Transformasi digital penerbit buku berhadapan dengan masifnya pembajakan buku. Penjualan buku bajakan marak di lokapasar dengan harga jauh lebih murah dibandingkan buku orisinal.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung berbelanja sejumlah koleksi buku dalam pameran Indonesia International Book Fair 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, pertengahan September 2018.
JAKARTA, KOMPAS – Penjualan buku di Indonesia anjlok akibat terdampak pandemi Covid-19. Sejumlah penerbit bertransformasi memproduksi dan memasarkan buku secara digital. Namun, masifnya pembajakan buku membuat industri penerbit semakin terpuruk.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, 76 persen penerbit telah bertransformasi digital. Penerbit tidak hanya berjualan buku melalui situs web sendiri, tetapi juga lewat lokapasar atau marketplace.
Akan tetapi, langkah transformasi ini menghadapi tantangan dengan masifnya pembajakan buku, baik cetak maupun digital. ”Ketika penerbit sudah beralih ke digital, ternyata harus berhadapan dengan penjual buku bajakan yang boleh dibilang sangat besar,” ujarnya dalam konferensi pers Indonesia International Book Fair (IIBF) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jakarta, Senin (7/11/2022).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha menghadiri konferensi pers Indonesia International Book Fair (IIBF) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jakarta, Senin (7/11/2022).
Arys menuturkan, buku-buku bajakan itu banyak dijual di lokapasar. Ia menyebutkan, 60 persen penjualan salah satu buku best seller di platform itu merupakan produk bajakan.
Penjualan buku bajakan tidak hanya merugikan penerbit, tetapi juga penulis, editor, ilustrator, desainer, dan sejumlah pihak yang terlibat dalam produksi buku. Sebab, pihak-pihak tersebut tidak mendapatkan hak ekonomi dari setiap produk bajakan.
”Setiap hak cipta didampingi dengan hak ekonomi dari penciptanya. Karena hak ekonomi itu tidak diperoleh, hal ini berpotensi membuat mereka tidak mau berkarya lagi,” ucapnya.
Menurut Arys, pelaku pembajakan buku harus ditindak tegas karena sudah sangat meresahkan dan merugikan. Bahkan, pihaknya pernah menemukan penjual yang menyediakan satu judul buku dengan stok mencapai 1.000 eksemplar.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga mengunjungi stan dari sejumlah penerbit buku yang mengikuti pameran di Gedung Prof Sudhiarto, Pleburan, Kota Semarang, Jawa Tengah, awal November 2018.
Edukasi kepada masyarakat untuk tidak membeli buku bajakan juga perlu digencarkan. Buku bajakan bisa dijual hanya 20-25 persen dari harga buku orisinalnya. Sikap permisif ini harus diatasi agar penyebaran buku bajakan tidak semakin merajalela.
”Hal ini yang mesti sama-sama ditanggulangi. Kalau ingin buku-buku bermutu terus lahir (diproduksi), hargailah dengan membeli buku-buku orisinal,” ucapnya.
Arys menambahkan, peredaran buku bajakan seharusnya bisa dicegah lebih awal dengan menyeleksinya. Bukan sekadar menariknya atau melakukan takedown dari lokapasar ketika sudah diadukan.
Penjualan buku bajakan tidak hanya merugikan penerbit, tetapi juga penulis, editor, ilustrator, desainer, dan sejumlah pihak yang terlibat dalam produksi buku. Sebab, pihak-pihak tersebut tidak mendapatkan hak ekonomi dari setiap produk bajakan.
”Kita perlu bersikap keras kepada pembajaknya. Undang-Undang tentang Hak Cipta memang delik aduan. Namun, pembajakan buku sudah bergerak dalam skala besar,” ujarnya.
Dongkrak literasi
Pameran buku seperti IIBF menjadi salah satu kampanye gerakan membaca. Selain pameran, kegiatan secara hibrida ini juga akan menggelar promosi dan diskusi buku.
”Salah satu yang perlu dilakukan untuk mendongkrak indeks literasi adalah mendekatkan akses bacaan,” ujar Arys.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Tiga anak didampingi orangtuanya membaca buku di Taman Suropati, Menteng, DKI Jakarta, Minggu (17/7/2022). Buku itu diambil dari lemari buku Bookhive yang terletak di tengah taman tersebut.
Riset World’s Most Literate Nations Ranked pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura di peringkat ke-36 dan Malaysia peringkat ke-53.
IIBF 2022 berlangsung secara luring di Jakarta Convention Center pada 9-13 November. Pameran yang diikuti 134 peserta dari dalam dan luar negeri ini menargetkan 25.000 pengunjung. Sementara kegiatan secara daring dilakukan di lokapasar Shopee.
Ketua Panitia IIBF 2022 Wahyu Rinanto mengatakan, IIBF Ke-42 dilaksanakan bersamaan dengan International Publishers Congress Ke-33. Kegiatan ini merupakan agenda rutin International Publishers Association (IPA) setiap dua tahun yang dihadiri insan perbukuan di seluruh dunia.
Siswa membaca buku-buku yang tersedia di motor perpustakaan keliling di SDN 02 Malakasari, Jakarta Timur, awal Januari 2019. Layanan perpustakaan keliling ini menjadi sarana yang dinanti para siswa untuk membaca buku-buku baru dan menambah pengetahuan.
Ikapi telah menjadi anggota IPA sejak 1973. ”Akan ada beberapa agenda lainnya, salah satunya Ikapi Awards,” katanya.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga akan berpartisipasi dalam IIBF dengan memamerkan sejumlah buku. Buku-buku yang diproduksi kementerian ini telah dimasukkan Google Play Books agar lebih mudah diakses.
Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kemendes PDTT Ivanovich Agusta menyebutkan, sebanyak 31.000 desa di Tanah Air atau sekitar 42 persen telah mempunyai perpustakaan desa. Namun, yang saat ini aktif hanya di 28.000 desa. ”Ini masih terus ditingkatkan,” katanya.