Stigma Negatif Masih Hantui Pencegahan Kanker Serviks
Masih banyak stigma negatif dalam pencegahan kanker serviks. Padahal, pemeriksaan dini dan vaksinasi HPV merupakan langkah krusial mengingat gejala awal kanker serviks sering kali tidak disadari.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma negatif masih menjadi penghambat vaksinasi human papillomavirus atau HPV dan pemeriksaan diri dalam pencegahan kanker serviks. Padahal, dua hal ini krusial mengingat gejala awal kanker serviks tidak kasatmata dan umumnya baru ditangani ketika sudah telanjur parah.
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Prima Yosephine menyebutkan, masih ada kendala terkait pelaksanaan vaksinasi HPV untuk mencegah kanker serviks. Ia mencontohkan, program vaksinasi HPV yang dilaksanakan pemerintah dengan menyasar siswi kelas 5-6 sekolah dasar sering kali mendapatkan penolakan dari sekolah dan orangtua.
Beberapa hal yang mendorong penolakan ini seperti kampanye dengan dalih agama, seperti dianggap melegalkan seks bebas. Selain itu, juga ada rumor bahwa vaksin HPV menyebabkan anak mandul. Di sisi lain terdapat mispersepsi tentang kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).
”KIPI biasanya terjadi ketika anak takut divaksin. Mereka malu kalau menangis karena takut. Perasaan itu ditahan-tahan sehingga ketika disuntik justru pingsan. Pingsan ini yang menyebabkan kehebohan sehingga teman-temannya menjadi ikut takut,” tutur Prima dalam Kelas Jurnalis Terkait Kanker Serviks dan Vaksin HPV yang diselenggarakan Kemenkes dan PT Merck Sharp & Dohme, di Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Prima menekankan perlu edukasi untuk anak sebelum mendapatkan imunisasi sehingga mereka siap ketika akan disuntik. Rumor negatif ini juga perlu diklarifikasi agar tidak mengganggu jalannya pelaksanaan vaksinasi HPV sehingga cakupan dapat optimal.
Kemenkes juga mengedukasi tenaga kesehatan di daerah mengenai implementasi vaksinasi HPV. Edukasi yang diberikan meliputi pelatihan tenaga kesehatan, penggunaan materi edukasi, penyusunan detail rencana aktivitas, hingga monitoring dan evaluasi.
Pada 2022, vaksinasi HPV yang dilakukan Kemenkes meluas di 112 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Total sasaran vaksinasi ini sebanyak 889.813 siswi kelas 5-6 SD dan diselenggarakan sepanjang Agustus-November 2022.
Vaksinolog Dirga Sakti Rambe juga memaparkan masih adanya stigma negatif terhadap pelaksanaan vaksinasi HPV. Padahal, tanggapan tubuh juga tidak jauh berbeda dengan vaksinasi lain, misalnya bengkak sementara di area sekitar suntikan atau demam. Ketika divaksin HPV, tubuh juga melakukan mekanisme, seperti mengenali, membentuk kekebalan, dan mengingat antibodi dari vaksin yang disuntikkan.
Dirga mengemukakan terdapat tiga kemungkinan kondisi tubuh dalam menanggapi virus HPV ketika telah divaksinasi. Pertama, virus tidak masuk ke dalam tubuh walaupun terpapar. Kedua, virus masuk ke dalam tubuh, tetapi infeksinya tidak menyebar. Ketiga, virus bisa masuk ke tubuh walaupun virusnya tidak berkembang. Semua ini terjadi karena tubuh telah membentuk antibodi terhadap virus HPV
”Efektivitas vaksinasi HPV mencapai 90-100 persen dan efektivitasnya semakin tinggi jika disuntikkan sedini mungkin, yaitu usia 11-12 tahun. HPV paling baik diberikan sebelum seseorang aktif secara seksual atau sebelum terpapar virus HPV meskipun begitu orang yang telah terpapar virus HPV juga perlu melakukan vaksinasi,” kata Dirga.
