Menstruasi di Luar Angkasa
Di luar angkasa, darah menstruasi berlaku berbeda dengan cairan tubuh lain. Keadaan tanpa bobot nyatanya tidak memengaruhi menstruasi. Namun, untuk efektivitas, banyak perempuan antariksawan memilih menahan menstruasi.
Meski penjelajahan manusia ke luar angkasa telah berlangsung lebih dari 60 tahun, jumlah antariksawan perempuan baru mencapai 12 persennya. Bahkan, dari 12 manusia yang pernah menjejakkan kaki di Bulan, tak ada perempuan satu pun.
Salah satu hal yang dianggap menghambat partisipasi perempuan dalam eksplorasi luar angkasa adalah persoalan haid atau menstruasi yang mereka alami setiap bulan.
Sebanyak empat antariksawan baru kembali ke Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada 14 Oktober 2022. Mereka yang tergabung dalam misi penerbangan komersial Crew-4 milik SpaceX itu terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan.
Kedua antariksawan perempuan dalam misi Crew-4 itu adalah Jessica Watkins dari Amerika Serikat (AS) yang mewakili Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) dan Samantha Christoforetti dari Italia yang mewakili Badan Antariksa Eropa (ESA).
Crew-4 bisa kembali ke Bumi setelah pengganti mereka Crew-5 diterbangkan ke ISS pada 5 Oktober 2022 dan sampai di ISS sehari sesudahnya. Dari empat antariksawan anggota Crew-5, dua orang di antaranya juga perempuan, yaitu Nicole Mann dari AS dan Anna Kikina dari Rusia yang mewakili Badan Antariksa Rusia (Roscosmos).
Baca juga: Puan-puan Penjelajah Luar Angkasa
Kini, makin banyak perempuan diterbangkan ke luar angkasa. Hal ini tidak terjadi setidaknya pada dekade awal penerbangan manusia ke luar angkasa. Sejak Yuri Gagarin dari Uni Soviet menjadi manusia pertama yang menjelajahi luar angkasa pada 1961, dua tahun kemudian Valentina Tereshkova juga dari Uni Soviet menjadi perempuan pertama di luar angkasa.
Sementara itu, AS mengirimkan antariksawan pertamanya ke luar angkasa, Alan Shepard, sebulan setelah Gagarin. Namun, antariksawan perempuan AS baru dikirimkan ke luar angkasa untuk pertama kalinya pada tahun 1983 atau 22 tahun sesudah peluncuran Shepard, yaitu Sally Ride.
Data Astronaut & Cosmonauts Statistic, World Space Flight, hingga 24 Oktober 2022 menyebut, sesuai standar Federasi Aeronautika Internasional (FAI) sudah ada 626 orang yang pergi ke luar angkasa dan 72 orang di antaranya perempuan. Dari 72 perempuan tersebut, 56 orang di antaranya atau 78 persen berasal dari AS.
Dalam misi Artemis yang akan kembali mendaratkan manusia di Bulan pada tahun 2025, NASA sudah bertekad untuk mendaratkan seorang antariksawan laki-laki dan seorang perempuan. Demikian pula misi ke Mars pada 2030-an, perempuan juga akan diajak dalam misi menantang selama tiga tahun tersebut.
Salah satu kendala terbesar yang dianggap menghalangi keterlibatan perempuan dalam eksplorasi luar angkasa adalah persoalan bulanan yang rutin dialami perempuan usia subur, yaitu menstruasi. Di masa awal penerbangan luar angkasa, pengetahuan manusia tentang haid dalam lingkungan dengan gravitasi mikro beserta dampaknya bagi kesehatan perempuan masih sangat terbatas.
Manusia berevolusi dalam lingkungan dengan gravitasi Bumi secara penuh. Kondisi itu membuat tubuh manusia terbiasa melawan gravitasi Bumi dengan memompa darah dari tubuh bagian bawah ke dada. Di dada, khususnya jantung, darah akan diperkaya kembali dengan oksigen untuk diedarkan lagi ke seluruh tubuh.
Namun, saat manusia berada di luar angkasa dengan gravitasi mikro, maka tidak ada gravitasi yang harus dilawan tubuh. Karena itu, seperti dikutip majalah Popular Science, 26 Mei 2020, sistem tubuh menjadi malas, jantung enggan bekerja keras. Akibatnya, darah dan cairan manusia terkumpul di tubuh bagian atas dan kepala hingga membuat wajah antariksawan bengkak dan kakinya kecil mirip kaki ayam.
