Seks, Masih Pentingkah bagi Milenial?
Frekuensi hubungan seksual pasangan suami-istri generasi milenial makin menurun. Akibatnya, tingkat kelahiran pun turun. Milenial memiliki beban stres berat akibat tuntutan kehidupan, ekonomi, dan pengaruh teknologi.
Kehidupan seksual manusia mencapai puncaknya di umur 20 tahun-30 tahun. Setelah itu, percikan gairah seksual akan menurun. Namun, pada milenial, mereka justru mengalami kemunduran dorongan bercinta lebih cepat dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Beratnya beban hidup dan teknologi memicu stres hingga akhirnya menurunkan hasrat seksual mereka.
Survei Kinsey Institute di Universitas Indiana, Amerika Serikat, bersama Lovehoney, penjual perlengkapan seks, terhadap penduduk AS umur 18 tahun-45 tahun pada 2021, seperti dikutip BBC, 20 Oktober 2022, menunjukkan, 25,8 persen milenial atau generasi Y yang menikah memiliki hasrat seksual rendah dalam setahun terakhir. Untuk generasi X dan generasi Z yang mengalami masalah serupa masing-masing sebanyak 21,2 persen dan 10,5 persen.
Generasi milenial adalah mereka yang lahir antara 1981 dan 1996 atau saat survei dilakukan berumur antara 25 tahun dan 40 tahun. Selain di puncak kehidupan seksualnya, mereka juga berada dalam posisi karier yang menanjak serta baru memulai kehidupan rumah tangga atau memiliki anak kecil. Mereka juga menjalani masa muda dengan mengakrabi teknologi digital.
Justin Lehmiller, peneliti di Kinsey Institute, mengatakan, rendahnya dorongan seksual memang tidak selalu identik dengan perkawinan dengan intensitas seks yang kurang. Namun, saat salah satu atau kedua orang pasangan yang sudah menikah mengalami penurunan hasrat seksual, frekuensi mereka berhubungan badan pun umumnya turun.
”Hilangnya hasrat seksual adalah salah satu alasan terbesar kurangnya hubungan seksual dalam perkawinan,” ujarnya.
Situasi serupa mudah ditemukan di negara lain. Studi Institut Kesehatan Seksual dan Pasangan Kang Dong-woo dan perusahaan asuransi LINA di Korea Selatan, seperti dikutip dari The Korea Times, 30 Juni 2016, menemukan 38 persen orang dewasa di Korsel berhubungan seks sekali sebulan atau kurang.
Untuk kelompok yang sudah menikah, jumlah yang melaporkan memiliki hubungan seks maksimal sekali sebulan mencapi 36 persen. Menurut pimpinan studi Kang Dong-woo, jumlah pasangan menikah yang kurang berhubungan seks di Korsel itu merupakan yang tertinggi kedua di dunia setelah Jepang yang mencapai 44,6 persen pada 2014.
Baca Juga: Robot Seks Picu Kerusakan Psikologis
Meski tidak ada data pasti, situasi serupa diprediksi juga terjadi di Indonesia, khususnya di kota besar. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2002-2003, 2007, dan 2012 menunjukkan tingkat fertilitas (TFR) masyarakat mencapai 2,6 anak per perempuan usia subur. Namun, pada SDKI 2017, TFR turun menjadi 2,4 anak per perempuan usia subur.
Penurunan tersebut, seperti dikutip Kompas, 18 Oktober 2018, selain akibat meningkatnya penggunaan kontrasepsi, naiknya usia kawin, dan bertambahnya jumlah orang yang mengalami gangguan infertilitas, juga disebabkan oleh menurunnya frekuensi pasangan usia subur untuk melakukan hubungan suami-istri.
Meski seolah terlihat sepele, penurunan frekuensi hubungan suami-istri itu sejatinya menunjukkan adanya masalah kesehatan mental yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Dampak jangka panjangnya, jumlah kelahiran akan terus menyusut seperti di negara-negara maju, yang mengancam keberlangsungan ekonomi dan eksistensi suatu bangsa.
Batasan
Definisi tentang perkawinan dengan hubungan seksual yang kurang memang beragam dan subyektif. Sebagian peneliti hanya menyebut sebagai pasangan suami-istri yang tidak melakukan hubungan seks dalam waktu lama. Namun, peneliti lain membatasi dengan pasangan yang melakukan hubungan seks kurang dari 10 kali dalam setahun.
Selanjutnya, terapis seks di New York, AS, Stephen Snyder, menggunakan ukuran hubungan seks maksimal empat kali setahun. Namun, jika hubungan seks rata-rata 3 bulan sekali itu dilakukan dengan penuh gairah, tidak masuk kategori kekurangan.
Baca Juga: Teknologi Mengubah Perilaku Seksual Generasi Z
Kimberly Anderson, terapis seks dan asisten profesor psikiatri di Sekolah Kedokteran Universitas California Los Angeles, AS, menyaratkan hubungan seks maksimal 25 kali setahun agar disebut perkawinan dengan hubungan seks kurang.
