Tersenyum diasosiasikan dengan perasaan positif, seperti bahagia. Kendati gagasan ini masih jadi perdebatan di kalangan peneliti, sejumlah penelitian mendapati bahwa tersenyum dapat membuat hati lebih bahagia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspresi wajah ternyata terbukti dapat memengaruhi emosi seseorang. Dengan menggerakkan otot wajah menjadi senyuman, misalnya, hal itu dapat memicu perasaan bahagia. Hal itu dinilai bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental.
Demikian hasil studi yang dilakukan Stanford University, Florida State University, dan University of South Australia. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal Nature Human Behavior pada 20 Oktober 2022. Studi ini melibatkan 3.878 peserta dari 19 negara.
Periset dari University of South Australia Fernando Marmolejo-Ramos menuturkan, hubungan antara senyuman dan kebahagiaan telah menjadi perdebatan lama di kalangan peneliti. Hingga kini belum ada tes atau teori yang disetujui secara global tentang hubungan antara kebahagiaan dan senyuman.
”Pada riset ini, kami mengumpulkan tim orang-orang skeptis dan tim orang-orang percaya (disebut juga Many Smiles Collaboration) untuk menguji metodologi yang sudah disetujui bersama. Apa yang kami temukan adalah bukti yang andal bahwa senyuman dapat memproduksi perasaan bahagia,” katanya seperti dikutip dari laman University of South Australia, Rabu (2/11/2022).
Penelitian ini menggunakan tiga teknik. Pertama, meniru ekspresi wajah aktor pada foto. Kedua, menggerakkan ujung mulut ke arah telinga hanya dengan otot-otot wajah. Terakhir, menggerakkan otot-otot wajah untuk tersenyum dengan menggigit pena atau teknik pen-in-mouth.
Ketika otot Anda berkata bahwa Anda bahagia, Anda cenderung melihat dunia dengan cara positif. Riset kami menemukan bahwa memaksa berlatih tersenyum merangsang amigdala, yaitu pusat emosi pada otak, untuk mendorong emosi positif.
Marmolejo-Ramos mengatakan, teknik pertama dan kedua menunjukkan peningkatan kebahagiaan pada para peserta. Hal tersebut menguatkan argumen bahwa emosi manusia berhubungan dengan gerakan otot. Adapun penerapan teknik pen-in-mouth tidak menunjukkan perubahan emosi pada peserta penelitian.
Penelitian serupa pernah pula dilakukan University of South Australia pada 2020 dan dipublikasikan di Experimental Psychology. Riset yang juga dipimpin oleh Marmolejo-Ramos menunjukkan bahwa gerakan otot wajah tidak hanya mengubah ekspresi wajah, tetapi juga ekspresi tubuh. Keduanya dapat menghasilkan emosi positif.
”Ketika otot Anda berkata bahwa Anda bahagia, Anda cenderung melihat dunia dengan cara positif. Penelitian kami menemukan bahwa memaksa berlatih tersenyum merangsang amigdala, yaitu pusat emosi pada otak, yang melepaskan neurotransmiter untuk mendorong emosi positif,” tambah Marmolejo-Ramos.
Berdampak kecil
Pada tahun 2019, University of Tennessee di Amerika Serikat juga pernah menguji hubungan antara senyuman dan perasaan bahagia. Hal ini dilakukan dengan memadukan data dari 138 penelitian terhadap lebih dari 11.000 peserta. Studi ini dipublikasikan di Psychological Bulletin.
Hasilnya, ekspresi wajah berdampak kecil terhadap perasaan seseorang. Misalnya, tersenyum membuat seseorang merasa lebih senang, cemberut membuat seseorang lebih marah, dan mengerutkan kening membuat seseorang lebih sedih.
”Namun, temuan ini menarik karena memberi petunjuk tentang bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi untuk membentuk pengalaman emosi sadar kita. Masih ada banyak yang mesti kami pelajari tentang ini, tapi meta-analisis ini mendekatkan kami pada pemahaman soal cara kerja emosi,” ujar Nicholas Coles, penulis utama penelitian ini, seperti dikutip dari WebMD.
Temuan ini juga menarik untuk membuktikan perdebatan para akademisi tentang hubungan senyum dan kebahagiaan secara ilmiah. Coles mengatakan, para psikolog tidak setuju dengan teori ini selama lebih dari 100 tahun. Pertentangan ini semakin kentara setelah 17 tim peneliti gagal melakukan eksperimen untuk menunjukkan hubungan senyum dan kebahagiaan pada 2016.
”Beberapa penelitian belum menemukan bukti bahwa ekspresi wajah dapat memengaruhi emosi,” ucap Coles. ”Kita tidak bisa fokus ke satu penelitian saja. Para psikolog telah menguji gagasan ini sejak awal 1970-an. Jadi, kami ingin melihat semua bukti yang ada,” tuturnya.