Dorong Kerja Sama Asia Pasifik untuk Penuhi Hak Difabel
Penyandang disabilitas masih menghadapi sejumlah tantangan yang menghambat mereka untuk berdaya. Kerja sama antarnegara diharapkan mengatasi hal itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hak-hak penyandang disabilitas belum sepenuhnya terakomodasi. Sebagian penyandang disabilitas masih sulit mendapat pekerjaan dan mengakses pendidikan. Kerja sama antarnegara Asia Pasifik diperlukan untuk mengatasi ini.
Menurut data Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCAP), ada 700 juta penyandang disabilitas di Asia Pasifik. Namun, hanya satu dari empat difabel yang bekerja. Mayoritas bekerja di sektor informal.
Rasio pekerja difabel lebih kecil dibanding pekerja nondisabilitas. Di Asia pasifik, rasio pekerja difabel perempuan terhadap jumlah penduduk rata-rata 17 persen, sedangkan laki-laki 31,3 persen. Adapun rasio pekerja perempuan nondisabilitas terhadap jumlah penduduk adalah 50 persen dan laki-laki 74,7 persen.
Kami sedang membangun Universitas Ilmu Rehabilitasi tingkat nasional agar ada lebih banyak talenta di bidang rehabilitasi.
”Penyandang disabilitas mengalami lebih rentan terhadap kemiskinan dan pengangguran. Penyandang disabilitas anak juga memiliki kesempatan lebih kecil untuk bersekolah,” kata Sekretaris Eksekutif UNESCAP Armida Salsiah Alisjahbana pada Pertemuan Tingkat Tinggi Antarpemerintah Asia Pasifik dalam Implementasi Dasawarasa Penyandang Disabilitas (HLIGM-FRPD), Rabu (19/10/2022), di Jakarta.
HLIGM-FRPD tahun ini diikuti 38 negara anggota UNESCAP. Forum ini mengkaji capaian negara-negara anggota UNESCAP yang berkomitmen memenuhi hak difabel selama 10 tahun terakhir. Komitmen itu disepakati pada Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Dari 53 negara anggota UNESCAP, 47 negara telah meratifikasi CRPD, termasuk Indonesia.
UNESCAP mencatat hanya 3 dari 20 difabel anak yang mengenyam pendidikan usia dini. Persentase anak yang bersekolah setingkat sekolah dasar 36,4 persen, sekolah menengah pertama 60 persen, dan sekolah menengah atas 87,5 persen.
Sementara itu, di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, penyandang disabilitas yang tidak pernah sekolah 20,51 persen. Sebanyak 29,35 persen lainnya tidak tamat SD, sedangkan 29,35 persen difabel tamatan SD.
Persentase difabel yang mengenyam pendidikan lanjut di Indonesia pun lebih kecil. Difabel yang pendidikan terakhirnya SMP sebesar 9,97 persen, SMA 10,47 persen, dan perguruan tinggi 3,38 persen. Rendahnya tingkat pendidikan akan menyulitkan difabel untuk mencari pekerjaan.
Peluang kerja
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengamanatkan perusahaan swasta untuk memperkerjakan minimal satu persen difabel dari total pekerja, sedangkan badan usaha milik negara (BUMN) sebanyak 2 persen. Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan, aturan ini telah direalisasikan di BUMN. Namun, aturan ini belum sepenuhnya dilaksanakan di kalangan swasta.
”Di swasta permasalahannya macam-macam. Maka itu, kami meningkatkan pelatihan agar penyandang disabilitas bisa bekerja,” kata Risma. ”Solusi alternatifnya adalah menjadikan mereka wirausaha. Itu yang kami genjot terus karena dengan menjadi wirausaha, mereka tidak perlu lagi tergantung pada seseorang,” kata Risma.
Pada forum yang sama, Ketua Federasi Penyandang Disabilitas ChinaZhang Haidi mengatakan, negaranya meningkatkan kapasitas difabel agar dapat diterima kerja. Perempuan disabilitas juga diberdayakan melalui lokakarya kerajinan tangan.
”Kami juga memberi tunjangan untuk lebih dari 27 juta penyandang disabilitas. Pengembangan pendidikan berkualitas dan inklusif pun dilakukan. Lebih dari 10.000 siswa difabel diterima di perguruan tinggi per tahun. Kami sedang membangun Universitas Ilmu Rehabilitasi tingkat nasional agar ada lebih banyak talenta di bidang rehabilitasi,” ucap Zhang.
Kerja sama
Menurut Armida, negara-negara Asia Pasifik telah membuat kemajuan dalam pemenuhan hak difabel dalam sepuluh tahun terakhir. Ini tampak dari penyusunan peraturan nasional terkait disabilitas di masing-masing negara. Walakin, upaya itu dinilai belum cukup.
”Kita perlu memperkuat kemitraan dan menjalin kerja sama baru, baik dengan sektor swasta maupun organisasi penyandang disabilitas,” ucap Armida.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menambahkan, kemitraan global memungkinkan terjadinya pembangunan inklusif dan sensitif difabel. Ia berharap agar kesetaraan hak, inklusi, dan aksesibilitas bagi difabel tercapai.
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Republik Korea Cho Kyoo Hong mengatakan, negaranya berkomitmen meningkatkan kualitas hidup difabel. Ini dilakukan melalui kerja sama jangka menengah dan panjang dengan negara-negara lain. Kerja sama ini pernah dijalin, antara lain, dengan Mongolia, Indonesia, dan Myanmar.