Ketua Umum Asosiasi Seksologi Indonesia Wimpie Pangkahila, di Kompas, 4 November 2018, mengatakan, tidak ada ketentuan berapa kali seharusnya suami-istri berhubungan badan dalam seminggu. Namun, jika kurang, tentu menimbulkan ketidakpuasan. ”Hubungan seks yang sehat dilakukan karena kesepakatan kedua pihak, terserah berapa kali, tetapi harus bisa memuaskan keduanya,” katanya.
Sementara antropolog jender, seksualitas, dan kesehatan di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, menambahkan, fungsi dasar seks adalah kesenangan. Di masa lalu, fungsi reproduksi seks tak bisa dilepaskan. Setelah revolusi industri dan berkembangnya teknologi kontrasepsi, fungsi kesenangan dan reproduksi seks dipisahkan.
Namun, manusia modern memandang seks sebagai sains hingga memunculkan berbagai pengetahuan guna mewujudkan seks ”berkualitas”. Akibatnya, hubungan suami-istri jadi hal terukur yang justru menimbulkan tekanan dan stres sehingga hasrat seksual pun turun. ”Seks jadi hal teknis belaka dan lupa kesenangannya,” katanya.
Rendahnya frekuensi hubungan suami-istri pada pasangan yang menikah itu menurut terapis seks di California AS, Christene Lozano, dipicu kesenjangan hasrat. Ketidakseimbangan itu akan terus tumbuh dan membesar jika pasangan itu tidak mau menyelesaikannya sejak awal.
Pasangan yang menginginkan seks lebih sering kemungkinan akan terus meminta berhubungan dengan pasangannya. Namun, penolakan berulang bisa meruntuhkan harga diri mereka. Sebaliknya, pasangan yang menolak berhubungan suami-istri pun biasanya akan merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pasangannya. Akibatnya, gairahnya pun akan makin menurun.
Baca Juga: Rumitnya Membincangkan Seks
Masalah kesehatan fisik atau mental juga bisa membuat berkurangnya frekuensi hubungan seks suami-istri. Dalam kondisi tertentu, baik akibat penyakit fisik atau mental, seks yang seharusnya menyenangkan bisa menjadi aktivitas yang menyakitkan, sulit, dan bahkan tidak diinginkan.
Beban pekerjaan formal ataupun mengurus rumah tangga atau anak-anak juga bisa menurunkan gairah seksual. Situasi akan semakin bertambah berat jika komunikasi suami-istri buruk.
Terapis seks di San Francisco, AS, Celeste Hirschman, mengatakan, berdasar pengalamannya selama 20 tahun melihat pasangan, di masa dulu butuh 10 tahun-15 tahun untuk berhenti berhubungan badan sejak pertama dilakukan. Namun, generasi saat ini hanya butuh 3 tahun-5 tahun.
Stres berat
Anderson yang berpraktik selama 30 tahun menambahkan, jika dulu masalah pasangan dengan hubungan seks kurang mudah ditemukan pada pasangan berusia lebih dari 50 tahun, kini persoalan itu banyak dihadapi pasangan berumur kurang dari 45 tahun.
Dulu, pasangan berumur lebih dari 50 tahun itu mengalami penurunan hasrat seksual akibat perubahan hormonal dan munculnya sejumlah penyakit yang menyertai proses penuaan. Namun, kini, rendahnya hasrat seksual itu banyak dipicu oleh beratnya stres yang dihadapi pasangan.
”Stres adalah salah satu pembunuh libido terbesar. Generasi milenial adalah kelompok yang paling stres dalam banyak hal, terutama dibandingkan dengan generasi Z,” kata Lehmiller.
Selain berada di puncak kehidupan seksual, generasi milenial juga sedang berada di tahap utama kehidupan. Mereka umumnya baru merintis rumah tangga, baru memiliki anak, hingga tengah merintis karier. Generasi ini juga berada dalam situasi untuk memenuhi segala kebutuhan hidup keluarga barunya, seperti membeli rumah yang makin tak terjangkau, lonjakan harga kebutuhan pokok, serta jeratan berbagai jenis kredit dan utang.
Untuk Indonesia, banyak milenial merupakan sandwich generation yang harus menanggung beban hidup diri dan keluarga barunya, serta masih harus menanggung beban orangtua atau keluarga besarnya.
Survei jaringan Relate di Inggris tahun 2018 menemukan 61 persen responden berumur 30-an tahun mengaku memiliki intensitas hubungan seksual kurang dari yang mereka inginkan karena terhalang anak-anak yang masih kecil. Selain itu, 31 persen responden juga melaporkan kehilangan libido sejak memiliki anak.
Stres adalah salah satu pembunuh libido terbesar. Generasi milenial adalah kelompok yang paling stres dalam banyak hal, terutama dibandingkan dengan generasi Z.