Pengetahuan soal menstruasi dan dampaknya bagi antariksawan perempuan di luar angkasa mulai dipahami NASA tahun 1970-an. Namun, saat itu ilmuwan NASA tidak memahami apakah terkumpulnya cairan tubuh di tubuh bagian atas itu juga berlaku pada darah menstruasi perempuan. Jika darah haid berlaku sama seperti darah dan cairan tubuh lain, darah menstruasi itu tidak bisa dikeluarkan dari rahim, tetapi justru mengumpul di perut bagian atas.
Apabila hal itu benar-benar terjadi, maka berbaliknya arah aliran darah menstruasi itu ditakutkan bisa menyebabkan peritonitis, yaitu peradangan selaput yang melapisi dinding perut dan organ di dalam perut. Jika tidak diobati, kondisi itu bisa mengancam jiwa. Kekhawatiran itu membuat NASA belum ingin mengirimkan perempuan ke luar angkasa.
Baca juga: Mengatasi Lelah Fisik dan Mental akibat Pandemi Covid-19 ala Antariksawan
Meski demikian, sistem peredaran darah berbeda dengan sistem darah menstruasi. Jika sistem peredaran darah dikendalikan oleh jaringan pembuluh darah arteri dan vena yang bekerja sepanjang waktu, sistem darah menstruasi dipengaruhi oleh sistem hormon.
Sepanjang ilmuwan laki-laki mengkhawatirkan pembalikan arah darah menstruasi itu, antariksawan perempuan sama sekali tidak khawatir dan yakin pola menstruasi di luar angkasa sama dengan menstruasi di Bumi. Para ahli perempuan tidak ingin menstruasi dijadikan alat untuk menahan perempuan pergi ke luar angkasa.
Namun, dugaan itu hanya bisa dibuktikan dengan mengirim antariksawan perempuan ke luar angkasa dan bermenstruasi di sana. Di tengah ketidakpastian itu, pengiriman antariksawan perempuan pun akhirnya tetap dilakukan sekaligus untuk membuktikan proses menstruasi di luar angkasa tidak berbeda dengan menstruasi di Bumi.
Belakangan, studi Varsha Jain, ahli ginekologi luar angkasa dari King’s College, London, Inggris, menemukan bahwa berbeda dengan sistem tubuh lain, sistem dan siklus menstruasi perempuan di luar angkasa tidak berbeda sama sekali dengan di Bumi. Gravitasi penuh di permukaan Bumi dan gravitasi mikro di luar angkasa tidak memengaruhi menstruasi perempuan.
”Aliran darah menstruasi tidak dipengaruhi oleh keadaan tanpa bobot yang dialami manusia di luar angkasa. Darah menstruasi tidak akan mengapung di perut bagian atas karena tubuh tahu kapan dia perlu membuang darah menstruasi itu,” tulis Jain di The Conversation, 25 April 2016.
Walau demikian, hingga kini tidak jelas siapa perempuan pertama yang menstruasi di luar angkasa dan kembali ke Bumi serta mengatakan tidak ada beda antara menstruasi di Bumi dan di luar angkasa. Bagaimana cara mengganti atau memasang tampon dalam kondisi tubuh melayang-layang juga tidak jelas.
”Takusah mengkhawatirkan soal itu,” kata Rhea Seddon, antariksawan perempuan yang ikut tiga kali dalam misi pesawat ulang alik NASA antara 1980-an sampai 1990-an kepada The New York Times, 21 April 2016.
Pilihan
Kini, menstruasi tidak bisa dijadikan alasan untuk menahan perempuan menjelajahi antariksa. Menstruasi juga tidak memengaruhi kompetensi dan kinerja perempuan selama bertugas di luar angkasa. Namun, pilihan untuk tetap bermenstruasi atau tidak menstruasi selama menjalani misi di lingkungan dengan gravitasi mikro itu sepenuhnya menjadi pilihan perempuan antariksawan.
Masalahnya, seperti disebut Science Alert, 17 Februari 2018, menjalani menstruasi di luar angkasa juga tidak mudah. Sistem pengolahan air limbah di ISS akan menyaring dan memurnikan semua air yang digunakan di ISS, mulai dari air bekas mandi, air kencing, hingga air bekas menyiram tinja menjadi air minum berkualitas tinggi untuk antariksawan. Namun, sistem pengolah limbah itu tidak dirancang untuk menangani pengelolaan darah menstruasi.
