Henti jantung bisa terjadi pada siapa saja dan dalam situasi apa pun. Kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama dengan kompresi jantung pun amat penting.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Henti jantung bisa terjadi pada siapa saja dan dalam situasi apa pun. Namun, pada kondisi kerumunan dan berdesak-desakan, risiko henti jantung secara mendadak semakin besar. Kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama pun amat penting.
Risiko henti jantung tersebut setidaknya tergambarkan dalam tragedi malam pesta Halloween di Itaewon, Korea Selatan, Sabtu (29/10/2022). Sedikitnya ada 156 orang yang meninggal. Ratusan orang masih dalam kondisi terluka dan 29 orang dikabarkan kritis (Kompas, 2/11/2022). Korban yang meninggal dan terluka disebabkan karena terimpit dan tertindih akibat kerumunan yang terlalu padat.
Situasi serupa juga terjadi pada tragedi Kanjuruhan di Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022). Penyelidikan terkait tragedi ini masih dilakukan. Meski begitu, situasi terimpit dan berdesak-desakan setelah adanya penembakan gas air mata di dalam stadion bisa turut menyebabkan kematian pada korban.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Jantung Indonesia (Perki) Radityo Prakoso di Jakarta, Rabu (2/11/2022) mengatakan, pada kondisi kerumunan terlalu padat, seseorang akan kesulitan dalam bernapas. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipoksia atau penurunan kadar oksigen dalam tubuh yang kemudian dapat berujung pada kondisi henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest).
Ketika fungsi jantung berhenti secara mendadak, organ tubuh lain akan berdampak. Jantung merupakan organ vital yang berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Karena itu, jika henti jantung tidak segera diatasi, kerusakan permanen pada fungsi organ akan terjadi hingga berisiko pada kematian.
Saat terjadi henti jantung, resusitasi jantung paru (RJP) atau CPR merupakan pertolongan pertama yang harus dilakukan. Hal ini dilakukan sembari menunggu datangnya ambulans atau tim medis. Dengan RJP diharapkan fungsi pompa jantung bisa kembali sehingga kemungkinan bertahan hidup pasien bisa meningkat.
”Seharusnya, setiap masyarakat sudah terlatih melakukan bantuan hidup dasar berupa RJP. Risiko henti jantung bisa terjadi kapan pun, di mana pun, dan pada siapa pun. Pada tragedi di Itaewon kita sendiri bisa melihat banyak yang melakukan resusitasi pada korban,” tutur Radityo.
Sayangnya, ia mengatakan, kecakapan dalam melakukan bantuan dasar hidup berupa RJP tersebut tidak dimiliki oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Banyak masyarakat yang masih gagap untuk melakukan RJP.
Pada kondisi kerumunan yang terlalu padat, seseorang akan kesulitan dalam bernapas. Ini mengakibatkan terjadinya hipoksia atau penurunan kadar oksigen dalam tubuh yang kemudian dapat berujung pada kondisi henti jantung mendadak.
Oleh sebab itu, Radityo terus mendorong pelatihan RJP bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Pelatihan ini perlu dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, bahkan hingga usia dewasa.
Dikutip dari laman National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), henti jantung telah menyebabkan 300.000-450.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahun. Henti jantung ini menyebabkan kematian yang terkait dengan serangan jantung dan stroke.
Henti jantung ini bisa ditandai dengan pingsan mendadak dan kehilangan kesadaran. Tanda lainnya seperti tidak ada napas, pernapasan yang terengah-engah, dan tidak ada denyut nadi.
Henti jantung juga bisa disebabkan oleh gangguan lain, seperti adanya penyakit arteri koroner, serangan jantung, dan penyakit jantung iskemik. Henti jantung juga bisa berisiko terjadi pada seseorang yang melakukan olahraga dengan intensitas tinggi seperti yang terjadi pada pemain sepak bola Christian Eriksen dalam pertandingan Piala Eropa 2020.
Dalam American Heart Association Guideline 2010, panduan telah disusun untuk memberikan pertolongan awal pada pasien yang dicurigai mengalami henti jantung. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengenali dengan cepat terjadinya henti jantung. Setelah itu, segera hubungi ambulans. Di Indonesia, panggilan cepat untuk ambulans bisa melalui 118 atau nomor tanggap gawat darurat di 119.
Kemudian segera lakukan tindakan RJP dengan mengutamakan kompresi dada yang efektif. Sebelum melakukan resusitasi jantung paru, pastikan pasien berada di tempat yang aman. Posisikan pasien dalam kondisi terlentang.
Resusitasi dilakukan dengan kompresi dada menggunakan kedua telapak tangan. Kompresi merupakan tindakan untuk menekan jantung secara tidak langsung. Posisikan tubuh berlutut di sebelah pasien.
Letakkan telapak tangan pada titik tengah tulang dada di antara dua puting dada korban. Kemudian berikan tekanan dengan kuat dan cepat dengan kedalaman 5-6 sentimeter dan frekuensi kurang lebih 100-120 kali per menit.
Periksa jalan napas orang tersebut dan berikan napas bantuan setiap 30 kompresi. Untuk mencegah penularan Covid-19, pemberian napas buatan bisa diabaikan. Jika perlu, lakukan kompresi bergantian dengan orang lain apabila mulai lelah sampai tim medis datang.
Pertolongan dengan resusitasi jantung paru ini sangat berharga bagi pasien henti jantung. Tanpa ada pertolongan, harapan hidup pasien bisa berkurang 10 persen setiap menit. ”Setiap orang bisa menyelamatkan hidup orang lain melalui RJP. Ini adalah bantuan hidup dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang,” kata Radityo.
Terlepas dari itu, berbagai risiko yang bisa berakibat fatal dari adanya kerumuman patut menjadi catatan bagi pihak yang terkait. Selain mencegah terjadinya kerumuman yang tidak terkendali, upaya mitigasi dengan menyiapkan tim medis pada setiap kegiatan kerumunan juga penting.