Perempuan memiliki kemampuan dan potensi yang besar. Namun, budaya patriarki dan sejumlah konstruksi sosial membatasinya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengakses pendidikan dan dunia kerja. Peningkatan partisipasi perempuan di dunia pendidikan dan dunia kerja akan membawa pengaruh besar bagi perempuan, serta memberikan dampak bagi kemajuan masyarakat.
”Sebab, dengan pendidikan, perempuan mendapatkan beragam pengetahuan sehingga membuka cakrawala pandangnya. Perempuan menjadi kreatif, mampu berekspresi, belajar mengambil keputusan, dan terlibat dalam kehidupan sosial yang lebih luas,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Diskusi Kelompok Terpumpun ”Hak Pendidikan bagi Perempuan” yang diselenggarakan harian Kompas bersama Kementerian PPPA, Kamis (20/10/2022).
Diskusi itu digelar dalam rangka lomba karya tulis dan foto ”Inspirasi Perempuan Indonesia”. Lomba diadakan dalam rangka menyambut G20, W20, P20, dan perayaan Hari Ibu 2022.
Forum diskusi terpumpun berlangsung di Menara Kompas, Jakarta, dan secara daring. Hadir sebagai pembicara, Femmy Eka Kartika Putri (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Lenny N Rosalin (Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA), Heny Supolo (pendiri Yayasan Cahaya Guru), Ida Ruwaida Noor (pengajar Sosiologi Universitas Indonesia), dan Emanuella Mila (pendiri Komunitas Rumah Dongeng Pelangi). Hadir juga Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Agung Putri Astrid Kartika.
Darmawati menegaskan, pendidikan merupakan bagian dari hak asasi perempuan. Karena ketika perempuan mendapatkan pendidikan, hal itu akan menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk melakukan hal-hal sesuai minat dan potensinya.
”Perempuan akan mulai bermimpi dan bercita-cita tinggi sehingga akhirnya perempuan sadar bahwa mereka dapat berperan, menjadi apa dan siapa saja. Perempuan bukan lagi sosok di belakang layar, melainkan individu yang bisa berperan positif,” ujarnya.
Darmawati berharap, pemenuhan hak perempuan dalam dunia pendidikan didukung oleh semua pihak. Komitmen bersama untuk menciptakan sumber daya manusia perempuan yang unggul, berdaya, dan punya kemampuan akan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
Femmy Eka menyatakan, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi isu nasional. Pendidikan harus diberikan sepanjang hayat, dimulai sedini mungkin sampai usia lanjut usia, dan tidak terbatas pendidikan formal di sekolah.
Pemenuhan pendidikan yang dimulai dari pendidikan dasar, wajib diberikan oleh pemerintah daerah. Selanjutnya pendidikan di jenjang menengah tanggung jawab pemerintah provinsi dan jenjang pendidikan tinggi adalah tanggung jawab pemerintah pusat.
Dari sisi jumlah, perempuan memang lebih sedikit dari laki-laki yang bersekolah. Namun, dari angka putus sekolah, justru laki-laki yang lebih banyak karena perempuan lebih tekun dalam bersekolah.
”Yang terpenting, jangan sampai kita biarkan anak-anak kita, laki-laki dan perempuan, putus sekolah,” ujar Femmy.
Menurut Femmy, perempuan termasuk dalam kategori not in employment, education or training (NEET) atau seperti pemuda yang masuk dalam angkatan kerja yang berusia 15-24 tahun dengan kondisi menganggur. Besarnya nilai NEET perempuan disebabkan karena keterlibatan perempuan yang masih besar dalam rumah tangga, seperti mencuci dan memasak.
Tingginya keterlibatan mereka dalam rumah tangga memengaruhi berkurangnya kesempatan mereka untuk sekolah atau memperoleh keterampilan yang bisa digunakan untuk memasuki dunia pasar kerja.
