Koalisi Masyarakat Sipil Menyerukan Transisi Energi yang Berkeadilan
Pengembangan transisi energi di Indonesia perlu dikawal oleh masyarakat agar tidak menimbulkan masalah baru. Karena itu, implementasinya mesti transparan dan berkeadilan.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Potensi Energi Terbarukan
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi menuju energi hijau atau ramah lingkungan membutuhkan ruang bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya agar tidak mengulangi dampak buruk penggunaan energi fosil bagi masyarakat. Hal itu sekaligus untuk mendukung penerapan prinsip transparan, berkeadilan, dan inklusif dalam proses transisi tersebut.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi Bersihkan Indonesia memaparkan sejumlah prinsip dan nilai transisi energi yang memberi ruang bagi publik untuk terlibat. Beberapa prinsip transisi energi tersebut meliputi pengelolaan secara akuntabel, transparan, dan partisipatif.
Sejumlah prinsip ini berkaitan dengan distribusi informasi, representasi kelompok terdampak, regulasi yang mengikat, skema monitoring dan evaluasi, serta tidak adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini dibacakan oleh perwakilan Bersihkan Indonesia, Ahmad Ashov, secara daring, di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Selain itu, transisi energi juga perlu memperhatikan aspek keadilan ekologis, keadilan ekonomi, dan transformatif. Tiga prinsip ini menganut keterjangkauan akses terhadap energi, kemitraan yang setara, demokratis, hingga reformasi penggunaan energi yang tidak sentralistik. Transisi energi juga mesti menjunjung perlindungan hak asasi manusia, termasuk inklusif terhadap kelompok rentan, menghormati kedaulatan rakyat, dan memastikan hak-hak pekerja.
Di Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya, Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mareta Sari, menceritakan, saat ini sedang dibangun pabrik gasifikasi batubara sebagai upaya melaksanakan transformasi energi. Namun, pelaksanaannya justru memicu persoalan baru, antara lain terjadi pengerukan tanah yang menyebabkan pencemaran air dan kerusakan ekosistem. Selain itu terjadi konflik lahan antar warga lantaran ketiadaan transparansi pembangunan pabrik.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
(ICEL) Grita Anindarini, memaparkan prinsip dan nilai transisi energi bersih yang disampaikan secara daring pada diskusi publik Menuju Era Baru Energi Indonesia: Skema Pendanaan dan Implementasi Transisi yang Adil dan Berkelanjutan secara daring di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
”Masyarakat khawatir akan dampak kerusakan lingkungan yang lebih parah, terutama yang dianggap sebagai transisi energi tetap mengeruk sumbernya dari tanah, tidak ada bedanya dengan tambang batubara,” kata Meta.
Contoh energi lain adalah geotermal. Perwakilan Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB), Ali Akbar, menjelaskan, energi geotermal atau panas bumi tak cukup bersih mengingat banyak korban berjatuhan akibat keracunan gas geotermal di beberapa daerah. Selain itu, geotermal yang akan dikembangkan di Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat, juga menghancurkan produksi sayur warga. Padahal, masyarakat di Gunung Talang menggantungkan hidupnya pada pertanian sayur.
Program Director Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Grita Anindarini memaparkan prinsip dan nilai transisi energi bersih yang disampaikan secara daring pada diskusi publik ”Menuju Era Baru Energi Indonesia: Skema Pendanaan dan Implementasi Transisi yang Adil dan Berkelanjutan” secara daring, di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
”Proses yang tidak transparan ini jelas menimbulkan masalah dalam implementasinya. Tidak ada keterlibatan warga dalam penyusunannya, menyebabkan kebijakan yang ditetapkan jadi tidak adil,” kata Ali.
Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rere Christianto, menambahkan, contoh lain di Pulau Obi Maluku Utara yang terdampak pertambangan nikel. Masyarakat di Desa Kawasi, Obi, Halmahera Utara, harus memenuhi kebutuhan air layak dari luar daerah. Air yang sehari-hari dikonsumsi sudah tidak layak karena tercemar pertambangan nikel.
SUMBER: BAPPENAS
Grafis potensi energi terbarukan di Indonesia.
Dalam implementasi transisi energi, komunitas juga perlu didorong untuk memanfaatkan energi terbarukan yang terjangkau di daerahnya. ”Masyarakat didorong untuk memilih energi yang sesuai dengan kebutuhan dan terlibat dalam pembangunannya sehingga mereka bisa menentukan energi yang tidak akan mengancam keselamatan warga dan lingkungan,” tambah Rere.
Tidak hanya partisipasi masyarakat, pemerintah daerah (pemda) juga perlu didorong untuk mentranslasikan regulasi di daerah agar sejalan dengan kebijakan nol emisi karbon. Grita Anindarini menyebut, pemda tidak melulu harus mengikuti kebijakan nasional, apalagi jika bertentangan dengan upaya nol emisi. Pemda bisa membuat visi misi sendiri dalam transisi energi, terutama untuk mempercepat energi terbarukan yang bisa dikembangkan di daerahnya.