Di tengah berbagai penularan penyakit yang terjadi di masyarakat, kewaspadaan akan infeksi leptospirosis harus tetap ditingkatkan. Kebersihan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat harus terus dilakukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem kewaspadaan dini terhadap leptospirosis perlu diperkuat. Musim hujan yang berdampak pada banjir biasanya akan diikuti dengan peningkatan kasus di masyarakat. Karena itu, perlu upaya pencegahan dengan peningkatan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat.
Kementerian Kesehatan per 31 Oktober 2022 melaporkan, jumlah kasus leptospirosis mencapai 1.010 kasus dengan 95 kematian. Jumlah itu lebih tinggi dari laporan tahun 2021 dengan jumlah kasus sebanyak 736 kasus dengan 84 kematian. Sementara provinsi dengan laporan kasus leptospirosis tertinggi ialah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi, dihubungi di Jakarta, Selasa (1/11/2022), mengatakan, kewaspadaan pada kasus leptospirosis perlu ditingkatkan di tiap daerah, terutama di daerah endemis. Kasus leptospirosis biasanya banyak ditemukan pada daerah-daerah yang sering mengalami banjir.
”Secara umum, strategi yang perlu dilakukan dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, pemberantasan tikus yang menjadi vektor tular, dan selalu mengedukasi masyarakat untuk segera ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala,” tuturnya.
Selain itu, kemampuan deteksi dini dan kewaspadaan kasus leptospirosis harus diperkuat, terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas. Sebagian besar kasus leptospirosis yang dilaporkan sudah dalam kondisi berat yang ditemukan di rumah sakit. Hal ini juga menyebabkan keparahan serta kematian akibat penyakit tersebut.
Tenaga kesehatan di puskesmas yang berada di wilayah endemis harus lebih waspada akan gejala dan tanda dari leptospirosis. Kecurigaan perlu ditingkatkan terkait penularan penyakit itu karena umumnya gejala dari leptospirosis tidak khas, seperti demam, sakit kepala, dan nyeri otot.
Strategi yang perlu dilakukan dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, pemberantasan tikus yang menjadi vektor tular, dan selalu mengedukasi masyarakat untuk segera ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala. (Imran Pambudi)
Leptospirosis merupakan penyakit demam akut yang dapat terjadi pada hewan dan manusia akibat infeksi dari bakteri Leptospira sp. Bakteri ini bisa masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang luka, lecet, ataupun selaput lendir dari urine binatang yang sakit atau binatang yang menjadi vektor penular, yakni tikus. Penularan ini biasanya menyebar dari urine tikus melalui kontaminasi dari lingkungan saat terjadi banjir.
Penanganan terlambat
Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Sharifah Shakinah, menuturkan, obat leptospirosis mudah diakses dan tersedia di tiap RS. Namun, angka kematian akibat leptospirosis tinggi akibat penanganan terlambat.
Gejala penyakit yang tak khas sering kali membuat deteksi dan diagnosis terlambat dilakukan. Selain itu, diagnosis pasti infeksi leptospirosis membutuhkan pemeriksaan tambahan secara laboratorium melalui pemeriksaan reaksi rantai (polimerase polymerase chain reaction/RT PCR) atau dengan pemeriksaan microscopic agglutination test (MAT).
”Pemeriksaan ini hanya tersedia di beberapa center dan tidak tersedia secara luas. Untuk itu, perlu dukungan pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan alat diagnosis, baik diagnosis probable leptospirosis dengan RDT IGM anti leptospiral ataupun diagnosis pasti leptospirosis,” katanya.
Menurut Sharifah, alat diagnosis tersebut harus lebih mudah diakses, terutama pada kondisi tertentu seperti pada musim hujan serta pada rumah sakit yang memiliki daerah geografis dengan pasien berisiko tinggi. ”Apabila dapat lebih awal mendiagnosis, kita dapat mencegah keterlambatan pengobatan dan menurunkan angka mortalitas,” ucapnya.
Penanganan yang terlambat pada kasus leptospirosis dapat menimbulkan komplikasi buruk hingga kematian. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien, yakni gagal ginjal akut yang butuh layanan hemodialisa atau cuci darah, adanya penyakit kuning akibat kerusakan pada organ hati, serta gangguan kesadaran. Pada kondisi terburuk bisa terjadi Weil disease yang merupakan kondisi infeksi leptospirosis berat.
”Upaya pencegahan dan diagnosis yang tepat harus ditingkatkan karena leptospirosis ditemukan hampir di semua wilayah di Indonesia. Edukasi juga harus terus disampaikan, terutama pada kelompok masyarakat berisiko tinggi yang bekerja dengan risiko paparan hewan pengerat atau sekret dari hewan pengerat,” tutur Sharifah.