Penularan penyakit leptospirosis cenderung meningkat di wilayah yang dilanda banjir. Untuk itu, masyarakat perlu waspada serta segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejalanya.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan leptospirosis sering kali susah dilakukan karena deteksi dan diagnosis yang sulit. Padahal, di wilayah yang dilanda banjir, kasus penyakit ini cenderung meningkat akibat penularan dari hewan vektor atau hewan penular yang terbawa genangan banjir. Maka dari itu, masyarakat perlu waspada dan segera memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan ketika mengalami gejala leptospirosis.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan Dian Ekowati mengatakan, penanganan orang yang mengidap penyakit leptospirosis memerlukan pemeriksaan dan perawatan yang intensif. Karena itu, orang yang mengalami gejala leptospirosis dianjurkan segera memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) ataupun ke rumah sakit terdekat yang memiliki ruang perawatan intensif dan fasilitas dialisis atau pencucian darah.
”Orang yang mengalami gejala leptospirosis harus segera memeriksakan dirinya ke puskemas atau kalau perlu segera langsung ke rumah sakit umum daerah yang memiliki fasilitas yang memadai. Sebab, jika sudah mengalami gejala berat perlu perawatan yang intensif,” ujarnya ketika dihubungi Kompas, di Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Menurut Dian, masalah utama dari pendeteksian penyakit leptospirosis adalah sulitnya melihat gejala dini yang dialami pasien. Hal ini karena orang yang mengidap leptospirosis pada awalnya tidak menunjukan gejala-gejala khas sehingga memerlukan pemeriksaan komprehensif melalui uji laboratorium.
Orang yang mengalami gejala leptospirosis harus segera memeriksakan dirinya ke puskemas atau kalau perlu segera langsung ke rumah sakit umum daerah yang memiliki fasilitas yang memadai. Karena jika sudah mengalami gejala berat perlu perawatan yang intensif.
Meski begitu, masyarakat perlu memerhatikan beberapa gejala awal leptospirosis yang dapat dilihat dari bentuknya, yakni gejala dalam bentuk berat atau iterik dan gejala dalam bentuk ringan atau uniterik. Gejala uniterik ditandai dengan demam serta sakit kepala dan nyeri otot (mialgia), sedangkan gejala iterik ditandai dengan kegagalan ginjal, sakit kuning, dan pendarahan.
Dian menambahkan, pemeriksaan pasien harus dilakukan di puskesmas atau rumah sakit yang memiliki instalasi gawat darurat (IGD). Kemudian, pasien akan diperiksa secara fisik dan dokter akan melakukan anamnesis atau pemeriksaan riwayat kesehatan. Umumnya, pemeriksaan akan dilakukan melalui tiga tahapan, yakni suspek, probable, dan konfirmasi.
Dalam tahapan suspek, dokter akan memperhatikan bentuk gejala yang dialami pasien serta riwayat kesehatan, terutama jika pasien merupakan korban banjir atau pernah kontak dengan binatang yang mungkin terinfeksi Leptospira (penyebab leptospirosis), seperti tikus, sapi, kambing, dan anjing. Selanjutnya, dalam tahap probable, uji laboratorium dilakukan untuk memeriksa trombositopenia atau jumlah keping darah, kenaikan zat bilirubin, dan pemeriksaan urine proteinuria (kelebihan protein dalam urine) dan hematuria (urine disertai darah).
Apabila pasien menunjukan lebih dari satu indikasi tahapan probable akan dilakukan pemeriksaan reaksi rantai (polimerase polymerase chain reaction/RT PCR) atau dengan pemeriksaan microscopic agglutination test (MAT). Dalam tahapan ini, apabila bakteri Leptospira ditemukan disertai indikasi dari pemeriksaan laboratorium lainnya, pasien akan dikonfirmasi terdiagnosis leptospirosis.
Dian menjelaskan, pasien yang telah terdiagnosis tersebut akan dirawat dengan diberikan terapi Benzylpenicillin atau Penicilin G dengan memberikan obat antibiotik untuk menangani infeksi dari bakteri Leptospira. Dalam beberapa kasus leptospirosis berat yang disertai komplikasi gagal ginjal, akan dilakukan hemodialisis atau terapi pencucian darah.
Sebelumnya, pada Selasa (1/11/2022), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menuturkan, kewaspadaan kasus penyakit leptospirosis perlu ditingkatkan di tiap daerah, terutama di daerah endemik atau daerah yang secara konsisten memiliki penyakit leptospirosis yang tinggi. Salah satunya adalah daerah-daerah yang sering mengalami bencana banjir.
”Secara umum, strategi yang perlu dilakukan dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, pemberantasan tikus yang menjadi vektor tular, dan selalu mengedukasi masyarakat untuk segera ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala,” ucapnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 31 Oktober 2022, terjadi peningkatan jumlah kasus leptospirosis. Tercatat pada 2022 jumlah kasus leptospirosis mencapai 1.010 kasus dengan 95 kematian. Sementara dari laporan tahun 2021, jumlah kasus sebanyak 736 dengan 84 kematian (Kompas.id, Selasa, 1 Oktober 2022).