Implementasi Pengelolaan Kayu Berbasis Adat Perlu Uji Coba
Implementasi sistem verifikasi legalitas kayu di Papua yang berbasis masyarakat adat perlu segera dilakukan uji coba untuk kepentingan komersial. Selama ini, mereka kerap tidak mendapat hak atas wilayahnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Masyarakat adat di Tanah Papua sampai saat ini tidak memiliki hak penuh untuk mengambil manfaat atas keberadaan kayu mereka. Implementasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) di Papua dan Papua Barat yang berbasis masyarakat adat perlu segera diuji coba untuk kepentingan komersial.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar nasional bertajuk ”Memperkuat Tata Kelola dan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) bagi Masyarakat Adat di Tanah Papua” di Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022). Seminar ini pertemuan lanjutan dari diskusi grup terfokus (FGD) yang dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, akademisi, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, hingga forum lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK).
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan mengemukakan, wilayah Papua sampai saat ini terus mengalami tekanan dari berbagai aspek. Selain deforestasi yang angkanya terus meningkat, masyarakat adat di Papua juga tidak memiliki hak penuh untuk memanfaatkan kayu dari hutan mereka.
Masih banyak masyarakat adat belum mendapat pengakuan dari pemerintah pusat.
”Regulasi yang ada saat ini membuat kayu-kayu di wilayah adat hanya untuk kepentingan domestik. Catatan JPIK dan Auriga, kami masih menjumpai praktik pembalakan liar di Papua dan melibatkan oknum-oknum masyarakat adat,” ujarnya.
Maraknya praktik pembalakan liar di tanah Papua inilah yang mendorong JPIK dan Auriga menggagas SVLK kayu adat sebagai salah satu solusi pengelolaan hutan sehingga masyarakat tetap mendapat hak penuh dari wilayahnya. Adapun lokasinya ditentukan dari wilayah adat yang telah dicadangkan pemerintah setempat atau usulan dari masyarakat.
Meski demikian, Ichwan menyebut bahwa dari hasil diskusi dengan LVLK, implementasi SVLK kayu adat saat ini masih sulit diterapkan. Sebab, masih banyak masyarakat adat belum mendapat pengakuan dari pemerintah pusat. Di sisi lain, terdapat juga pihak yang membiayai pembalakan liar dan menyalahgunakan dokumen kayu.
Selain itu, implementasi ini juga dipandang masih sulit karena belum terdapat pedoman dan standar SVLK hutan di daerah otonomi khusus. Oleh karena itu, implementasi wacana SVLK hutan adat ini terlebih dahulu perlu menegaskan keabsahan wilayah tanah ulayat kemudian menginventarisasi potensi kayunya.
”JPIK dan Auriga menyusun kertas kebijakan untuk menguatkan posisi tawar masyarakat adat sebagai subyek hukum dalam kelola hutan, termasuk hasil hutan kayu. Kami juga mendorong adanya pilot project (uji coba) dalam memfasilitasi pengakuan dan penetapan hutan adat serta implementasi SVLK kayu adat untuk kepentingan komersial,” tuturnya.
Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Teguh Yuwono, juga sepakat dengan adanya uji coba pemanfaatan hasil hutan kayu pada masyarakat adat. Namun, implementasi ini perlu didahului dengan pengakuan dan penetapan hutan adat di Papua dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan paling lambat tahun depan.
Teguh juga memandang peluang masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dalam skema pengakuan dan penetapan hutan adat memerlukan perjuangan yang cukup berat. Bahkan, peluang pemerintah provinsi di Papua untuk menjadi pelaku kelola hutan juga tergerus dengan adanya berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu hal yang membuat implementasi ini cukup berat ialah masih rumitnya tahapan proses pengakuan hutan adat. Selama ini, pengakuan hutan adat dimulai dengan identifikasi dan pemetaan batas wilayah, penyiapan kelembagaan, penyusunan pranata dan perangkat hukum, hingga persyaratan lainnya untuk mengajukan permohonan penetapan.
Pilar utama
Peneliti Sajogyo Institute dan Papua Study Center, Eko Cahyono, menyatakan, prinsip dasar untuk menjamin efektivitas implementasi SVLK adat ditentukan oleh tiga pilar utama. Pertama, peran pemerintah sebagai regulator. Kedua, lembaga sertifikasi sebagai auditor. Terakhir, pendamping masyarakat adat sebagai pemantau pelaksanaan SVLK.
Menurut Eko, ketiga pilar utama tersebut, khususnya pemantau atau penegak hukum, sangat penting dalam implementasi SVLK adat. Sebab, fakta lapangan menunjukkan jumlah pemantau dan penegak hukum tidak sebanding dengan jumlah unit usaha yang dipantau.
Selain itu, kata Eko, syarat yang tidak kalah penting dalam SVLK adat salah satunya yaitu memastikan keselarasan peraturan di tingkat pusat dan daerah. Di sisi lain, perlu juga menyediakan mekanisme dan strategi transisi regulasi sambil menunggu pengakuan hutan dan wilayah adat diperoleh secara resmi.