Aspek Keamanan Pengembangan Kecerdasan Buatan Perlu Dipertimbangkan
Teknologi terbaru memungkinkan seseorang berkomunikasi dan berinteraksi melalui mesin dengan bantuan kecerdasan buatan. Namun, persoalan keamanan, etik, juga privasinya perlu dipertimbangkan dengan bijak.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi brain-computer interface atau antarmuka otak-komputer memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dan berinteraksi melalui mesin hanya dengan menggunakan pikiran tanpa menggerakan tubuh ataupun berbicara. Teknologi ini dapat membantu orang yang lumpuh secara fisik untuk dapat bergerak dan berbicara dengan bantuan mesin terkomputerisasi dengan kecerdasan buatan.
Akan tetapi, implikasi pengembangan kecerdasan buatan tersebut terhadap keamanan, baik medis, sosial, maupun etis privasi, perlu dipertimbangkan.
Moritz Grosse-Wentrup, Kepala Kelompok Riset Neuroinformatika Universitas Wina, menjelaskan, brain-computer interface (BCI) adalah sistem komunikasi yang tidak bergantung baik pada pergerakan otot tubuh maupun ucapan mulut, tetapi hanya dengan pikiran. Sistem ini terkomputerisasi dengan kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin (machine learning) sehingga membutuhkan pembacaan data yang komprehensif untuk memahami proses komunikasi atau interaksi yang akan dilaksanakan.
”Teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang lumpuh sebagian ataupun lumpuh total (tetapi aktif secara kognitif) untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi melalui mesin hanya dengan sinyal di dalam otak,” ujarnya dalam acara daring bertajuk ”Brain-Computer Interface: Separating Fact from Fiction” yang diadakan Goethe-Institut Indonesien, Kamis (27/10/2022).
Ia mengatakan, ada dua jenis BCI yang kini tersedia, invasif dan non-invasif. Jenis invasif merupakan BCI yang diimplan langsung ke otak pasien dan membutuhkan operasi medis. Sementara non-invasif merupakan BCI yang diterapkan dengan sensor atau perangkat pemindaian, biasanya berupa topi atau ikat kepala yang dapat membaca sinyal otak. BCI jenis invasif berpeluang membaca sinyal otak dengan jelas karena terhubung langsung dengan sensor otak dari pada BCI non-invasif.
Teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang lumpuh sebagian ataupun lumpuh total (tetapi aktif secara kognitif) untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi melalui mesin hanya dengan sinyal di dalam otak.
Secara medis, BCI non-invasif lebih aman digunakan daripada invasif. Selain tidak memerlukan operasi yang memengaruhi fisik secara permanen, BCI non-invasif hanya memerlukan alat bantu yang tidak sulit digunakan. Moritz menuturkan, BCI non-invasif memang membutuhkan pendeteksian sensor yang lebih lama, tetapi ke depan lebih mungkin digunakan secara umum karena alatnya tidak memerlukan operasi medis.
Kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin juga menjadi aspek penting dalam BCI. Untuk itu, perlu ada latihan dan sinkronisasi yang perlu dilakukan pengguna agar BCI dapat memberikan hasil yang maksimal. ”Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai kecerdasan buatannya. Orang jadi berpikir sejauh mana kecerdasan buatan tersebut dapat mewakili proses komunikasi yang dilakukan. Apakah komunikasi yang disampaikan sesuai dengan maksud pengguna atau telah diambil alih oleh kecerdasan buatan dengan segala keterbatasannya,” ujar Moritz.
Selain itu, BCI merupakan teknologi elektroensefalografi yang mutakhir. Menurut Moritz, BCI akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar pada beberapa tahun ke depan. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk mengukur data secara pasif dan memungkinkan pengumpulan data kognitif pengguna. Moritz mengatakan, ini yang perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan BCI. Masyarakat perlu membicarakan pemanfaatan teknologi ini dan memutuskan kegunaannya, apakah akan hanya terbatas pada medis atau ada pemanfaatan lebih jauh.
Direktur Regional Southeast Asia Goethe-Institut Indonesien Stefan Dryeyer mengatakan, teknologi semacam BCI dahulu hanya ada dalam fiksi ilmiah, terutama dalam literatur, film, dan serial TV. Banyak dari karya fiksi ilmiah tersebut telah mengandaikan dampak buruk dari teknologi serupa. Kini, diskursus seputar teknologi BCI juga membahas hal yang sama, yakni implikasi teknologi ini pada keamanan medis, sosial, serta etika privasi.
Meskipun BCI membuka banyak kemungkinan interaksi dan komunikasi baru serta dapat membantu orang yang lumpuh secara fisik, tetap perlu ada diskusi kritis serta eksplorasi untuk menjawab implikasi-implikasi tersebut, Selain itu, para pemangku kebijakan perlu memahami kemajuan teknologi ini dan menerapkan peraturan yang sesuai tanpa membatasi inovasi dan kegunaan serta manfaatnya.