Stigma pemeriksaan dini
Selain melakukan vaksinasi, kanker serviks juga perlu dicegah dengan pemeriksaan dini melalui pap smear atau pap test dan tes inspeksi visual asetat (IVA). Pap smear digunakan untuk mendeteksi virus HPV dengan mengambil sampel sel di serviks, sedangkan diagnosis tes IVA menggunakan asam asetat.
Penyintas kanker serviks, Melanie Subono, menceritakan, dirinya masih mengalami stigma negatif ketika memeriksakan diri ke dokter. Lima tahun lalu ketika ia memeriksakan penyakitnya ini di sebuah rumah sakit terkemuka, ia masih ditanya oleh petugas apakah ia nona (belum menikah dalam artian perawan) atau nyonya (sudah menikah dan tidak perawan).
Penanganan kanker serviks biasanya terjadi ketika sudah mencapai stadium 3B karena ketika stadium 1 sering kali penderita tidak merasakan gejala awal.
Dalam hal ini seolah pemeriksaan serviks dianggap tabu apabila seseorang belum menikah dan ia aktif secara seksual. Hal ini mengingat penyebab paling besar kanker serviks adalah hubungan seksual. Namun, juga terdapat penyebab kanker serviks selain hubungan seksual, misalnya tertular dari pemakaian instrumen kesehatan yang kurang steril, pemakaian toilet umum yang tidak bersih, dan merokok.
“Ketika saya jawab nona, saya ditanya ‘memang pemeriksaannya apa?’. Ketika saya menjawab nyonya, mereka bertanya ‘di mana suaminya kok sendiri?’,” kata Melanie.
Hal ini membuatnya tidak nyaman. Padahal, menurutnya, pemeriksaan serviks sedini mungkin adalah hal yang penting, apalagi ketika seseorang sudah aktif secara seksual.
”Ini yang membuat saya enggan vaksin walaupun saat ini saya sudah vaksin. Saya sangat mendukung vaksin HPV. Masyarakat juga perlu mendukungnya dengan melawan stigma negatif serta menyebarkan informasi bahwa vaksinasi dan pemeriksaan dini bukan sesuatu yang mengerikan,” ucap Melanie.
Gejala awal
Dokter spesialis fertilitas endokrinologi reproduksi, Cindy Rani Wirasti, menjelaskan, HPV merupakan virus umum yang masuk dan mengendap dalam waktu lama di dalam tubuh. Ketika HPV masuk, dia akan mengubah jaringan epitel serviks sehingga terjadi kerusakan. Kerusakan ini akan menjalar ke organ lain di dalam tubuh.
”Semenjak terinfeksi, penderita tidak serta-merta akan terkena kanker serviks. Bisa jadi terinfeksi saat remaja dan baru terlihat gejala dan tertangani pada usia 40-60 tahun. Penanganan kanker serviks biasanya terjadi ketika sudah mencapai stadium 3B karena ketika stadium 1 sering kali penderita tidak merasakan gejala awal,” sebut Cindy.
Cindy menyebutkan, HPV merupakan jenis virus umum yang bisa ditemukan dari mana saja. Gejala awalnya tidak dikenali karena tidak ada kondisi khusus, seperti demam. Selain itu, tidak ada saraf di serviks sehingga tidak terasa sakit apabila terinfeksi HPV.
HPV memiliki ratusan tipe dengan risiko rendah dan tinggi. Tipe 16 dan 18 adalah tipe yang paling ganas dan menyebabkan 75 persen kanker serviks di dunia. Gejala tipe risiko rendah adalah adanya penyakit kutil yang ditemukan di kelamin, seperti vagina dan penis, anus, serta faring atau tenggorokan. Gejala tipe risiko tinggi terdapat benjolan di bagian kelamin, keputihan dengan darah, frekuensi buang air kecil meningkat, nyeri saat berhubungan intim, hingga bercak darah di urine.