Pemahaman publik diharapkan memantik kepedulian terhadap wastra. Keduanya merupakan modal penting untuk pelestarian wastra.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA
Proses mencuci batik yang diberi pewarna alami di sentra batik Betawi di Palbatu, Jakarta Selatan, Rabu (31/8/2016). Batik Palbatu memproduksi batik-batik tulis motif baru khas Betawi.
BOGOR, KOMPAS — Pemahaman publik berperan penting untuk pelestarian wastra atau kain tradisional Indonesia. Pemahaman itu diharapkan tidak hanya menumbuhkan kecintaan terhadap wastra, tetapi juga dorongan untuk mendukung industrinya.
Salah satu wastra yang menjadi perhatian adalah batik. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ria Intani Tresnasih mengatakan, yang disebut batik adalah kain yang dibuat dengan lilin malam melalui teknik lukis, cap, ataupun kombinasi keduanya. Namun, kini beredar pula tekstil bermotif batik dipahami sebagian orang sebagai batik, padahal bukan.
”Perlu jadi perhatian kita, apakah yang digunakan oleh masyarakat secara umum itu batik atau bukan batik. Sebab, ragam hias pada kain yang dibuat dengan proses printing tidak dapat disebut batik, tetapi kain bermotif batik,” kata Ria saat diskusi pameran Digdaya Wastra di Museum Kepresidenan Balai Kirti, Bogor, Senin (31/10/2022).
HARIS FIRDAUS
Pendiri usaha Batik Jolawe, Dedi H Purwadi, menyelesaikan karya batik buatannya, Jumat (20/8/2021), di rumahnya di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Batik Jolawe merupakan usaha batik yang memproduksi batik dengan pewarna alam. Foto untuk Tulisan Geliat Kota.
Pemahaman ini penting untuk mempertahankan karakteristik batik. Adapun batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2009.
Munculnya kain bermotif batik dapat menggeser keberadaan batik yang dibuat dengan teknik-teknik khusus seperti yang telah diakui UNESCO. Adapun penetapan batik sebagai warisan budaya dunia tidak bersifat permanen. Status ini bisa dicabut jika tidak lagi memenuhi kriteria sebagai warisan budaya dunia.
Perlu jadi perhatian kita, apakah yang digunakan oleh masyarakat secara umum itu batik atau bukan batik.
Ria menambahkan, batik merupakan warisan nenek moyang yang sudah ada selama berabad-abad. Warisan itu tidak hanya berupa benda budaya, tapi juga warisan pengetahuan dan nilai-nilai yang disispkan pada motif batik.
”Bangga pada batik yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia saja tidak cukup. Kita mesti mengenal juga apa itu batik,” kata Ria.
Ngatmi (51) menyelesaikan pembuatan batik di tempat usaha Batik Mahkota di sentra batik Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (15/7/2020). Beragam motif batik baru terus dikembangkan di kawasan itu sebagai bagian dari upaya melestarikan batik sebagai warisan budaya.
Dukung perajin batik
Selain agar tidak salah kaprah, kemampuan membedakan batik dan tekstil bercorak batik diharapkan membuat publik bijak membeli batik sehingga industrinya berkelanjutan. Hal ini juga diharapkan mendukung kesejahteraan perajin batik.
Ria mengatakan, pertumbuhan jumlah perajin batik belum berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2017, sebuah sanggar batik tutup karena seluruh perajinnya beralih profesi. Para perajin perempuan beralih pekerjaan menjadi pekerja rumah tangga lepas, sedangkan perajin laki-laki menjadi kuli bangunan.
”Perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga lepas dapat bekerja selama tiga jam dan diberi insentif Rp 35.000. Dalam sehari mereka bisa bekerja di 2-3 rumah tangga. Sementara itu, saat menjadi pekerja batik, mereka mendapat insentif Rp 40.000 untuk bekerja pada pukul 08.00-16.00,” ucap Ria.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Perajin batik Kelompok Usaha Bersama Batik Pring, Mas Nunik Wahyuni (30), mencanting batik di Desa Papringan, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (22/6/2020).
Masalah kesejahteraan dapat menurunkan minat masyarakat, terlebih generasi muda, untuk menjadi perajin batik. Regenerasi pun dikhawatirkan terhambat.
”Menurut saya, kesejahteraan pembatik bisa ditingkatkan dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan batik yang sebenar-benarnya batik, bukan kain bermotif batik,” ucap Ria.
Menurut desainer Didi Budiarjo, wastra bisa menjadi sumber penghidupan jika komunitas perajinnya diwadahi dan dibina. Hal ini berdasarkan pengalamannya bersama yayasan Cita Tenun Indonesia di Sambas, Kalimantan Barat, 12 tahun lalu. Kala itu, mereka membina para penenun yang merantau ke Malaysia dan Brunei Darussalam agar kembali bekerja di Indonesia.
”Dalam waktu empat tahun, terasa ada peningkatan ekonomi. Mereka sudah bisa mencicil sepeda motor. Dalam enam tahun, mereka punya koperasi dan berencana umrah bersama. Jika ditekuni dan dibuatkan komunitasnya, wastra itu bisa menghidupi,” ujar Didi yang juga kurator pameran Digdaya Wastra.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Sebanyak 100 perajin batik di Lampung sedang mengikuti pelatihan dan sertifikasi profesi batik, Selasa (9/5), di Bandar Lampung. Pemerintah mendorong agar seluruh perajin batik memiliki sertifikat kompetensi untuk meningkatkan daya saing, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pameran
Untuk menumbuhkan pemahaman publik tentang wastra, Museum Kepresidenan Balai Kirti menggelar pameran Digdaya Wastra yang berlangsung pada 31 Oktober hingga 2 November 2022. Pameran ini menampilkan beragam batik dan kain tenun.
Wastra-wastra itu merupakan koleksi dari Museum Sri Baduga, Bandung; Museum Ranggawarsita, Semarang; Museum Mpu Tantular, Sidoarjo; Museum Sonobudoyo, Yogyakarta; Museum Tekstil Jakarta; Museum Batik, Pekalongan; dan pemerhati batik Afif Syakur. Adapun beberapa wastra ditampilkan dulu merupakan milik sejumlah ibu negara, antara lain almarhum Ibu Ani Yudhoyono, almarhum Ibu Hasri Ainun Habibie, dan Ibu Herawati Boediono.
Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti Dewi Murwaningrum mengatakan, pameran ini digelar untuk merayakan Hari Batik dan Hari Museum. Pameran ini juga untuk merayakan Hari Jadi Ke-8 Museum Kepresidenan Balai Kirti.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mendukung pameran ini. Ia mengatakan, kekayaan wastra tumbuh dari keragaman situasi dan ruang hidup di masing-masing daerah. Ia berharap pameran ini dapat memotivasi generasi muda untuk mengolah potensi budaya.