Kekerasan yang terus berulang menimpa pekerja rumah tangga seharusnya semakin mendorong DPR untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT menjadi UU. Lima juta PRT di Indonesia menanti pengesahan ini.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kembali terjadi dan menimpa RN (18), warga Kampung Salongkok, Desa Cibadak, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. RN yang bekerja di salah satu keluarga di Jakarta Timur mengalami penyiksaan dari majikannya, baik secara fisik maupun psikis, selama sekitar enam bulan.
Berbagai perlakuan tidak manusiawi dialami RN, termasuk disiram air cabai jika mengantuk saat bekerja. Pakaiannya pernah dilucuti si majikan dan majikannya merekam kejadian tersebut. Penyiksaan ini menyebabkan RN mengalami luka di bagian telinga kiri dan luka lebam di kepala.
Pekan lalu, Sabtu (22/10/2022) RN dibawa majikannya ke Terminal Bus Kampung Rambutan dan disuruh pulang sendiri ke rumahnya. Sebelumnya, si majikan mengancam RN agar tidak menceritakan kepada orangtua akan kejadian yang dialami. Jika tak menurut, majikannya akan mengedarkan video yang berisi gambar RN saat pakaiannya dilucuti.
Tanpa undang-undang akan banyak lagi korban yang lain, kita tidak tahu apa yang terjadi di balik rumah PRT bekerja.
Ketika RN sampai ke rumah, orangtuanya melihat dia memiliki luka-luka di beberapa bagian tubuh. Lalu keluarganya mengadu ke Pemerintah Desa Cibadak, Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), dan Konde.co. Pada Selasa (25/10/2022) keluarganya melaporkan kelakuan si majikan kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Salah satu perlakuan tidak manusiawi yang dialami RN adalah ketika dia dianggap mengantuk saat bekerja, majikannya akan menyiram wajahnya dengan air cabai. ”Misalnya lagi menyetrika, mengantuk, matanya disiram air cabai. Jadi temannya PRT yang lain disuruh memotong cabai lalu dimasukin ke mangkok berisi air, lalu dibawa RN ke kamar mandi terus matanya disiram dengan air cabai,” ujar Ceceng, paman RN, dalam keterangan pers, Rabu (26/10/2022) petang.
Selain dengan cabai, wajah RN juga disemprot dengan cairan yang dicampur lada. Dari pengakuan RN, pamannya, mengatakan bahwa RN juga pernah mengalami (satu kali) ditelanjangi oleh majikan perempuan sambil direkam.
”Kenapa ada pelucutan baju? Menurut RN, saat dia mencuci piring, hasil cucian menurut majikannya belum bersih, masih bau sabun dan harus dicuci ulang. Makanya terjadilah hal seperti itu,” kata Ceceng.
Tak hanya itu, RN juga pernah dihukum majikannya tidur di balkon dalam keadaan telanjang. Rambut RN juga dipotong pendek.
Kekerasan yang dialami RN sebagai PRT mendapatkan perhatian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan PRT. Kepolisian diminta segera memproses laporan RN. Si majikan yang melakukan penyiksaan agar diproses hukum.
Koordinator JALA PRT Lita Anggraini mengungkapkan, dari cerita RN, korban mengalami berbagai perlakuan tidak manusiawi dari majikannya sejak bekerja, Mei 2022 hingga Oktober 2022. Awalnya si majikan baik. Namun kemudian, RN mengalami kekerasan oleh si majikan jika pekerjaannya dinilai salah.
“Ia mengalami kekerasan mulai ditendang, kakinya pincang, kemudian salah sedikit dia dipukul, sampai paling parah dilempar gelas kaca di telinganya sehingga sampai luka dan bernanah. Kemudian setiap kesalahan, gajinya dipotong. Kemudian kalau salah ditelanjangi, disiram air campuran cabai dan lada kalau mengantuk. Dan itu berulang-ulang,” kata Lita.
Lita mengungkapkan, saat Ceceng, paman RN, menyampaikan kasus yang dialami RN, JALA PRT meneruskan ke Kantor Staf Presiden dan mendapat tanggapan. RN kemudian mendapat perawatan di RSPAD Jakarta.
”Kejadian yang dialami RN sangat menyesakkan. Di mana mata hati masyarakat. Kekerasan PRT sudah di depan mata. Ini jelas-jelas ada perbudakan, tidak memanusiakan orang. Tanpa undang-undang akan banyak lagi korban-korban yang lain, kita tidak tahu apa yang terjadi di balik rumah PRT bekerja,” ujar Lita.
Mendesak disahkan
Eva Kusuma Sundari dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan PRT, mengatakan, ketiadaan aturan yang melindungi PRT membuat para PRT sangat rentan mengalami berbagai kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT sejak 18 tahun terakhir terkatung-katung.
“Karena kekosongan hukum, menyebabkan praktik perbudakan modern terus terjadi di depan mata kita. Pelakunya berbagai profesi, laki maupun perempuan melakukan kekerasan pada PRT. Kasus yang dialami RN seharusnya membuka mata kita semu bahwa UU sangat diperlukan,” kata Eva.
Kepala Desa Cibadak, Elan Hermawan berharap apa yang dialami warga desanya menjadi pelajaran bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat di desanya. Ia berharap UU PPRT segera disahkan DPR agar tidak ada lagi warganya yang bekerja sebagai PRT mengalami kekerasan dari majikan.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, meminta kepolisian dapat menemukan terduga pelaku kekerasan tersebut dan memproses hukum. "Jika waktu kejadian korban belum berusia 18 tahun, kami mohon hukum ditegakkan dan menggunakan UU Perlindungan Anak, dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga," kata Nahar.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menyatakan di mana pun seseorang bekerja harus mendapatkan perlindungan, termasuk PRT, apalagi masih berusia anak-anak.