Selain itu, upaya menjaga kebersihan pribadi di luar angkasa kurang ideal karena terbatasnya persediaan air dan fasilitas pancuran. Kondisi itu membuat cara menjaga kebersihan selama menstruasi di luar angkasa menjadi tidak sepraktis dan sehigienis di Bumi.
Bukan hanya itu, sampah tampon juga bisa menjadi persoalan sendiri khususnya untuk misi jangka panjang. Selama ini, sampah di ISS di bawa kembali ke Bumi. Banyaknya tampon bekas yang digunakan antariksawan selama menstruasi bisa menimbulkan masalah baru.
Di tengah keterbatasan tersebut, pilihan untuk menstruasi atau tidak akhirnya diserahkan kepada antariksawan. Sebagian perempuan merasa wajar jika mereka menstruasi selama di luar angkasa. Sebagian yang lain justru lebih senang jika tidak mengalaminya.
Para ahli juga belum sepakat apakah mereka yang memilih tidak menstruasi harus melakukan sepanjang misi. Namun, ahli umumnya mengatakan tidak ada efek samping dari menahan menstruasi untuk waktu yang cukup lama.
”Sangat aman bagi perempuan untuk melewatkan menstruasi mereka karena tidak ada alasan medis yang bisa menjelaskan mengapa perempuan harus menstruasi setiap bulan,” kata dokter kebidanan dan kandungan di Florida, AS, Kristin Jackson.
Bagi mereka yang memilih untuk tidak menstruasi selama di luar angkasa, saat ini tersedia sejumlah pilihan cara. Menurut Jain, cara yang paling banyak dipilih perempuan antariksawan yang ingin melewatkan menstruasinya adalah dengan mengonsumsi kontrasepsi oral berupa pil progesteron oral.
Sangat aman bagi perempuan untuk melewatkan menstruasi mereka karena tidak ada alasan medis yang bisa menjelaskan mengapa perempuan harus menstruasi setiap bulan.
Pil KB (keluarga berencana) yang umum digunakan di masyarakat serta terdiri dari 21 pil yang mengandung hormon untuk dikonsumsi 21 hari dan tujuh pil plasebo sejak lama digunakan oleh perempuan antariksawan.
Baca juga: Penerbangan Luar Angkasa Ubah Otak Manusia
Namun, karena penerbangan luar angkasa saat ini makin lama, khususnya untuk misi ke planet Mars yang butuh waktu tiga tahun, maka dibutuhkan setidaknya 1.100 pil. Membawa pil sebanyak itu dan sampah kemasan yang ditimbulkan perlu diantisipasi. Selain itu, stabilitas obat hormonal di luar angkasa belum diuji. Paparan radiasi luar angkasa yang besar dikhawatirkan mengurangi kemanjuran pil.
Jika pil tidak efektif digunakan, suntikan pencegah menstruasi bisa dijadikan alternatif pilihan. Namun, efek samping penggunaan suntikan yang harus diperbarui tiap tiga bulan sekali itu perlu diwaspadai.
Suntikan pencegah haid ditemukan mengurangi kepadatan mineral tulang. Kondisi ini dikhawatirkan akan membahayakan antariksawan karena tinggal di luar angkasa saja sudah membuat tulang mereka keropos, apalagi ditambah suntik pencegah haid.
Cara menunda haid yang paling populer adalah dengan penggunaan kontrasepsi spiral alias intrauterine device (IUD) atau alat kontrasepsi dalam rahim. Alat ini bisa bertahan tiga tahun hingga lima tahun. Namun, kemampuan alat ini menekan menstruasi sangat bergantung pada jenis IUD yang digunakan. IUD hormonal lebih efektif dibandingkan IUD tembaga.
Pilihan berikutnya adalah dengan menggunakan implan yang dimasukkan ke bawah kulit. Implan ini bisa bertahan hingga tiga tahun.
Dari berbagai cara tersebut, Jain menilai penunda menstruasi terbaik untuk perempuan antariksawan adalah IUD hormonal atau implan.
Meski kini alasan menstruasi sudah tidak bisa dijadikan alasan untuk menahan perempuan mengeksplorasi luar angkasa, masih banyak persoalan kesehatan reproduksi perempuan di luar angkasa yang belum dipahami. Masalah kesuburan, hamil, hingga melahirkan perlu terus dipelajari jika manusia benar-benar ingin mengolonisasi Mars.