Pengguna pembangkit listrik tenaga surya atap menunjukkan tren yang positif. Namun, kontribusinya belum signifikan karena masih terkendala.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Jakabaring Palembang, akhir April 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat memiliki andil besar dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan melalui penggunaan panel surya atap. Meskipun demikian, upaya ini masih terkendala beberapa hal, di antaranya terkait perizinan.
Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap Bambang Sumaryo, Rabu (19/10/2022), di Jakarta, menjelaskan, saat ini masyarakat mengalami kendala perizinan dalam melakukan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. ”Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya memperbolehkan masyarakat memasang PLTS sebesar 15 persen dari total kapasitas. Ini berlaku untuk pemasangan di sektor rumah tangga, industri, dan komersial. Padahal, jika merujuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 49 Tahun 2021, masyarakat bisa memasang PLTS sebesar 100 persen dari kapasitas listrik rumahnya,” sebut Bambang.
Ia menyebutkan, penggunaan PLTS oleh masyarakat Indonesia sudah meningkat sejak 7-8 tahun lalu walaupun belum sebanyak negara lain, seperti Australia dan Vietnam. Harganya pun sudah dua hingga tiga kali lebih murah dibanding sepuluh tahun lalu
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara kluster hunian ramah lingkungan dengan atap panel tenaga surya di kawasan Harapan Baru, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Mei 2020.
”Pada pertengahan 2022 terdapat 6.500 pengguna PLTS yang terhubung dengan penyedia listrik baik dari sektor rumah tangga, industri, dan komersial. Jumlah ini mencapai sepuluh kalinya pada pengguna PLTS yang tidak terhubung dengan penyedia listrik,” imbuhnya.
Bambang menilai, angka ini masih jauh untuk memenuhi target 3,6 GW pada 2025. Hal ini karena dari 6.500 pengguna PLTS hanya menghasilkan 62 megawatt (MW) dan setiap tahun produksinya hanya sekitar 20-30 MW.
Strategi bauran PLTS sebanyak 3,6 GW pada 2025 bisa dicapai dengan catatan langkah ini tidak dihalang-halangi.
Meskipun pengguna PLTS meningkat, dosen sosiologi energi Universitas Gadjah Mada, R Derajad Sulistyo Widhyarto, menyebutkan, saat ini pemasangan PLTS atap masih terbatas pada kalangan ekonomi menengah ke atas. Hal ini tidak terlepas dari masih banyaknya masyarakat yang merasa pemasangan PLTS masih mahal, di sisi lain juga minimnya sosialisasi mengenai energi terbarukan yang digaungkan pemerintah.
Target bauran energi yang ingin dicapai pada 2025 juga masih menimbulkan polemik. Menurut Drajad, saat ini Indonesia belum memiliki infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk mencapainya. Selain itu, transisi energi juga memerlukan waktu persiapan karena pemerintah perlu memastikan kesiapan masyarakat dalam penerimaan dan implementasinya.
”Dari hulu ke hilir skema implementasi energi baru terbarukan (EBT) kita belum jelas, misal dari rentang waktu yang disiapkan hingga pengelolaan limbah baterainya,” kata Drajad, Rabu (19/10/2022).
Drajad menilai regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat belum sepenuhnya direspons dalam kebijakan EBT di tingkat daerah. Masyarakat umumnya juga hanya diperlakukan sebagai konsumen. Mereka tidak dilibatkan dalam perumusan regulasi dan pemilihan jenis energi mana yang terjangkau secara geografis. Padahal, pemilihan energi yang dekat dan terjangkau mampu memudahkan masyarakat dalam mengakses EBT seperti yang bersumber dari air atau angin.
Pemanfaatan PLTS atap ini menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan bauran energi terbarukan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, Indonesia masih bisa mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Hal ini dengan catatan pemerintah memenuhi target bauran hingga 2025 sebesar 14 gigawatt (GW) dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN), RUPTL Non-PLN, dan lain-lain.
Target tersebut bisa dipenuhi sebesar 10,7 GW dari RUPTL PLN dan 5 GW dari RUPTL Non-PLN (seperti pembangkit listrik tenaga air dan pemanfaatan biomassa). Adapun target bauran dari lain-lain, yaitu PLTS atap, sebesar 3-5 GW.
”Kementerian SDM memiliki strategi bauran PLTS sebanyak 3,6 GW pada 2025. Angka ini bisa dicapai mengingat pembangunan PLTS bisa mencapai 1-2 GW per tahun dengan catatan langkah ini tidak dihalang-halangi dengan pembatasan penggunaan kapasitas PLTS,” ujarnya.