Meksi demikian, studi terbaru yang dilakukan konsultan Deloitte di lima negara yang dipublikasikan pada Mei 2022 menunjukkan, 38 persen milenial melaporkan beban kesehatan mental terbesar mereka bersumber dari kecemasan di dunia kerja. Dari jumlah tersebut, persentase lebih tinggi dialami perempuan pekerja sebanyak 41 persen dan laki-laki pekerja 36 persen.
Bagi milenial, lingkungan kerja saat ini tidak pernah stabil atau mendukung lingkungan kerja dengan tingkat stres rendah. Banyak milenial memulai karier saat resesi atau krisis ekonomi melanda berbagai negara. Saat kariernya mulai menanjak, mereka berhadapan dengan pandemi Covid-19 yang membawa banyak konsekuensi.
Milenial juga bekerja di tengah disrupsi teknologi yang masif dan makin cepat. ”Selama masa peralihan teknologi yang cepat itu, orang cenderung bekerja lebih keras,” kata Snyder. Akibatnya, banyak milenial menjadi gila kerja, mengalami kelelahan fisik dan mental, sehingga menurunkan dorongan seksual mereka.
Situasi ekonomi yang terjadi memicu kekhawatiran milenial atas kestabilan keuangan mereka. ”Kekhawatiran atas kondisi keuanganyang besar ditambah dengan depresi dan kecemasan yang tinggi adalah kombinasi yang kuat untuk menghasilkan stres hingga akhirnya menurunkan hasrat seksual mereka,” ujar Lehmiller.
Internet
Di luar tekanan ekonomi dan keluarga yang menimbulkan stres, kehadiran teknologi informasi juga berkontribusi membuat perkawinan milenial kurang memiliki hubungan seksual yang intens.
Hirschman mengatakan, milenial adalah generasi pertama yang terpapar media sosial. Paparan media sosial membuat mereka memiliki kesadaran tinggi akan citra diri. Mereka senantiasa berusaha tampil sempurna, baik dengan bantuan riasan wajah maupun filter yang tidak digunakan di kehidupan nyata.
Kesadaran akan citra diri menurunkan kepercayaan diri mereka dan dampaknya terbawa hingga ke kamar tidur dan pernikahan milenial. Survei Relate pada 2018 menemukan 37 persen responden yang berumur kurang dari 30 tahun dan memiliki hubungan seks kurang yang memiliki kesadaran akan tubuh mereka. Pada responden berumur lebih dari 60 tahun, hanya 14 persen yang memiliki kesadaran akan tubuh mereka.
Tak hanya media sosial, pornografi pun berpengaruh besar pada perkawinan milenial. Banyak milineal beranjak dewasa saat akses pornografi makin mudah dan bebas seiring berkembangnya internet. Paparan pornografi ini pula yang membedakan milenial dengan generasi sebelumnya, terutama generasi X atau baby boomer.
”Pada abad ke-20, beberapa laki-laki cenderung kompulsif secara seksual dengan banyak perempuan. Namun, akhir-akhir ini, laki-laki cenderung menonton banyak film porno,” kata Snyder. Paparan pornografi itu membuat laki-laki tidak perlu bersusah-susah mencari hubungan seks secara nyata dengan orang lain.
Anderson memiliki banyak klien laki-laki berumur kurang dari 45 tahun dengan perkawinan yang memiliki hubungan seks rendah yang mengalami disfungsi ereksi akibat paparan pornografi. Gangguan yang mereka alami membuat mereka sulit ereksi tanpa bantuan film porno atau saat berhubungan badan dengan istri mereka. Akibatnya, banyak suami akhirnya memilih mencapai kepuasan seksual dengan masturbasi sambil menonton film porno.
”Pernyataan paling umum dari suami yang kecanduan pornografi adalah, ”Pornografi tidak penah menolak atau mengritik penampilan saya,” kata Anderson.
Walau perkawinan milenial menjadi penuh tantangan, hal yang menyedihkan adalah seks tetap sulit dibicarakan meski itu dengan pasangan seksual mereka. Akibatnya, masalah perkawinan dengan hubungan seks yang rendah sulit dicari solusinya. Kalaupun sadar akan masalah yang dihadapi, mereka pun tak tahu bagaimana memulainya.
Karena itu, meminta bantuan kepada terapis seks bisa dijadikan pilihan bagi pasangan. Di Indonesia, situasi ini tetap sulit karena tabunya membicarakan seksualitas, tidak umumnya berkonsultasi dengan tenaga kesehatan soal hubungan suami-istri, hingga terbatasnya dokter seksologi atau seksolog klinis.
Meski demikian, situasi ini harus diatasi karena berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya kasus perceraian yang dampaknya akan makin meluas. Bagaimana pun, seksualitas bukan soal hubungan suami-istri semata, melainkan juga bagian dari upaya pembangunan kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat.