Cegah Kerusakan, Ekosistem Mangrove Perlu Dilindungi dan Dikelola Khusus
Hutan mangrove terancam rusak akibat deforestasi, degradasi, reklamasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Karena itu, pemerintah merancang peraturan baru terkait dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai akhir 2030 nanti, diproyeksikan akan ada sekitar 209.000 hektar hutan mangrove yang rusak akibat deforestasi, degradasi, reklamasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Padahal, ekosistem mangrove merupakan ekosistem esensial yang menyangga kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kini, pemerintah sedang mengupayakan kebijakan baru untuk mendorong perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang merancang peraturan pemerintah (PP) terkait perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kebijakan ini telah masuk pada tahapan diskusi dan konsultasi publik untuk menampung semua aspirasi pihak yang berkepentingan serta mengupayakan pengaturan yang berkeadilan dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
”Pengelolaan mangrove yang berkeadilan dan berkelanjutan merupakan harapan kami dalam kebijakan ini. Untuk itu, masukan dan konsultasi yang didiskusikan akan menjadi acuan dalam perbaikan kebijakan ini,” ujarnya dalam acara konsultasi publik Rancangan PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang diadakan KLHK di Bali, Kamis (3/11/2022).
Menurut Hartono, terdapat beberapa ruang lingkup dalam rancangan PP pengelolaan dan perlindungan mangrove ini, yakni perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, sanksi administrasi, dan peran masyarakat. Dalam perencanaan, akan diatur tentang inventarisasi dan rencana pemanfaatan fungsi mangrove.
Selanjutnya, dalam pemanfaatan akan diatur mengenai fungsi lindung dan fungsi budidaya mangrove. Lalu, dalam pengendalian akan diatur tentang pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan mangrove. Adapun pada pengawasan akan diatur kelembagaan yang berwenang mengawasi pengelolaan mangrove.
Jika ada pihak yang mengancam kelangsungan ekosistem mangrove, akan ada sanksi administrasi melalui regulasi pemerintah yang ditentukan oleh otonomi pemerintah masing-masing daerah. Hartono mengatakan, pengaturan oleh masing-masing pemerintah daerah penting untuk memastikan hal tersebut.
Tidak hanya itu, masyarakat juga menjadi pihak yang memiliki andil penting di sini. Maka dari itu, masyarakat akan dilibatkan dalam proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi peraturan ini.
Pengaturan ekosistem mangrove melalui kebijakan yang tepat diperlukan untuk menjaga keseimbangan, stabilitas, produktivitas, serta lingkungam hidup. Semua orang, terutama instrumen pemerintah, harus memiliki andil dan bersinergi untuk mencapai itu.
Pada kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Menteri LHK Arief Yuwono mengatakan, terdapat beberapa urgensi yang mendorong pemerintah untuk mengupayakan rancangan PP ini. Salah satu di antaranya adalah tingginya kerusakan ekosistem mangrove akibat ancaman-ancaman kerusakan alam, seperti deforestasi, degradasi, reklamasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Hal ini dibuktikan dari data yang menunjukkan rusaknya 756.183 hektar mangrove dari 3.364.080 hektar mangrove di Indonesia.
Arief menjelaskan, jika tidak diatur dengan kebijakan yang tepat, akan ada kerusakan hutan mangrove hingga 209 hektar pada 2030 nanti. Ini akan berdampak langsung terhadap rusaknya ekosistem di sekitar mangrove yang hilang.
Padahal, hutan mangrove merupakan ekosistem esensial penyangga kehidupan semua makhluk hidup yang tinggal di sekitarnya. ”Pengaturan ekosistem mangrove melalui kebijakan yang tepat diperlukan untuk menjaga keseimbangan, stabilitas, produktivitas, serta lingkungan hidup. Semua orang, terutama instrumen pemerintah, harus memiliki andil dan bersinergi untuk mencapai itu,” ujarnya.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko mengatakan, ekosistem mangrove bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lain. Ia menjelaskan, 2 sampai 5 hektar mangrove dapat mengolah limbah tambak seluas 1 hektar sehingga dapat menyaringnya dari air.
Ekosistem mangrove juga berkontribusi dalam pengatur iklim, dengan hutan mangrove berpotensi menyimpan karbon tiga sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan hutan tropis daratan. Selain itu, terdapat lebih dari 3.000 spesies ikan yang dapat hidup di ekosistem mangrove sehingga bisa dijadikan sumber mata pencarian bagi nelayan yang hidup dekat dengan hutan mangrove. Kayu mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar bagi masyarakat sekitar.
Satyawan mengatakan, jasa ekosistem bagi perekonomian hutan mangrove di Indonesia diperkirakan Bank Dunia dapat mencapai 1.5 miliar dollar AS. Ditambah lagi, mangrove berpotensi menjadi kawasan ekoturisme yang juga menambah nilai ekonomi.
Salah satu fungsi utama dari mangrove yang perlu dipahami semua orang adalah fungsi perlindungan dari kenaikan air laut. Menurut Satyawan, wilayah pesisir yang memiliki daratan rendah serta pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap kenaikan air laut. Untuk itu, wilayah-wilayah tersebut perlu mengandalkan ekosistem hutan mangrove guna mengatasi abrasi serta kenaikan air laut.
Sebagai contoh, mangrove di Sumatera Utara diandalkan untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut global sebesar 2,6 sampai 3,2 milimeter per tahun. Dalam hal ini, mangrove juga menghemat biaya perlindungan pantai dari abrasi lima kali lebih murah dari infrastruktur beton. Satyawan mengingatkan, kenaikan air laut bertambah setiap tahunnya sehingga intensitas hutan mangrove harus ditambah.