”Banyak program pemerintah yang bisa membantu mereka. Untuk mereka yang putus sekolah ada Kartu Indonesia Pintar. Intervensi pemerintah luar biasa, supaya peningkatan kualitas SDM betul-betul berjalan. Ini butuh kerja bersama juga kerja cepat. Kita menghadapi bonus demografi 2030,” katanya.
Lenny N Rosalin menambahkan, terkait dengan presidensi Indonesia dalam G20, dalam upaya mewujudkan kesetaraan jender di bidang pendidikan, Indonesia menghadapi tantangan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di antara negara-negara G20 karena Indonesia berada di urutan ketiga terendah. Begitu juga dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indonesia berada di ranking terendah kelima dari negara-negara G20.
Menurut Lenny, perlu ada dukungan bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai bidang, termasuk di sektor kepemimpinan, agar bisa menjadi bagian dalam pengambil kebijakan. ”Bagaimana semua kebijakan dan program pembangunan memberikan manfaat kepada perempuan. Ini perlu kerja sama, sinergi seluruh pemangku kebijakan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga ke desa-desa. Ini penting karena jika perempuan berdaya dan anak terlindungi, (maka) Indonesia maju,” kata Lenny.
Membangun budaya positif
Ida Ruwaida Noor menegaskan pentingnya landasan filosofis terkait pendidikan. Karena itu, perlu dicermati apakah pendidikan sudah membangun budaya positif, masyarakat yang penuh kebajikan dan kebaikan manusia, termasuk perempuan.
Dia menilai ada dua kata kunci dalam pendidikan, yakni pemberdayaan dan pembudayaan. Dua hal ini menjadi sangat penting.
”Tapi harus diakui kita selalu bicara pada tingkat melek aksara tetapi belum bicara melek makna. Padahal, ini bagian yang sangat penting,” ujarnya.
Adapun Henny berharap perhatian pada perempuan tidak hanya berfokus pada angka partisipasi murni perempuan, tetapi negara perlu membunyikan hak penikmatan pendidikan perempuan, yakni ada rasa aman, nyaman, dan pelibatan.
”Seberapa jauh ketiga hal ini terefleksi dalam kegiatan harapan, dan sebetulnya kesadaran dari pelibatan adalah bagian dari kesadaran yang sangat dipengaruhi oleh perspektif jender seseorang,” kata Henny.
Selain itu, ada juga ekspresi keagamaan yang dalam kenyataan cenderung mengurangi kesempatan untuk menjadi pemimpin, mulai dari pemimpin upacara hingga pemimpin doa.
”Tantangannya, kita tahu ada peraturan daerah yang memang sangat diskriminatif pada perempuan. Selama ini belum diatasi dengan baik, maka penikmatan pasti kurang. Kemandirian perempuan untuk menentukan model bajunya saja ditentukan negara,” ujar Henny.
Di luar itu, juga ada realitas sosial tentang perkawinan anak, kekerasan, dan politik identitas yang terjadi di sekitar masyarakat. ”Kita ini juga belum sepenuhnya inklusif, kita selalu abaikan jender non-biner. Jarang disebut, padahal mereka punya kekuatan yang bisa dirangkul,” ujar Henny.
Soal menanamkan pada anak sedini mungkin soal kesetaraan dalam pendidikan, Emanuella Mila mengatakan bahwa salah satu pendidikan karakter anak adalah melalui mendongeng dan itu bisa dilakukan semenjak ibu mengandung anaknya. Dari mendongeng akan membentuk karakter seorang, termasuk mengajarkan kehidupan yang baik.
”Mendongeng tidak selalu berawal dari buku, tetapi dari kegiatan sehari-hari. Dongeng adalah bahasa cinta yang universal. Sangat bisa diterima dari berbagai kalangan dan anak ada kerinduan mendengarkan dongeng. Itu bisa dimulai dari keluarga dari ibu sangat sederhana dan mudah dilakukan,” kata Emanuella.