tersebut.
Warna merah pada GBT 8 November 2022 akan semakin merah karena posisi Bulan GBT di hampir seluruh wilayah Indonesia masih berada di sekitar ufuk atau horizon. Dalam kondisi tidak terjadi gerhana pun, warna Bulan di ufuk akan selalu lebih merah dan mampat dibanding saat Bulan di atas kepala.
Kondisi ini terjadi akibat refraksi atau pembiasan cahaya Bulan oleh atmsofer Bumi. Saat di horizon, cahaya Bulan yang disaksikan pengamat akan melewati atmosfer Bumi yang lebih tebal sehingga efek pembiasannya pun besar. Efek pembiasan ini akan semakin berkurang saat Bulan bergerak makin menjauh dari horizon.
Meski secara teori perubahan warna Bulan saat GBT bisa diprediksi, untuk memastikannya dibutuhkan pengamatan langsung. Karena itu, jika langit tidak mendung atau hujan, jangan lewatkan GBT pada Selasa petang hingga malam nanti.
Waspada pasang
Secara umum, GBT tidak memiliki efek berarti. Terlebih, saat ini Bulan mendekati titik terjauhnya dari Bumi. Namun, seperti dikutip Kompas, 25 Juli 2018, dampak yang paling sering dikhawatirkan adalah kenaikan muka air laut.
Naiknya muka air laut yang memicu pasang naik maksimum sebenarnya rutin terjadi tiap fase Bulan mati atau Bulan purnama. Pada kedua peristiwa itu, Matahari, Bumi, dan Bulan segaris sehingga menciptakan tarikan gravitasi antara Matahari dan Bulan yang kuat terhadap Bumi. Dibandingkan kenaikan muka air laut saat Bulan mati atau Bulan purnama, gerhana hanya menaikkan muka air laut 1 sentimeter (cm) sampai 2 cm. Jadi tidak perlu terlalu resah dengan dampak GBT terhadap muka air laut.
Namun, naiknya muka air laut itu akan menjadi bencana jika terjadi bersamaan dengan cuaca buruk, hujan besar di hulu dan hilir sungai. Apalagi, jika di laut juga sedang terjadi badai dan gelombang tinggi karena bisa memicu rob di daratan akibat air laut yang melimpas ke daratan dan air sungai yang tidak bisa mengalir ke laut karena muka air laut juga sedang naik.
Baca juga : Gerhana Bulan Total "Super Flower Blood Moon" Terjadi Rabu Petang
Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin, Senin (7/11/2022), mengatakan, berdasar risetnya, potensi banjir rob tidak secara langsung terkait dengan Bulan mati atau Bulan purnama. Pemicu rob utama adalah konfigurasi posisi Matahari, Bumi, dan Bulan serta berpadu dengan berbagai kondisi terkait posisi Bulan, seperti faktor Bulan purnama, deklinasi Bulan, jarak Bumi-Bulan, dan deklinasi Matahari.
Untuk GBT 8 November 2022, potensi banjir rob di pantai utara (pantura) Jawa akan terjadi bervariasi. Di pantura bagian timur, yaitu Jawa Timur, rob berpeluang terjadi pada Senin (7/11/2022). Namun, di pantura tengah dan barat, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, rob diperkirakan mencapai puncaknya pada Sabtu (12/11/2022).
Selain kenaikan muka air laut, kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan juga dicurigai meningkatkan aktivitas tektonik Bumi yang bisa memicu gempa dan aktifnya gunung api. Namun, ahli gempa dari Universitas Washington, Seattle, AS, John Vidale, seperti dikutip Kompas, 14 Maret 2011, mengatakan, kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan itu hanya meningkatkan aktivitas tektonik Bumi kurang dari 1 persen.
Berbagai studi juga menunjukkan peningkatan tarikan gravitasi Matahari dan Bulan saat Bulan purnama, Bulan mati, atau gerhana tidak mengganggu keseimbangan energi internal Bumi.
Karena itu, tak perlu khawatir berlebih dengan dampak GBT, meski kewaspadaan tetap perlu dilakukan terutama terkait kondisi cuaca. Terlebih saat ini sebagian wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan. Namun, semoga cuaca pada Selasa petang dan malam nanti cerah sehingga GBT bisa dinikmati keindahannya.
Selamat menyaksikan gerhana Bulan.