Tingginya kasus kanker payudara dan kanker serviks di Indonesia perlu disikapi secara serius dengan melakukan opsi terapi sistemik imunoterapi.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kematian akibat kanker payudara dan kanker serviks termasuk tinggi di antara jenis kanker lainnya di Indonesia. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan pengobatan, terapi sistemik imunoterapi bisa menjadi pilihan bagi pasien.
Konsultan hematologi onkologi medik Prof Noorwati Sutandyo memaparkan hal itu, dalam diskusi daring bertema ”Mengenal Imunoterapi: #HarapanBaru melawan Dua Kanker Ganas Terbesar pada Perempuan” yang diselenggarakan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dan Merck Sharp & Dohme (MSD), di Jakarta, Selasa (25/10/2022).
Noorwati menuturkan, terapi sistemik imunoterapi berbeda dengan terapi kanker sebelumnya seperti operasi dan kemoterapi yang menargetkan melawan sel kanker langsung. Imunoterapi digunakan untuk memperkuat sistem imun dalam tubuh agar tubuh penderita mampu melawan sel kanker sehingga tak menyebar ke organ lain.
Laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) tahun 2020 mencatat bahwa, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 orang (16,6 persen) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia. Adapun angka kematiannya mencapai lebih dari 22.000 jiwa kasus.
Infografik 10 Peringkat Tertinggi Kasus Baru Kanker dan Kasus Kematian akibat Kanker di Indonesia 202
Dilansir dari data The Global Cancer Observatory 2021, dari 100.000 kasus, rata-rata kematian kanker payudara sebesar 15,3 persen, diikuti oleh kanker serviks 14,4 persen dan kanker paru-paru 11,4 persen.
Noorwati menuturkan, kanker payudara menempati urutan pertama terkait jumlah kanker terbanyak di Indonesia serta menjadi salah satu penyumbang kematian pertama akibat kanker. Ada beberapa subtipe kanker payudara, di antaranya kanker payudara triple negatif (TNBC) yang merupakan penyakit heterogen amat kompleks dan memiliki pilihan terapi yang terbatas.
Gejala kanker
Sekitar 15-20 persen dari seluruh kasus kanker payudara di dunia adalah subtipe TNBC. Tanda dan gejala kanker payudara triple negatif sama dengan subtipe kanker payudara lainnya. Tanda-tandanya dapat muncul sebagai benjolan yang lebih sering keras di payudara, tidak nyeri dan tidak teratur, tetapi juga bisa lunak, bulat, dan menyakitkan.
Tanda-tanda lainnya, lanjut Noorwati, antara lain pembengkakan payudara, pembengkakan atau benjolan di bawah lengan atau di tulang selangkang, lesung pada kulit, cairan keluar dari puting, puting masuk ke dalam, serta perubahan kulit pada payudara atau puting, termasuk kemerahan, kering, penebalan, atau pengelupasan.
Jajak pendapat mengenai kanker
Diagnosis TNBC biasanya dilakukan dengan mammografi untuk mengambil gambar payudara, dan dengan MRI (magnetic resonance imaging) untuk membuat gambar detail payudara dengan resolusi jauh lebih besar. Setelah diagnosis dilakukan, selanjutnya adalah biopsi untuk mengambil sampel sel yang mencurigakan dari payudara untuk dianalisis.
Jenis utama pengobatan melawan TNBC, yakni operasi, kemoterapi, radiasi, dan imunoterapi. Menurut Noorwati, TNBC memiliki kemungkinan tinggi kambuhan penyakit dan perkembangan penyakit yang cepat meski pengobatan sistemik memadai.
Pilihan baru
”Imunoterapi merupakan pilihan baru dalam penanganan penyakit TNBC yang ganas ini. Sebab, imunoterapi dapat menahan perkembangan kanker dan kelangsungan hidup pasien sehingga memberikan harapan baru bagi pasien,” katanya.
Noorwati mengungkapkan, terapi imunoterapi tergolong masih baru, imunoterapi juga tidak masuk dalam kategori pengobatan yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan karena biaya, terapi imunoterapi masih sangat mahal.
Imunoterapi merupakan pilihan baru dalam penanganan penyakit TNBC yang ganas ini. Sebab, imunoterapi dapat menahan perkembangan kanker dan kelangsungan hidup pasien sehingga memberikan harapan baru bagi pasien.
Jenis kanker ganas setelah kanker payudara yang banyak menyerang perempuan adalah kanker serviks, khususnya yang persisten dan mengalami kambuhan atau metastasis. Konsultan penyakit dalam dan imunologi, Nadia Ayu Mulansari mengatakan, imunoterapi menjadi harapan baru untuk pasien kanker serviks.
Jika hasil kemoterapi kurang memuaskan, imunoterapi bisa menjadi pilihan pengobatan. Sejauh ini kanker serviks lebih tinggi tingkat kematiannya dibandingkan kanker payudara karena tingkat penapisan yang rendah sehingga kanker serviks ditemukan sudah pada stadium lanjut.
Menurut Nadia, hampir semua kanker serviks disebabkan oleh infeksi jenis human papillomavirus (HPV) risiko tinggi tertentu. HPV dapat ditularkan jika terjadi kontak kulit-ke-kulit di area genital. Kanker serviks dapat diobati dengan beberapa cara, tergantung pada jenis kanker serviks dan seberapa jauh penyebarannya. Seperti operasi, kemoterapi, terapi radiasi maupun imunoterapi.
Adapun pengobatan sistemik imunoterapi menjadi pilihan baru untuk merawat pasien kanker serviks yang mengalami kambuhan dan metastasis. Mulai tahun 2022 di Indonesia, imunoterapi bagi pengobatan kanker serviks telah tersedia, khususnya bagi pasien yang didiagnosis dengan kanker serviks stadium lanjut.
”Imunoterapi menunjukkan aktivitas luas pada kanker serviks dan memberikan harapan lebih lanjut untuk pilihan pengobatan baru dengan kemanjuran yang lebih besar,” ujarnya.
Deteksi dini
Perempuan dianjurkan untuk mendeteksi dini secara berkala dengan melakukan pap smear dan menjalani vaksinasi HPV. Jika nantinya terdeteksi dapat segera diobati agar tidak berubah menjadi kanker di kemudian hari.
Gaya hidup sehat menjadi kunci mengurangi risiko pencegahan kanker. Nadia menegaskan, yang terpenting adalah menerapkan gaya hidup sehat. Banyak kanker yang berkembang karena kebiasaan gaya hidup, seperti merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, terlalu banyak mengonsumsi makanan berlemak.
Gaya hidup sehat bisa dimulai dengan memperbaiki nutrisi dengan makan buah-buahan segar dan sayur setiap hari. Buah lebih baik dipotong daripada dibuat jus karena serat akan berkurang. Selain itu, konsumsi makanan manis dan berlemak perlu dikurangi disertai berolahraga lima kali dalam seminggu.