Jangkauan Pelayanan Kanker Diperluas
Beban penyakit kanker di Indonesia semakin meningkat. Percepatan peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kanker di Indonesia perlu dilakukan secara merata di Indonesia.

Desy Pujiarsi menyelesaikan pembuatan payudara prostetik berbahan silikon di laboratorium klinik Ilyarsi kawasan Jombang, Tangerang Selatan, Banten, awal November 2019. Payudara prostetik ini untuk pasien penyakit kanker payudara.
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan sumber daya, pengetahuan, dan keterlambatan diagnosis membuat beban penyakit kanker di Indonesia semakin meningkat. Percepatan upaya perluasan jangkauan dan peningkatan kualitas pelayanan kanker di Indonesia perlu dilakukan secara merata.
Berdasarkan data Global Cancer Statistics (Globcan) 2020, di Indonesia terdapat 396.914 kasus baru kanker dengan 234.511 kematian. Jumlah kasus baru kanker diperkirakan akan mencapai 489.800 pada 2030.
Jika dilihat dari sisi pembiayaan, kanker menjadi penyakit ke-2 terbesar yang harus ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada 2018, BPJS Kesehatan menanggung lebih dari 1,9 juta kasus kanker dengan pengeluaran sebanyak Rp 2,97 triliun. Pada 2020 jumlah ini meningkat menjadi 2,5 juta kasus kanker dengan biaya Rp 3,5 triliun. Sekitar 70 persen pasien di Indonesia meninggal atau bangkrut hanya satu tahun setelah terdiagnosis.
Konsepnya adalah memindahkan ilmu pengetahuan bukan pasien. (Soeko Werdi Nindito)
Dalam percepatan upaya peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kanker di Indonesia, Pusat Kanker Nasional Rumah Sakit (RS) Kanker Dharmais bekerja sama dengan Roche Indonesia berkolaborasi untuk meningkatkan hasil penanganan kanker di Indonesia di antaranya melalui program Extension for Community Healthcare Outcomes (ECHO).
Direktur Utama Pusat Kanker Nasional RS Kanker Dharmais Soeko Werdi Nindito dalam peluncuran Kemitraan Strategis untuk Hasil Penanganan Kanker yang Lebih Baik di Jakarta, Rabu (2/11/2022), mengungkapkan, program ECHO untuk meningkatkan akses dan kualitas tata laksana kanker di Indonesia. Selain itu, ECHO juga untuk mendukung akselerasi pengembangan jejaring kanker nasional.

Direktur Utama Kanker Nasional Rumah Sakit Kanker Dharmais Soeko Werdi Nindito.
Ia mengatakan, ECHO merupakan mentoring secara virtual untuk mengedukasi tenaga kesehatan di daerah. Melalui program ini tenaga kesehatan di daerah diharapkan mampu menata laksana penyakit sesuai standar medis. Hal ini menjadikan pasien menerima layanan lebih cepat dengan hasil lebih baik tanpa harus selalu di rujuk.
Program ECHO, kata Soeko, dapat menjangkau tenaga kesehatan yang berada jauh dari Pulau Jawa. Diharapkan kesulitan jarak tidak lagi menjadi penghambat untuk belajar, berdiskusi, dan meningkatkan kualitas pelayanan pasien. ”Konsepnya adalah memindahkan ilmu pengetahuan bukan pasien,” ujarnya.
Soeko mengatakan, program ECHO telah berlangsung sejak 2021 dengan menargetkan 10 rumah sakit pusat rujukan (hub/rujukan) dengan layanan kanker yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat hingga timur dengan partisipasi lebih dari 100 rumah sakit (spokes) pada 2024.
Baca juga: Meningkatkan Keberhasilan Pengobatan Kanker
Health System Partner Roche Indonesia Nani Widjaja mengatakan, program ECHO merupakan model pembelajaran melalui konferensi video (Zoom) yang dilakukan secara terjadwal. Dalam setiap sesinya terdapat sesi didaktik atau berbagi pengalaman dari para ahli di RS pendidikan atau rujukan dengan pembahasan kasus dari RS yang ada di daerah sehingga terjadi transfer ilmu pengetahuan.
”Jika dilakukan secara persisten, maka kapasitas dan kapabilitas tenaga medis yang ada di daerah mampu untuk menata laksana penyakit sesuai standar,” ucapnya.

