Pengembangan Infrastruktur Antariksa Masih Minim Persiapan
Pengembangan infrastruktur keantariksaan di Indonesia akan digeser pada skema kemitraan publik-swasta. Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan, mulai dari regulasi hingga keterlibatan masyarakat.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Parabola pengendali satelit yang terletak di kawasan Stasiun Pengendali Utama Satelit Telkom Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pertengahan April 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN mendorong swasta untuk berinvestasi pada infrastruktur keantariksaan nasional dalam pengembangan ekonomi hijau dan biru yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, hal ini masih terkendala beberapa hal, seperti ketiadaan regulasi internasional, belum meratanya akses atas teknologi, perlunya pengukuran dampak ekonomi, serta keterlibatan masyarakat dalam pengembangannya.
Ketua Panitia Space20 Wahyudi Hasabi dalam konferensi pers di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022), menyebutkan, penyelenggaraan Space20 untuk mendorong diskusi dan kerja sama di bidang teknologi antariksa. Kegiatan yang merupakan bagian dari G20 yang dikoordinasikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini bertujuan untuk memberi ruang bagi para pelaku industri internasional dalam pengembangan teknologi keantariksaan di Indonesia.
”Kami mendorong kemitraan publik-swasta dalam teknologi antariksa, khususnya dalam pengembangan ekonomi digital, ekonomi hijau, dan ekonomi biru berbasis kelautan. Skema kemitraan ini diharapkan juga mampu mengatasi berbagai hambatan terkait pengembangannya di Indonesia,” kata Wahyudi.
Kepala Organisasi Riset Penerbangan Antariksa Robertus Heru Triharjanto mengungkapkan, rencana skema kemitraan publik-swasta akan digunakan pada teknologi penginderaan jauh. Saat ini teknologi penginderaan jauh digunakan untuk banyak hal, mulai dari perencanaan tata kota, pengawasan cuaca, pertanian yang lebih presisi, pemantauan kebakaran hutan, hingga pengawasan laut yang lebih efisien.
”Pendanaan kegiatan antariksa di Indonesia rencananya tidak hanya dari negara seperti sekarang, tapi juga dari utang luar negeri dan skema kemitraan publik-swasta. Tujuannya, agar ada investasi dalam pemanfaatan antariksa yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga agar menciptakan kemandirian dan pekerjaan bernilai mutu tinggi di masa depan,” tutur Heru.
Heru menyebutkan, saat ini masih ada kendala yang dihadapi para pengembang teknologi keantariksaan. Di tingkat internasional belum ada hukum yang mengatur pemanfaatan antariksa. Padahal, pada sektor-sektor lain yang memungkinkan konflik antarnegara, hal itu sudah ada, seperti regulasi perbatasan di darat dan laut. Hal serupa juga perlu dikembangkan di antariksa, utamanya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tidak hanya dari segi regulasi, negara-negara The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam forum ini menyebut perlunya ada pengukuran terkait dampak ekonomi dari pemanfaatan teknologi antariksa. Heru mengatakan, hal ini bertujuan agar ada justifikasi yang jelas oleh negara untuk melakukan investasi selanjutnya. Lebih lanjut, hal ini juga bertujuan untuk mendorong investasi swasta melalui hitung-hitungan ekonomi yang jelas dan transparan.
Selain itu, ia menekankan bahwa penguasaan teknologi juga masih menjadi kendala di Indonesia. Hal ini meliputi infrastruktur fisik dan sumber daya manusia (SDM). Ke depan Indonesia harus menyiapkan teknologi dan SDM yang mampu, misalnya, untuk memantau sumber daya laut dan memprediksi titik bencana lebih akurat dengan bantuan teknologi.
Tidak hanya itu, kendala lain adalah infrastruktur digital di Indonesia masih belum merata. Ia menyebutkan, dalam pemanfaatan teknologi antariksa untuk telekomunikasi, misalnya, negara masih mendanai biaya telekomunikasi untuk wilayah yang sulit terjangkau.
Nelayan
Terkait dengan pengembangan ekonomi biru, Direktur Yayasan Pesisir Lestari Maman saat dihubungi secara terpisah menyebutkan beberapa hambatan dalam pengembangan ekonomi biru berbasis maritim di Indonesia, salah satunya sumber daya nelayan. Maman mengatakan saat ini 90 persen nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil.
”Para nelayan ini belum tentu tahu dan paham mengenai agenda ekonomi biru. Belum lagi berbicara mengenai langkah-langkah pragmatis yang harus ditempuh untuk berpartisipasi dalam mewujudkan agenda,” kata Maman.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Penyelaman di pura bawah laut yang didirikan pada kedalaman 30 meter di bawah permukaan laut di perairan Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali.
Penggunaan citra satelit sebagai upaya mengumpulkan data tutupan karang dan potensi perikanan juga harus diakomodasi dalam pemanfaatan teknologi antariksa untuk ekonomi biru. Penggunaannya perlu didiskusikan agar teknologi ini dapat diakses secara lebih luas oleh masyarakat di tingkat paling bawah, yaitu pemerintah desa dan masyarakat pesisir. Dalam hal ini, Maman menekankan perlunya kolaborasi antarsektor, termasuk pemerintah pusat dan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam ranah pengembangan ekonomi hijau, negara perlu memberikan intervensi melalui kebijakan percepatan dan perluasan transformasi digital. Pengembangan ekonomi hijau digital akan menyangkut perubahan aturan informal, seperti norma dan tradisi, serta aturan formal, yaitu kebijakan.
Kolaborasi antarteknologi ini akan memungkinkan penggunaan teknologi lain, seperti sensor, robot, satelit, drone, GPS, dan telepon pintar. Berbagai jenis teknologi ini akan mendukung akselerasi transisi menuju ekonomi hijau melalui berbagai platform digital. Teknologi digital ini membantu mencapai tujuan ekonomi rendah karbon dan rendah limbah serta mengontrol tingkat emisi udara (Kompas, 28/4/2022).