Infeksi Jamur Semakin Mengancam Kesehatan
Penyakit infeksi akibat jamur mulai meningkat di dunia. Ditemukan pula indikasi pengobatan resisten terhadap jamur. WHO membuat daftar jamur patogen agar menjadi perhatian semua.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pertama kalinya merilis daftar jamur patogen prioritas yang membahayakan kesehatan. Jamur tersebut mengancam hidup manusia dan resisten terhadap obat-obat antijamur. Ada 19 jamur dengan kategori kritis, tinggi, dan medium yang masuk dalam daftar tersebut.
Jamur patogen merupakan ancaman utama bagi kesehatan masyarakat karena menjadi semakin umum. Apalagi jamur patogen tersebut juga telah menjadi resisten terhadap pengobatan yang terkategori dalam empat kelas obat antijamur yang tersedia saat ini, serta beberapa kandidat dalam jalur klinis. Sebagian besar jamur patogen tidak memiliki diagnostik yang cepat dan sensitif dan tidak tersedia secara luas atau terjangkau secara global.
Bentuk invasif dari infeksi jamur ini sering memengaruhi pasien yang sakit parah dan mereka yang memiliki permasalahan terkait sistem kekebalan. Populasi dengan risiko terbesar infeksi jamur invasif termasuk mereka yang menderita kanker, HIV/AIDS, transplantasi organ, penyakit pernapasan kronis, dan infeksi tuberkulosis pasca-primer.
Pengobatan di rumah sakit kadang kayak pedang bermata dua. Penggunaan peranti medik dan antibiotik untuk pengobatan, tetapi di sisi lain mengundang infeksi jamur.
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian dan penyebab utama kecacatan di seluruh dunia. Infeksi bakteri yang resistan terhadap obat diperkirakan secara langsung menyebabkan 1,27 juta kematian dan berkontribusi menjadi sekitar 4,95 juta kematian setiap tahun, terutama akibat terbatasnya sumber daya.
Dengan latar belakang ancaman kesehatan global utama saat ini, penyakit jamur invasif meningkat secara keseluruhan dan khususnya di antara populasi immunocompromised atau gangguan kekebalan tubuh. Diagnosis dan pengobatan penyakit jamur invasif menghadapi tantangan akibat akses terbatas ke diagnostik dan pengobatan berkualitas serta munculnya resistensi antijamur dalam banyak pengobatan.
Direktur WHO, Departemen Koordinasi Global Direktur WHO, Departemen Koordinasi Global Antimicrobial Resistance (AMR), Haileyesus Getahun, Selasa (25/10/2022), menjelaskan, dibuatnya daftar prioritas jamur patogen (FPPL) ini sebagai upaya global pertama yang secara sistematis memprioritaskan jamur patogen. Hal ini mengingat kebutuhan penelitian dan pengembangan yang belum terpenuhi dan kepentingan kesehatan masyarakat. Daftar FPPL WHO ini bertujuan untuk memfokuskan dan mendorong penelitian lebih lanjut dan intervensi kebijakan untuk memperkuat respons global terhadap infeksi jamur dan resistensi antijamur.
Bukti yang muncul menunjukkan bahwa insiden dan jangkauan geografis penyakit jamur berkembang di seluruh dunia karena pemanasan global dan peningkatan perjalanan dan perdagangan internasional. Selama pandemi Covid-19, insiden infeksi jamur invasif yang dilaporkan meningkat secara signifikan di antara pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena jamur penyebab infeksi umum (seperti candida di mulut dan vagina) menjadi semakin resisten terhadap pengobatan, risiko pengembangan bentuk infeksi yang lebih invasif pada populasi umum juga meningkat.
Sebagai informasi, spesies jamur candida yang meyebabkan kematian adalan kandidiasis invasif atau merupakan infeksi pada organ dalam atau infeksi aliran darah (blood stream infection). Sementara pada vagina dan mulut, meski prevalensinya lumayan banyak, tidak menyebabkan kematian.
Baca juga: Waspadai Infeksi Jamur yang Bisa Menyerang Pasien Covid-19
”Ada muncul bayang-bayang pandemi resistensi antimikroba bakteri, infeksi jamur yang tumbuh yang meningkat, dan semakin resisten terhadap pengobatan, menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,” kata Asisten Direktur Jenderal WHO Antimicrobial Resistance Hanan Balkhy.
Resistensi terhadap obat antijamur sebagian didorong oleh penggunaan antijamur yang tidak tepat di seluruh spektrum One Health. Misalnya, penggunaan antijamur yang tidak bijaksana di bidang pertanian dikaitkan dengan meningkatnya tingkat infeksi Aspergillus fumigatus yang resisten terhadap azole. Laporan tersebut juga menyerukan untuk mendorong upaya kolaboratif WHO dengan organisasi quadripartite dan mitra lainnya, untuk mengatasi dampak penggunaan antijamur pada resistensi di seluruh spektrum One Health.