Tidak hanya konferensi video, kata Nani, sistem digital ECHO telah dipersiapkan bernama i-ECHO yang memudahkan penyelenggara hub untuk mengorganisasikan program dengan sistematis. Para pengajar atau dokter yang ada di daerah akan mudah bergabung dalam satu platform. Program tersebut juga dapat memantau (monitoring) dan mengevaluasi sehingga proses perbaikan akan terjadi secara berkelanjutan. Dalam program ECHO, diagnosis fokus pada kanker payudara
Baca juga: Dampak Fatal Menunda Pengobatan Kanker Payudara
Ia mengungkapkan, RS Kanker Dharmais menjadi hub pertama di Indonesia yang menaungi berbagai rumah sakit di daerah. Hingga tahun 2022, program telementoring ECHO telah diterapkan dalam 3 fokus area yakni kanker anak, kanker payudara, serta deteksi dini kanker payudara. RSUP dr Sardjito Yogyakarta akan mengikuti Langkah RS Dharmais untuk menjadi hub kedua bagi rumah sakit daerah di area Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. RSUP dr Sardjito akan memulai program ECHO pada 4 November 2022 dengan fokus pada kanker payudara.
Direktur Fasilitas Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aswan Usman mengatakan, transformasi layanan rujukan yang berkolaborasi dengan mitra bisa mendukung upaya transformasi yang Kemenkes lakukan. Kini Kemenkes fokus pada penyakit katastropik yang menyumbang pembiayaan tertinggi salah satunya kanker.

Direktur Fasilitas Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Aswan Usman
Selain itu, program ECHO diharapkan dapat menjadi media pembelajaran multi direksi untuk membagikan praktik dasar melalui kombinasi pembelajaran berbasis kasus dan didaktif. ”Ke depannya semoga ada hub baru selain RS Kanker Dharmais dan RSUP Dr Sardjito terutama di RS vertikal Kemenkes, khususnya tengah dan timur. Hal ini dapat mempercepat transfer ilmu pengetahuan dari para ahli ke tenaga kesehatan di seluruh Indonesia,” katanya.
Minimnya tenaga medis
Di sisi lain, ketimpangan jumlah dan penyebaran fasilitas pelayanan kanker dan terbatasnya jumlah tenaga medis ahli khusus kanker masih menjadi tantangan dalam penanganan kanker di Indonesia. Peran perawat sangat penting dalam tata laksana kanker. Sayangnya, saat ini jumlah perawat onkologi terlatih sangat minim sehingga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan untuk pasien kanker.
Dengan demikian, selain program ECHO, kemitraan lainnya adalah pengembangan kapasitas perawat onkologi dan implementasi peran Navigator Pasien Kanker (NAPAK). Nina menjelaskan, perawat onkologi di Indonesia masih mengandalkan on-the-job training (pelatihan sambil bekerja) dan sering dirotasi sehingga membatasi pengalaman perawat dalam onkologi dan hampir tidak ada perawat spesialis onkologi di Indonesia saat ini. Kondisi ini berkontribusi pada rendahnya kualitas perawatan pasien, kelelahan perawat, dan hasil perawatan kanker yang tidak optimal.
”Menjawab kebutuhan tersebut, Roche Indonesia bersama RS Kanker Dharmais, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), serta HIMPONI membangun kapasitas perawat onkologi melalui program beasiswa perawat spesialis onkologi di FIK-UI, Program Pelatihan Keperawatan Onkologi Dasar dan pengembangan pusat pelatihannya,” katanya.
Dekan FIK UI Agus Setiawan menjelaskan, program studi perawat spesialis onkologi di FIK-UI merupakan yang pertama dan masih menjadi satu-satunya di Indonesia. Ini adalah strategi jangka panjang untuk membangun kapasitas perawat onkologi. Untuk program beasiswa spesialis onkologi di UI, para penerima beasiswa akan mengikuti program magister dan spesialis selama tiga tahun.

Peluncuran program kemitraan strategis untuk hasil penanganan kanker yang lebih baik di Jakarta, Selasa (2/11/2022)
”Diharapkan pascalulus, para perawat tersebut mampu menjadi mitra ahli onkologi di rumah sakitnya masing-masing. Target kami adalah menggandeng universitas lain untuk membuka program studi serupa agar setidaknya ada satu perawat spesialis onkologi di tiap provinsi sehingga semua lapisan masyarakat akan mendapatkan layanan dari perawat onkologi yang berkualitas,” jelasnya.
Navigator pasien kanker
Terkait program NAPAK, hal ini untuk menjawab berbagai hambatan yang ditemui pasien seperti antrean panjang, komunikasi yang kurang jelas, waktu tunggu yang lama, administrasi yang kompleks, ketidakpercayaan terhadap kemampuan tenaga kesehatan, dan kurangnya empati. Meski peran NAPAK telah diakui di berbagai negara, peran ini belum ada di Indonesia.
Navigator pasien kanker, kata Soeko, akan dibekali dengan pengetahuan mendalam tentang penyakit, nilai ekonomi perawatan, hingga pemahaman efek samping terapi. Dengan demikian, saat navigator berbicara dengan pasien, mereka dapat berperan sebagai anggota tim dokter. Namun, saat berbicara dengan dokter dapat memosisikan diri seperti anggota keluarga.