Teman Curhat Bisa Bantu Atasi Masalah Kesehatan Jiwa
Masalah kesehatan jiwa bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan. Kita justru dianjurkan mencari bantuan dan dukungan ketika mengalaminya.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Masalah kesehatan jiwa bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan. Mencari bantuan dan dukungan sosial maupun profesional terkait kesehatan jiwa merupakan tindakan yang baik dan dianjurkan.
Psikolog klinis Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Annelia Sari Sani, dalam bincang ”It Starts and Ends with Us” di Jakarta, Sabtu (29/10/2022), mengungkapkan, stigma yang beredar di masyarakat tentang orang dengan gangguan kesehatan jiwa salah satunya dianggap tidak waras atau gila. Akibatnya, korban gangguan kesehatan jiwa menjadi malu untuk mencari pertolongan.
Padahal, kata Annelia, setiap orang bisa berdaya untuk jadi tempat curhat korban gangguan kesehatan jiwa. Hanya saja, orang yang dijadikan tempat curhat perlu jadi ruang yang aman untuk korban gangguan kesehatan jiwa. Tidak perlu jumlahnya banyak, kelompok pertemanan yang terdiri dari dua atau tiga orang ketika bisa membuat ruang aman, maka akan banyak orang yang bisa keluar dari masalahnya.
Dengan dia mau cerita, kami merasa menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak sekadar menangis itu suatu kebanggaan. (Mona Ratuliu)
”Ketika masih bisa berdaya dan mampu keluar sendiri dari masalah rasanya akan lebih enak, jangan anggap enteng teman curhat, tidak masalah kalau belum bisa ngasih solusi, tapi paling tidak ada teman yang peduli,” katanya.
Annelia mengatakan, setiap orang perlu sadar bahwa hidup tidak bisa sendirian karena butuh teman dan ada yang menemani. Begitu pun orang lain. Teman atau keluarga korban gangguan kesehatan jiwa tidak usah berpikir panjang bisa atau tidak memberikan solusi, yang terpenting memiliki niat untuk menemani korban gangguan kesehatan jiwa.
”Walaupun nantinya akan bertemu orang yang tidak sesuai harapan, tidak masalah. Kalau tidak ketemu juga datanglah ke pihak profesional psikolog atau psikiater,” ujarnya.
Annelia menjelaskan, selain mencari teman curhat, korban gangguan kesehatan jiwa juga dapat memberdayakan keluarga. Jangan pernah berpikir bahwa keluarga tidak akan bisa membantu karena belum dicoba. Siapa tahu, lanjut Annelia, keluarga ingin membantu, tetapi mungkin takut untuk bertanya.
”Coba aja dulu, kemungkinan terburuknya keluarga akan nggak nyambung, tapi tidak tertutup kemungkinan keluarga mengerti dan bisa memberikan bantuan. Paling tidak bisa menemani kita itu sudah membantu sekali,” ucapnya.
Dukungan keluarga
Selain itu, menurut Anelia, faktor proteksi yang paling membantu untuk mengembangkan resiliensi adalah dukungan keluarga dan dukungan teman sebaya atau komunitas. Individu (korban gangguan kesehatan jiwa) akan bisa berdaya nantinya.
Meski demikian, ia menyadari tidak banyak keluarga yang dibangun dengan sebuah konsep sehingga mengalami kebingungan saat mendidik anak dengan gangguan kesehatan jiwa. ”Penting sekali secara keluarga, punya konsep dulu agar jadi ruang aman di keluarga,” katanya.
Aktris sekaligus penulis buku parenting, Mona Ratuliu, mengungkapkan, orangtua harus berusaha mengenal anak lebih baik dari hari ke hari dan mendampingi anak secara lebih baik. Ia bercerita, berawal dari pengalaman anaknya yang memiliki gangguan kesehatan jiwa, ia berusaha hadir untuk anaknya walaupun ia tidak mengetahui masalah anaknya sama sekali bahkan tidak punya solusi.
”Buat saya prestasi sebagai orangtua ketika anak datang ke kamar saya, cerita dan ingin tidur bareng orangtuanya. Dengan dia mau cerita, kami merasa menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak sekadar menangis itu suatu kebanggaan,” ujarnya.
Menurut dia, orangtua harus jadi tempat yang aman. Ia berharap semoga makin banyak keluarga dan lingkungan yang bersedia menerima dan menemani anak-anak yang tumbuh dengan masalah gangguan kesehatan jiwa.
Peneliti Black Dog Institute, Sandersan Onie, mengatakan, hal yang perlu dihentikan dalam masyarakat adalah berhenti percaya terhadap mitos mengenai kesehatan jiwa. Stigma yang beredar selama ini, menurut dia, sangat keliru. Mitos terbesar gangguan kesehatan jiwa adalah kurang beriman.
Sandersan mengungkapkan, penelitian menunjukkan ada unsur genetik dan biologis yang dialami orang gangguan kesehatan jiwa. ”Mereka tidak punya pilihan tentang apa yang mereka rasakan sehingga dibutuhkan orang profesional untuk menyembuhkannya,” ucapnya.
Menurut dia, masyarakat juga masih menganggap kesehatan jiwa sebagai sesuatu yang tabu dan masih memiliki kesalahpahaman mengenai kesehatan jiwa. Padahal, kesehatan jiwa merupakan aspek penting dalam mendorong produktivitas.
Dalam acara bincang tersebut juga dilaksanakan penandatanganan Deklarasi Lombok oleh para pemuka agama di Indonesia. Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa agama mempunyai peranan penting dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan masalah kesehatan jiwa. Deklarasi tersebut menyerukan bahwa pengabaian dan diskriminasi terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa adalah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama dan kepercayaan.