Terganggu imunitas
Secara terpisah, peneliti jamur Indonesia, Retno Wahyuningsih, mengatakan, jamur yang menyebabkan penyakit pada dasarnya adalah mikroorganisme yang memiliki virulensi lebih rendah dari bakteri. Hal ini membuat jamur tersebut memerlukan kondisi imunokompromais atau tubuh mesti terganggu imunitasnya. Daftar jamur patogen dari WHO dengan kategori prioritas kritis, tinggi, dan sedang bergantung pada dampaknya yang mengancam keselamatan nyawa manusia dan resisten terhadap pengobatan antijamur.
Baca juga: Hewan Pengerat Bisa Menjadi Reservoir Penyakit Jamur yang Mematikan
Berdasarkan laporan bertajuk ”WHO Fungal Priority Pathogens List to Guide Research, Development and Public Health Action”, yang masuk daftar jamur patogen prioritas kelompok kritis adalah Cryptococcus neoformans, Candida auris, Aspergillus fumigatus, dan Candida albicans. Adapun kelompok tinggi meliputi Nakaseomyces glabrata (Candida glabrata), Histoplasma spp, agen penyebab eumycetoma, mucorales, Fusariumspp, Candida tropicalis, dan Candida parapsilosis.
Terakhir, patogen dalam kelompok sedang adalah Scedosporium spp, Lomentospora prolificans, Coccidioidesspp, Pichia kudriavzeveii (Candida krusei), Cryptococcus gattii, Talaromyces marneffei, Pneumocystisjirovecii, dan Paracoccidioidesspp.
Pembobotan dari 19 jamur tersebut, yang paling penting adalah resistensi antijamur (38,5 persen), diikuti oleh kematian (13,9 persen), pengobatan berbasis bukti (11,9 persen), akses ke diagnostik (10,4 persen), kejadian tahunan (8,5 persen), serta komplikasi dan gejala sisa (8,4 persen). Kriteria yang tersisa memiliki kepentingan relatif kurang dari 5 persen.
”Dari daftar jamur ini, ada yang sudah ditemukan di Indonesia, ada yang belum,” kata Retno. Ia memaparkan kelompok jamur prioritas kritis, Cryptococcus neoformans, banyak terdeteksi pada penderita HIV, biasanya menyebabkan infeksi otak. Bisa juga menyebabkan imunokompromi yang non-HIV seperti penderita kanker atau pengobatan yang menekan imunitas.
Prof Retno Wahyuningsih, peneliti penyakit jamur, ketika berada di laboratorium di Jakarta, Februari 2020.
Jamur Candida albicans hidup di dalam tubuh manusia sebagai saprofit atau tidak merusak sepanjang tubuh sehat. Jika orang mengonsumsi antiobiotik dalam jumlah besar dan waktu lama, seperti pasien di ruang ICU, penggunaan antibiotik mematikan bakteri baik di dalam usus dan saluran napas. Begitu bakteri dimatikan antibiotik, jamur ini bisa bertambah banyak dan menyebabkan infeksi mematikan.
Adapun Candida auris belum lama muncul. Jamur ini diidentifikasi di Jepang di telinga orang lanjut usia. ”Jamur ini ternyata mudah menyebar ke mana-mana dan termasuk jamur yang multidrugs resistance sehingga susah ditangani. Ternyata sudah menyebar ke seluruh dunia. Saya sudah mencoba mengidentifikasi di laboratorium parasitologi, tetapi belum dapat. Paling baik jamur ini diidentifikasi dengan PCR,” kata Retno yang pernah mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kini aktif mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta.
Sementara itu, Aspergillus fumigatus bisa mengancam hidup. Pasien ICU di rumah sakit dengan keganasan hematologi, seperti leukimia, bisa terkena infeksi paru hebat. Kalau tidak ditangani dalam dua minggu, pasien meninggal. Semua tindakan di ICU berisiko mendapat infeksi baik jamur candida maupun aspergillus, tetapi masalahnya pasien dengan keganasan dan ICU memang butuh obat.
Baca juga: Perubahan Iklim Meningkatkan Ancaman Penyakit Menular
“Pengobatan di rumah sakit kadang kayak pedang bermata dua. Penggunaan peranti medik dan antibiotik untuk pengobatan, tetapi di sisi lain mengundang infeksi jamur. Jamur aspergillus ini bisa menyerang di paru dan rongga di sekitar hidung, wajah, hingga bisa melakukan penetrasi ke otak,” ujar Retno,
Diabetes dan TBC
Retno mengatakan, ada sejumlah jamur yang di kelompok prioritas tinggi yang mesti diwaspadai di Indonesia. Salah satunya mucorales yang punya banyak spesies. Sebelum pandemi jarang ditemui penyakit akibat jamur ini, tetapi saat pandemi dilaporkan ada temuan.
”Yang jadi perhatian, meskipun insiden tidak tinggi, daya rusaknya luar biasa. Menginfeksi di sekitar wajah, pasien bisa kehilangan mata, hidung, atau tulang-tulang di wajah,” jelas Retno.
Di tahun 2017 ketika Asia Fungal Working Group melakukan survei, termasuk di Indonesia, dari 200 sampel yang dikirim, hanya 11 laboratorium yang mampu mendiagnosis penyakit jamur. ”Jadi saya khawatir, mucorales banyak tetapi tidak teridentifikasi. Sebab,perlu pengetahuan yang cukup tentang diagnosis penyakit jamur,” kata Retno.
Retno memaparkan, mucorales juga menyerang penderita diabetes yang tidak terkontrol. Di Indonesia, jumlah penderita diabetes banyak sehingga perlu diwaspadai. Diabetes yang tidak terkontrol membuat infeksi jamur, seperti mucorales dan candida, bisa muncul.
Baca juga: Hidup Lebih Sehat dengan Batasi Minuman Manis
Penderita diabetes harus bisa mengontrol gula darah. Di sisi lain, mucorales senang dengan gula. Jamur ini mengancam penderita diabetes dan karena ganas, maka dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Selain itu, pasien diabetes yang terinfeksi mucorales harus dioperasi untuk membuang semua jaringan yang rusak dan meninggalkan jaringan sehat. Operasi ini dapat membuat mata hilang, langit-langit mulut hilang, atau muka rusak.
Selain itu, perlu juga waspada pada jamur Histoplasmaspp. Infeksi jamur ini dapat menyebabkan penyakit mirip leukemia, selain itu penyakit mirip TBC. Jumlah penderita TBC di Indonesia termasuk tinggi di dunia.
Infeksi histoplasma yang kronik biasanya terjadi di paru dan gejalanya mirip dengan TBC paru sehingga sulit dibedakan. Mungkin saja sebagian pasien dengan TBC paru sebenarnya menderita histoplasmosis yang harus dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium yang berbeda.
Gejala penyakit yang sama seperti TBC paru juga bisa disebabkan infeksi jamur Aspergillus fumigatus. Ini biasanya timbul setelah TBC paru. Ketika diobati, paru-paru tetap rusak dan menjadi lahan untuk tumbuhnya jamur aspergillus. Gejalanya sama seperti TBC, tetapi bisa teridentifikasi jika melakukan pemeriksaan laboratorium untuk antibodi. Sayangnya, laboratorium yang mampu mendiganosis masih terbatas.
Baca juga: Pemeriksaan Mikrobiologi untuk Diagnosis Penyakit Infeksi
Indonesia negara tropis sehingga daerahnya lembab basah. Hal ini membuat jamur mudah tumbuh sehingga kita perlu hati-hati dan waspada. Menurut Retno, penyakit jamur punya faktor risiko yang melemahkan imunitas. Pemberian antibiotik jangka panjang dengan spektrum luas dapat mengubah keseimbangan mikroorganisme di tubuh manusia.
Sebagai contoh, candida sebenarnya saprofit di saluran cerna dan napas, demikian juga aspergillus. Faktor risiko lain adalah penyakit dasar keganasan atau kerusakan hati, atau karena penggunaan peranti mediasi invasif infus yang lama, vena dalam, atau penyakit HIV/AIDS.
Retno mengingatkan agar masyarakat juga tidak sembarangan menggunakan antibiotik tanpa berkonsultasi dengan dokter. Biasanya masyarakat mengobati sendiri saat batuk pilek dan dengan otomatis minum antibiotik. Padahal, itu bisa jadi karena alergi atau hal lain.
Langkah lain yang bisa dilakukan untuk melawan infeksi jamur perlu memperkuat kekebalan tubuh dengan istirahat, tidur, dan makan sehat. Protokol kesehatan yang berjalan selama ini, seperti memakai masker, pun baik sebagai upaya preventif.
Baca juga: Retno Wahyuningsih dan Mimpi Besar Peneliti Penyakit Jamur
Dampak perubahan iklim, ujar Retno, memang dapat membuat mikroorganisme juga beradaptasi. Mikroorganisme masuk ke tubuh dan menyebabkan penyakit karena kemampuan beradaptasi pada suhu tubuh manusia.
”Dengan meningkatnya iklim global di sekitar kita, tentu mikroorganisme menyesuaikan dan meningkat. Apalagi kalau kita lemah, kelaparan, kelelahan, atau minum antibiotik tidak secara benar, dapat memudahkan penyakit masuk ke tubuh,” ujar Retno.
WHO mendorong investasi yang lebih banyak dalam penelitian mikologi dasar, riset dan pengembangan obat-obatan antijamur dan diagnostik. Pendekatan inovatif diperlukan untuk mengoptimalkan dan menstandarkan penggunaan modalitas diagnostik saat ini secara global. Selain itu, intervensi kesehatan masyarakat diperlukan untuk menyoroti pentingnya infeksi jamur, termasuk melalui menggabungkan penyakit jamur dan patogen prioritas dalam pelatihan medis (klinis) serta program dan kurikulum kesehatan di semua tingkat pelatihan.
Artikel ini telah mengalami perubahan dari versi pertamanya karena mendapat tambahan sejumlah informasi dan penjelasan.